GotoBus

Renungan Tentang Tobat Dalam Kisah Kunjarakarna pada Relief Candi Jago di Jawa Timur

Renungan Tentang Tobat Dalam Kisah Kunjarakarna pada Relief Candi Jago di Jawa Timur



Sepasang suami istri sedang memperbincangkan Kisah Kunjarakarna pada relief Candi Jago di Jawa Timur. Sebuah kisah yang diambil dari kitab sastra kuno gubahan para leluhur. Mereka mencoba memaknainya dengan buku-buku Bapak Anand Krishna. Mereka mohon dimaafkan apabila terdapat pemaknaan yang tidak seharusnya.

Sang Istri: Kunjarakarna, seorang Raksasa ingin menjadi seorang manusia di kehidupan berikutnya. Dia berupaya menemui Wairocana untuk mendapatkan restunya. Oleh Wairocana dia diminta menuju ke tempat Dewa Yama, Sang Dewa Neraka. Kunjarakarna melihat gunung-gunung membara berpintu besi. Juga menyaksikan pohon-pohon berdahan pedang dan burung-burung bersayap belati. Nampak Panglima Kingkaras menghajar roh-roh manusia berdosa. Kunjarakarna kemudian mendapat penjelasan tentang neraka oleh Dewa Yama. Kunjarakarna bertanya tentang ketel besar yang sedang dipersiapkan untuk menghukum roh manusia. Dewa Yama menyampaikan bahwa ketel tersebut diperuntukkan bagi Bidadara Purnawijaya, yang dalam waktu dekat akan meninggal dunia. Purnawijaya akan berada dalam ketel panas tersebut selama 100.000 tahun lamanya. Kunjarakarna kaget karena Purnawijaya adalah salah seorang sahabatnya yang tinggal di surga di mana dia ingin hidup seperti Purnawijaya yang nampak hidup berbahagia. Setelah selesai menimba pelajaran dari Dewa Yama, Kunjarakarna tidak kembali ke Wairocana, tetapi menemui Purnawijaya…… Purnawijaya kaget dan berada dalam depresi nyata. Mereka berdua kemudian menuju tempat Wairocana. Kunjarakarna menghadap Wairocana dan mendapatkan pelajaran tentang kesempurnaan hidup yang sangat berharga. Setelah Kunjarakarna mohon diri, kemudian Purnawijaya menghadap Wairocana dengan segenap penyesalan atas tindakan-tindakan yang pernah dilakukannya. Setelah mendapatkan pelajaran dari Wairocana, Purnawijaya semakin terbuka dan bertekad tidak akan mengulangi kesalahannya. Permohonan Purnawijaya agar tidak mendapatkan siksa neraka tidak dapat dipenuhi. Dia akan mengalami siksaan neraka dalam mimpinya selama sepuluh hari. Setelah pulang dari Wairocana dia menemui istrinya agar sewaktu dia meninggal selama sepuluh hari jasadnya dijaga. Selesai sudah sepuluh hari meninggalnya Purnawijaya dan sang istri merasa berbahagia, karena mengira mereka akan hidup seperti sedia kala. Purnawijaya kemudian berkata bahwa dia bersama Kunjarakarna akan pergi ke Gunung Semeru, kemudian sang istri pun mengikutinya……. Konon ketel mendidih tersebut hancur lebur sewaktu roh Purnawijaya dilemparkan ke dalamnya. Bahkan muncul sebatang pohon surga dengan kolam teratai yang amat indahnya. Para pengawal Neraka segera lapor kepada Dewa Yama. Purnawijaya pun menceritakan pertemuannya dengan Wairocana. Semua dewa pun datang bersamaan menanyakan apa yang terjadi kepada Dewa Yama. Para dewa kemudian menghadap Wairocana dan mendapat penjelasan tentang Kunjarakarna dan Purnawijaya. Para dewa kemudian kembali ke alam surga…….

