GotoBus

Renungan Tentang Kisah Altruisme Seekor Gajah Pada Relief Candi Borobudur

Pada relief Candi Borobudur terdapat kisah Altruisme Seekor Gajah Perkasa. Sepasang suami istri setengah baya sedang memperbincangkan kisahnya. Mereka menggunakan referensi buku-buku Bapak Anand Krishna. Di antaranya buku “Bodhidharma, Kata Awal Adalah Kata Akhir” dan “Sandi Sutasoma Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular”. Sudah cukup lama mereka membicarakan beberapa kisah pada relief Candi Sukuh dan Candi Borobudur. Mereka ingin segera membicarakan kisah-kisah di relief candi lainnya…..

Sang Istri: Seekor gajah perkasa tinggal di hutan dengan lingkungan sesuai dengan kehidupannya. Dia hidup dari makan rumput dan tanaman teratai di sebuah telaga. Untuk mencapai hutan tersebut harus melintasi padang gurun yang luas, sehingga tempat tersebut tidak pernah dilewati manusia. Sang gajah perkasa hidup sendirian layaknya seorang pertapa…….. Pada suatu hari sang gajah mendengar teriakan banyak orang di tepi hutan. Nampaknya seperti suara segerombolan orang yang pada putus harapan. Sang gajah mendekati mereka yang nampak kelaparan, kehausan dan diliputi kesedihan. Melihat sebuah gajah besar mendekat mereka ketakutan dan ada yang berteriak, kali ini habislah kita semua. Sang gajah rupanya mengerti bahasa manusia dan berkata. Kalian tenanglah, jangan takut kepada saya, apa yang terjadi pada kalian semua. Semua orang tertegun melihat gajah putih yang indah yang dapat berkata-kata layaknya manusia dan nampak sebagai makhluk yang bijaksana. Mereka berkata, sebuah kemarahan raja meledak dan kami diusir dari kerajaan, tak satu pun dari keluarga kami yang memberikan pertolongannya. Sang gajah bertanya, ada berapa jumlah kalian semua. Mereka menjawab sebetulnya kami ada seribu orang, akan tetapi dalam perjalanan banyak yang mati karena kesedihan, kehausan dan kelaparan. Saat kami mencapai hutan ini jumlah kami tinggal tujuh ratusan. Wahai Gajah Perkasa, tolonglah kami semua, tunjukkanlah kami di mana ada air dan makanan. Kami sangat kelaparan dan kehausan……. Sang Gajah merenung dalam-dalam, tersentuh hatinya melihat makhluk yang nampak sedang putus asa. Sang Gajah menimbang-nimbang makanan apa yang bisa mengenyangkan tujuh ratus manusia. Dia tahu hutan tersebut hanya cocok bagi kehidupan gajah, tak ada makanan yang cocok bagi manusia. Haruskah tujuh ratus nyawa mengalami kematian sia-sia. Harapan mereka hanya pada dia. Yang mengetahui seluk beluk hutan di wilayahnya. Masalah air tak mengapa, ada sebuah telaga kecil yang airnya cukup menghilangkan haus mereka. Akan tetapi berapa lama mereka bisa mempertahankan hidup mereka. Mereka adalah tamu saya. Mereka datang ke wilayah kedaulatan saya. Haruskah saya membiarkan mereka mati kelaparan di sini? Tubuh saya ini tidak abadi. Sudah ratusan penyakit datang dan pergi. Beberapa tahun lagi saya juga akan mati. Di antara tujuh ratus manusia sebagian besar masih muda usia. Kehidupan mereka sangat berguna bagi dunia. Bila mereka selamat, mereka akan berkesempatan menurunkan generasi berikutnya. Demikian terjadi seterusnya. Apakah nilai satu tubuh hewannya yang sudah tua dibandingkan mereka dan keturunannya?….. Sang Gajah kemudian berkata. Saya akan menunjukkan jalan keluar, tetapi tolong direnungkan lebih dahulu……. Manusia bebas untuk melakukan apa saja, menciptakan apa saja namun tidak bebas dari konsekuensi tindakannya. Bertindak dan berpikirlah selaras dengan alam semesta…… Baiklah sekarang usahakan menempuh arah yang saya tunjukkan. Dari tempat ini ada jalan menurun dan di kaki bukit sebuah telaga akan kalian temukan. Beristirahatlah di sana dan hilangkan haus kalian dengan air telaga. Setelah itu teruskan perjalanan sesuai arah yang kutunjukkan. Bangkai gajah yang terjatuh dari tebing akan kalian temukan. Makanlah daging gajah tersebut untuk menghilangkan lapar kalian. Simpanlah beberapa dagingnya untuk bekal di jalan. Kemudian untuk menyimpan air kulitnya dapat kau gunakan. Dan teruslah berjalan seperti arah yang kutunjukkan. Kalian akan melewati gurun kecil dan akan sampai di daerah pertanian. Ada beberapa orang di sana yang hidup sederhana. Mereka akan suka menerima kalian tinggal di sana. Semoga kalian semua selamat tidak kurang suatu apa……. Setelah rombongan pergi Sang Gajah Perkasa mengambil rute berbeda dan berlari cepat sekali…… Bersuka-citalah rombongan mendapatkan telaga. Mereka minum sepuas-puasnya dan mandi memulihkan tenaga. Tiba-tiba terdengar suara jatuhnya barang besar, dan tanah yang diinjak terasa bergetar. Mereka berlarian seakan-akan telah terjadi gempa. Setelah kondisi tenang, mereka melanjutkan perjalanan dengan segera. Mereka bertemu bangkai gajah seperti yang disebutkan Sang Gajah Perkasa. Mereka mengira bangkai gajah ini pasti saudara Sang Gajah Perkasa. Tiba-tiba ada yang berteriak, lihat kakinya yang kuning keemasan dan lihat pula gadingnya yang lengkungannya persis sama dengan Sang Gajah Perkasa. Dia telah mengorbankan hidupnya demi kita semua. Lihat tebing di atas sana, suara benda jatuh dan gempa tadi nampaknya disebabkan dia menjatuhkan dirinya…… Tujuh ratus orang tersebut menangis sedih dan menjatuhkan dirinya. Mereka berdoa bersama. Kami semua sedang menghadapi kematian dan seekor Gajah Perkasa menolong kami dengan mengorbankan nyawanya. Kami semua sepakat menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran berharga. Sang Gajah Perkasa adalah Guru Kehidupan kami semua. Mulai saat ini kami akan berusaha sekuat tenaga, tidak akan melakukan kejahatan apa saja. Akan kami sebarkan peristiwa ini agar manusia bisa meneladani Sang Gajah Perkasa. Setelah beberapa lama, di antara mereka ada yang mendengar dari beberapa orang bijak yang berkata, bahwa Sang Gajah Perkasa adalah seorang Bodhisattva.

Sang Suami: Tindakan altruistis selaras dengan alam semesta. Sang Gajah Perkasa selalu ingin memberi dan berbagi kepada makhluk lainnya. Dia tidak menunggu orang datang padanya, dan minta pertolongannya. Dia keluar untuk bertemu orang-orang yang memerlukan bantuannya. Mereka memberi tanpa diminta. Bahkan Sang Bodhisattva rela mengorbankan nyawanya. Dalam buku Bodhidharma dijelaskan bahwa para bijak sudah berada dalam Dharmachakra, sedangkan kita masih berada dalam Kalachakra…… Umumnya, kita berputar bersama Kalachakra, Waktu, Roda Sang Kala. Keberadaan kita tergantung pada waktu dan ruang, merekalah pengendali hidup kita. Karena itu, apa yang kita sebut dan pahami sebagai Tuhan, jangan-jangan Sang Kala. Para bijak, mereka yang sudah memperoleh pencerahan dan melampaui Kalachakra, berputar bersama Dharmachakra, Yang Melampaui Waktu, Wujud, Ruang, Pikiran, Perasaan dan segala bentuk kegiatan. Seperti apa putaran mereka tak dapat dijelaskan. Penjelasan hanya dapat diberikan dalam konteks waktu dan ruang saja. Pun mereka bebas dari segala macam dosa, tak tercemarkan, karena sampah waktu, Kalachakra tak dapat menyentuh mereka. Berada dalam Kalachakra, setiap orang berputar demi dirinya. Hukum Karma, Sebab-Akibat, Aksi-Reaksi masih mengikat dirinya. Berada dalam Dharmachakra, manusia tidak lagi berputar demi dirinya. Hukum Karma sudah tidak mengikat dirinya. Ia berputar demi Dharma, demi putaran itu sendiri. Bumi kita berputar demi Dharma, demi putaran itu sendiri. Untung, ia tidak berputar demi kita, demi manusia. Kita menganiayanya, kita melecehkannya, kita memperkosanya, tetapi ia tidak berhenti berputar. Bayangkan, apa yang terjadi pada ia mulai berpikir, “Umat manusia sudah keterlaluan, brengsek bener mereka. Untuk apa berputar bagi mereka? Berhenti sejenak ah’ aku sudah celaka biar mereka pun ikut celaka, tahu rasa!” Tapi tidak, ia tak pernah “berpikir” demikian, ia tetap bertindak sesuai dengan Dharma. Ia tidak pernah lalai sesaat pun juga. Kita merampoknya, mencemarinya, tetapi ia tetap memaafkan dan tetap memberi tanpa henti…... Matahari terbit dan terbenam demi Dharma. Ia tetap saja terbit dan terbenam seperti biasa. Hukum gravitasi bekerja sesuai dengan Dharma. Bayangkan apa yang terjadi bila hukum tersebut “berhenti berlaku” selama satu menit saja, terpental ke mana kita semua?! Begitu pula dengan hukum-hukum alam lainnya. Hukum Karma atau Sebab-Akibat, Aksi-Reaksi pun bekerja sesuai dengan Dharma. Begitu pula seorang menteri. Ia bertindak sesuai dengan perintah raja, dan tidak dapat bertindak “tanpa Kerajaan”. Kerajaan yang dimaksud dalam hal ini adalah “ruang dan waktu”. Hukum alam hanya berlaku dalam Kalachakra, dalam Roda Sang Kala, Waktu Agung. Tanpa Kerajaan, hukum-hukum Kerajaan “ada”, tapi “tidak dapat diberlakukan”. Dalam Dharmachakra, hukum-hukum alam ada tapi tidak berlaku. Demikian penjelasan tentang orang bijak dalam buku “Bodhidharma”.