Sang Suami: Atas “blessing” Wairocana, siksaan yang seharusnya dialami Purnawijaya selama 100.000 tahun hanya dialami selama 10 hari dalam mimpinya. Dalam mimpi pikiran bergerak demikian cepatnya. Peristiwa yang makan waktu lama di alam fisik bisa saja dialami dalam alam mimpi sebentar saja. Waktu adalah relatif……Kecepatan cahaya adalah sekitar 300.000 km per detik. Jika kita bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka benda-benda yang bergerak nampak bergerak perlahan. Ketika kecepatan gerakan kita sama dengan kecepatan cahaya maka benda yang bergerak akan nampak diam. Kecepatan waktu diasumsikan mempunyai kecepatan yang sama dengan kecepatan cahaya. Berdasarkan hal tersebut, maka jika kita bergerak melebihi kecepatan cahaya maka kita kita bisa pergi ke masa depan atau masa lalu. Atas dasar itulah film-film fiksi masa lalu dan masa depan dibuat…….. Dalam kitab Vasishta Yoga ada kisah tentang Ratu Leela. Dewi Saraswati menjelaskan kepada Ratu Leela ada 3 jenis “akash”, yaitu “bhutakash”- tahap elemen seperti yang terjadi di dunia fisik, “chitakash”- tahap mental pikiran yang terjadi di alam pikiran, dan “chidakash”- tahap kesadaran yang ada di dalam alam kesadaran. Dewi Saraswati menjelaskan bahwa alam chidakash adalah konsep pemahaman pikiran saja. Sebagai ilustrasi Dewi Saraswati menyampaikan bahwa delapan hari di Chidakash adalah 40.000 tahun di dunia. Memori bukanlah suatu unsur, memori adalah nama lain dari pemahaman pikiran, sankalpa dan merupakan salah satu akash jalan pikiran. Memori hanyalah sebuah refleksi, sankalpa. Seandainya memori hanyalah sebuah sankalpa atau akash, maka alam semesta ini pastilah sankalpa juga……. Dalam buku “Shambala” juga diberikan ilustrasi bahwa 1 menit di Shambala sekitar 5 tahun di bumi. Sehingga seseorang yang berada di Shambala bisa melihat masa lalu sampai masa depan…….. Atas “blessing” Sang Wairocana, seseorang yang menderita karma siksaan dalam mimpi sudah setara dengan karmanya yang seharusnya lama dialami di dunia.

Sang Istri: Kecepatan cahaya adalah sekitar 300.000 km per detik. Kecepatan suara yang terdengar telinga sekitar 344 m/detik. Kecepatan lari manusia sangat lambat dibandingkan dengan kecepatan suara yang keluar dari mulut manusia. Kecepatan suara manusia tidak dapat melawan kecepatan daya lihat dari mata manusia. Daya lihat manusia merupakan daya tangkap dari kecepatan cahaya. Kecepatan pikiran manusia jauh melampau kecepatan cahaya. Dimana daya pikir manusia dapat menampakkan berbagai gambaran dalam sekejap. Walaupun kecepatan pikiran sudah sedemikian cepatnya, ternyata masih ada yang jauh melampau kecepatan pikiran manusia yaitu kesadaran sejati. Sebelum segala gambaran pikiran timbul, kesadaran sejati telah ada jauh sebelumnya. Sehingga kesadaran sejati tidak dapat diperdaya oleh gambaran dan kemelekatan pikiran yang timbul. Dalam mimpi kita berada dalam alam pikiran, maka waktu berjalan begitu cepatnya…..

Sang Suami: Purnawijaya belum sadar bahwa sebuah kesalahan besar dari tindakannya di dunia akan berakibat menderita di dunia selama banyak kehidupan yang digambarkan berada dalam keadaan ketel mendidih selama 300.000 tahun. Sebuah kebiasaan yang sudah menjadi pola pikiran bawah sadar, mengakibatkan synap saraf yang hampir permanen sehingga sulit mengubahnya dan terbawa dalam kelahiran berikutnya. Tanpa perjuangan untuk mengubah diri, pola tersebut akan terbawa dalam banyak kehidupannya. Dalam Srimad Bhagavatam digambarkan seseorang yang suka selingkuh akan dimasukkan dalam air kencing wanita yang mendidih. Dapat dimaknai dia harus lahir dari banyak rahim wanita sampai lenyap kebiasaan jeleknya. Dan selama itu dia akan mengalami suka dan duka tak berkesudahan akibat tindakannya. Hanya tobat, tidak mengulangi tindakan lama yang dapat mempercepat proses sebab-akibatnya dan itulah yang dijalani oleh Purnawijaya……

Sang Istri: Kunjarakarna mendapat pelajaran tentang hukum karma dan diteruskan kepada Purnawijaya. Itulah yang mendorong mereka untuk melakukan tobat, tidak mengulangi kesalahan mereka……. Ada yang lahir dalam keluarga kaya. Ada yang lahir dalam keluarga miskin. Ada yang lahir sehat, ada yang cacat. Apa sebabnya? Apabila kita percaya bahwa Tuhan Adalah Maha Adil, bahwa Tuhan Adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, lantas kenapa ada yang berbuat baik, tetapi menderita terus? Lantas ada pula yang berbuat jahat, tetapi berjaya terus? Ada yang mengatakan, “Tuhan sedang menguji mereka”. Ujian macam apa? Apabila betul ujian, maka sangat tidak adil. Ada yang duji, ada yang tidak diuji. Kita harus meninggalkan konsep-konsep semu, dan berani menerima sesuatu yang baru. Apabila kita belum berani menerima sesuatu yang baru, dan masih nyaman dengan dogma-dogma lama, ilmu yoga atau penyatuan tidak cocok untuk kita. Hukum Karma berarti hukum sebab-akibat. Setiap sebab akan berakibat. Kehidupan kita sekarang ini merupakan akibat dari kehidupan yang lalu. Perilaku kita dalam hidup ini akan menentukan kehidupan kita berikutnya……..