Sang Istri: Sri Mangkunegara IV mengetengahkan moralitas, kepahlawanan, kesetiaan dan dedikasi terhadap bangsa dengan memberikan tiga tokoh wayang yang pantas diteladani yaitu Karna, Kumbakarna dan Patih Suwanda. Mereka telah mengorbankan nyawanya demi negerinya, dalam setting yang berbeda. Altruisme adalah ajaran universal setiap agama. Alam semesta pun selalu memberikan persembahan kepada manusia….. Ayam bertelur sebutir setiap hari, dan tidak semuanya dipergunakan untuk meneruskan kelangsungan jenisnya. Sapi juga memproduksi susu melebihi kebutuhan untuk anak-anaknya. Padi di sawah menghasilkan butir-butir gabah yang jauh melebihi kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan kelompoknya. Pohon mangga juga menghasilkan buah mangga yang jauh lebih banyak dari yang diperlukan untuk mengembangkan jenisnya. Pohon singkong memberikan pucuk daunnya untuk dimakan manusia, akar ubinya pun juga dipersembahkan, mereka menumbuhkan singkong generasi baru dari sisa batang yang tidak berharga. Sifat alami alam adalah penuh kasih terhadap makhluk lainnya. Lebih banyak memberi kepada makhluk lainnya. Sikap yang altruistis memikirkan kepentingan orang lain selaras dengan alam semesta. Egolah yang membuat manusia lebih mementingkan dirinya.