Sang Suami: Tobah atau Taubah berarti kembali kepada Diri Sendiri, itulah arti kata “tobah”, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Yunani menjadi metanoia. “Kembali kepada Diri Sendiri” berarti secara sadar mengembalikan segala persoalan kepada diri sendiri; bertanggung jawab atas segala perbuatan, ucapan, serta pikiran kita. Tobah berarti “bertobat”, dan “bertobat” bukan sekedar penyesalan atas suatu tindakan yang salah, tetapi juga upaya nyata untuk membenahi diri, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, dan bertanggung jawab atas kesalahan yang sudah terjadi. Tidak perlu mencari pembenaran, tidak usah mencari kambing hitam. Menghadapi musibah dan kesulitan seberat apapun seorang Sufi tak akan mengeluh: “Tuhan, di mana Kau?” Ia tidak arogan, “Oh, Tuhan sedang menguji saya.” Ia tidak gampang menyerah, ”Demikianlah takdir saya,” Ia akan selalu kembali pada diri sendiri, “Apa yang terjadi, karena perbuatanku sendiri. Aku pula yang harus memperbaikinya.” Demikian diuraikan dalam buku “Haqq Moujud”.

Sang Istri: Dalam buku “Kidung Agung” disampaikan bahwa taubah juga berarti membelok. Nafsu tidak pernah mati, maka harus dikendalikan; mesti ditarik dari dunia dan keduniawian, kemudian diarahkan ke Allah dan keilahian. Proses pengarahan nafsu kepada Tuhan dan ketuhanan itulah spiritualitas. Itulah meditasi. Dalam bahasa-bahasa Timur Tengah itu disebut taubah, atau membelok, kembali. Maksudnya: kembali pada diri sendiri, karena itulah kerajaan-Nya; di sanalah Ia bersemayam…….

Sang Suami: Kunjarakarna bersama Purnawijaya dengan istrinya sadar dan melakukan perjalanan ke Gunung Semeru. Perjalanan ke Gunung Semeru adalah perjalanan menaikkan kesadaran, menuju puncak kesadaran. Setelah sadar Kunjarakarna bersama Purnawijaya dan istrinya meninggalkan pola kebiasaan lama dan menempuh hidup baru dengan penuh kesadaran mereka. Mereka akan mengendalikan diri terhadap dorongan kebiasaan pola lama mereka. Mereka menjadikan pengendalian diri sebagai tujuan hidup mereka………. Bersungguh-sungguhlah untuk mengupayakan pengendalian diri, kemenangan akan selalu ada di genggaman, dan kesempurnaan dalam hidup ini akan dapat diraih. Jadikanlah pengendalian diri sebagai kebiasaan, maka perangkap dunia yang ilusif ini tidak akan membelenggu kita. Dunia yang saat ini ada, dan sesaat kemudian tidak ada, ini tidak akan memerangkap kita. Pengendalian diri adalah kekuatan. Bila berhasil mengendalikan diri, kita akan dapat mengendalikan kekerasan dan ketakberesan di luar diri. Orang yang berhasil mengendalikan dirinya tak akan terkendali oleh orang lain. Ia tidak bisa dibeli, tidak bisa digoda, tidak bisa dirayu. Ia memiliki kepercayaan diri yang luar biasa. Jadilah orang itu. Demikian disampaikan buku “Be The Change”.

Sang Istri: Ada petuah dari buku “Be the Change” yang perlu kita perhatikan…… Dari zaman ke zaman, ajaran-ajaran luhur pun perlu dimaknai kembali, dikonstektualkan. Kebiasaan-kebiasaan lama mesti diuji terus apakah masih relevan, masih sesuai dengan perkembangan zaman. Ah, tapi kita malas. Kita tidak mau berijtihad, berupaya, lalu menerima saja apa yang disuapkan kepada kita. Padahal kitab-kitab suci pun melarang kita mengikuti seseorang secara membabibuta, walaupun orang itu rahib atau mengaku sebagai agamawan atau rohaniwan