Sang Suami: Ketujuh ratus orang yang diselamatkan Bodhisattva yang mewujud dalam bentuk Gajah Perkasa menganggap Bodhisattva sebagai Guru Kehidupannya…… Dalam buku “Wedhatama”, Sri Mangkunegara IV agar seseorang pantas disebut Guru, ia haruslah seorang pertapa. Tapa berarti “pengorbanan”. Apa yang harus kita korbankan? Keangkuhan, hawa nafsu, ketamakan dan keserakahan. Semua itu yang harus dikorbankan, dilepaskan. Tapa tidak berarti pelarian diri dari duniawi. Tapa berarti pelepasan diri dari keterikatan duniawi. Tetap berada di dunia ini, menikmati segalanya, tetapi tidak terikat padanya. Mereka yang sanggup melakukan hal itu, baru bisa disebut Pertapa.

Sang Istri: Seorang Bodhisattva hidup di dalam dunia ini, tetapi tidak terikat dengan dunia dan keduniawian. Seorang Bodhisattva juga tidak terpengaruh oleh pendapat siapa pun tentang dirinya. Ia selalu berusaha untuk berbuat baik, karena Kebaikan adalah sifatnya. Seorang Bodhisattva tidak berbuat baik untuk dipuji, atau untuk memperoleh penghargaan. Karena itu, jika sebagian masyarakat tidak memahaminya, atau malah menghujatnya, ia pun tidak terpengaruh oleh hujatan itu. Demikian penjelasan tentang Bodhisattva yang sering disebut dengan istilah Jeevan Mukta atau dalam buku “Sutasoma”.

Terima Kasih Guru. Jaya Guru deva!

Situs artikel terkait


Pointer Tambahan hasil dari Komentar dan tanggapan di Facebook

Renungan Tentang Kisah Altruisme Seekor Gajah Pada Relief Candi Borobudur

  1. Altruisme adalah kata yang mahal di kehidupan… Altruisme bukan pengorbanan agar mendapatkan surga….. Altruisme hanya dikenal oleh mereka yang menyadari bahwa hidup adalah suatu …proses tiada akhir bagaikan proses siklus air maupun benda-benda alam lainnya.
  2. Apakah sekarang ada di negeri ini yang mempunyai sifat pengorbanan seperti sang gajah????? Mudah-mudahan dengan membaca note ini akan tumbuh generasi yang mempunyai sifat-sifat seperti sang gajah.
  3. There are no free lunches – apapun yang kita lakukan, ada konsekuensinya. Ada aksi ada reaksi. Ada sebab ada akibat.
  4. Sesungguhnya manusia dapat memprogram pikirannya untuk menerima hukum alam dan dengan demikian hidup selaras dengan alam. Atau dapat memprogram pikirannya untuk melawan hukum alam dan menciptakan konflik yang tidak berkesudahan. Manusia bebas untuk menciptakan apa saja namun tidak bebas dari konsekuensi ciptaannya sendiri. la bahagia dan menderita karena pikiran yang diciptakannya sendiri.
  5. Mari korbankan sifat hewani dalam diri. Luar bisa pengorbanan sang gajah. Malu sebagai manusia kalau sifat hewani lebih ditonjolkan,sementara sang hewan gajah sangat manusiawi.
  6. Tanpa kerelaan untuk berkorban untuk mengorbankan kenyamanan dan kesenangan diri demi kepentingan yang lebih tinggi. Lebih luas dan menyangkut banyak orang kita tidak akan mampu mempertahankan kesadaran kita. Semoga banyak pemimpin kita yang sadar dan mampu mengorbankan kenyamanan dan kesenangan diri demi bangsa.
  7. Jiwa yang lemah lembut, jiwa yang kenal cinta, akan selalu setiap berkorban. Pengorbanan menjadi sifatnya. Ia akan terluka, tetapi tidak akan pernah melukai orang lain. Berada di atas salib, seorang Nabi Isa bisa memaafkan para pembunuhnya.
  8. Cara pandang manusia saat ini sangat materalistis. Seluruh perhatian kita terpusat pada fisik, raga, jasmani. Kita tidak bisa melihat kekuatan jiwa. Karena itu, “berkorban” dan “pengorbanan” adalah kata-kata asing bagi kita.
  9. Suatu kisah adalah multi interpretasi. Dan pandangan seseorang adalah dari sudut pandang orang tersebut. Kami ingat SMS Wisdom: Sungguh bodoh bila manusia menganggap pemahaman sert…a penjelasannya tentang Kebenaran sebagai Kebenaran Mutlak. Kisah hanya bermanfaat bila dapat mengetuk nurani dan membangkitkan semangat memberdaya diri dari dalam.
  10. Tidak banyak orang-orang bijak dewasa ini; Sudah saatnya kita harus berani memulai untuk berpikir, berpandangan dan bersikap bijak melalui kesadaran diri kita.
  11. Pada dasarnya manusia memiliki sifat cinta kasih, karena manusia itu masih ditutupi oleh sad ripu antara lain kama, loba yang kadarnya b9sa sangat tinggi, dan penyakit manusia yang paling sering adalah iri hati. Pertanyaannya pada saat kapan diri kita bisa menjadi seorang pertapa dan manusia bisa menyadari benar tindakan yang dia lakukan akan terkena hukum sebab akibat dan bisa berjalan selaras dg alam???..
  12. Mengutip kata-kata Gandhi “Cinta takkan memberikan apa-apa pada kalian, kecuali keseluruhan dirinya, dan ia pun tidak mengambil apa-apa dari kalian, kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tidak memiliki atau dimiliki, karena cinta telah cukup untuk cinta”…
  13. Jadi manusia kita harus punya sikap iklas, pasrah, kasih dan pemaaf.. Dan tegakkan dharma itu.
  14. Seluruh kegiatan bisa kita spiritualkan. Sembah Raga, Sembah Cipta, Sembah Rasa adalah menspiritualkan Raga, Pikiran dan Rasa setiap saat….. Ada contoh dalam buku Srimad Bhagavatam, rata-rata para raja setelah pensiun dikisahkan mencari Kebenaran dalam hutan. Setelah bekal untuk keluarga cukup, bisa mempersembahkan diri bagi Kebenaran. Tidak harus pergi ke hutan tetapi meninggalkan keterikatan keduniawian…..
  15. Seorang Guru dalam permulaan kehidupan spiritual sangat penting perannya. Gajah Putih atau bodhisattva ini melaksanakan tanggung jawabnya dengan tepat sebagai Guru, demi keselamatan orang-orang yang ditolongnya. Maka pemilihan seorang Guru spiritual bagi kita sangat vital demi kelanjutan kehidupan kita. Hendaknya kita kritis dalam menilai dan menguji bukan hanya kemampuan sang Guru, namun juga ketulusan hatinya, dedikasinya, dan keselarasan sifat sang Guru dengan diri kita. Berlindung kepada Guru spiritual akan menimbulkan hubungan batin yang mempengaruhi diri kita. Akan ada banyak petunjuk, kejadian, dan latihan yang sebaiknya diterima dengan lapang dada demi perbaikan diri sendiri. Guru spiritual ini tidak hanya ada satu, bisa juga banyak, bisa jadi satu Guru pertama membuka jalan bagi pertemuan kita dengan guru-guru lain, dalam bakti kita kepada para guru, sebaiknya kita menjadikan salah satu guru yang sangat berperan seperti gajah putih itu sebagai Guru Akar kita. Berhati-hatilah, kini banyak bermunculan guru-guru palsu yang mencari keuntungan material, kedudukan, dan ketenaran semata tanpa mempedulikan keselamatan murid-muridnya. Mereka berani menerima bakti, penghormatan, dan puja yang selayaknya pantas dihaturkan kepada para guru sejati, namun akan segera melarikan diri dari tanggung jawabnya jika terjadi kesalahan para murid dalam melaksanakan ajarannya. Guru Akar sangat menentukan perjuangan murid-muridnya dalam menemukan sendiri diri mereka yang sejati, maka Guru Akar sebaiknya dihormati dengan sepenuh hati dengan melaksanakan segala ajarannya dalam kehidupan nyata. Bodhicittanya akan berkembang dengan baik dalam diri kita jika kita berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, dengan melepaskan segala kemelekatan terhadap keserakahan, kebencian, kebodohan, dan konsep-konsep.

Terima Kasih.

Salam __/\__