GotoBus

TANTRAYANA

TANTRAYANA
Oleh : Ida Pedanda Gede Pemaron Mandhara

Kajian Sejarah
Beberapa orang Indolog beranggapan bahwa ada hubungan antara Konsep-Dewi (Mother-Goddes) yang bukti-buktinya terdapat dalam suatu zeal di Lembah Sindhu (sekarang ada di Pakistan) dalam kurun waktu sebelum zaman Weda, dengan Konsep Mahanirwana Tantra, Konsep ini berpangkal pada percakapan Dewi Parwati dengan Sang Hyang Sada-Siwa yang membentangkan turunnya Dewi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku. Dalam beberapa sumber Dewi Durga juga disebut Candi. Dan sinilah pada mulanya muncul istilah “candi” (candikaghra) untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja dewa dan arwah yang telah suci, Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku disebut Kalimosada (Kali-maha-usada,) yang artinya Dewi Durga adalah obat yang paling mujarab dalam zaman kekacauan moral, pikiran dan perilaku; sedangkan misi Beliau turun ke bumi disebut Kalika-Dharma.

Dan konsep Dewi itu muncullah Saktiisme yaitu suatu paham yang mengkhususkan pemujaan kepada Sakti yang merupakan suatu kekuatan daripada Dewa. Di dalam konsep monodualis bahwa Nirguna Brahma dalam Dewa bersifat pasif yang juga disebut Dewi. Dari sini muncullah istilah Dewa dan Dewi atau Bhatara-Bhatari yang oleh pikiran manusia dipandang sebagai manifestasi tersendiri dan juga dipersonifikasikan dalam imajinasi manusia secara tersendiri pula. Para pemuja sakti ini disebut Sakta.

Dalam perkembangannya lebih lanjut daripada Saktiisme ini, maka muncullah Tantriisme yaitu suatu paham yang memuja Sakti secara ekstrim. Para penganut paham ini disebut Tantrayana. Istilah “Tantrayana” berasal dari akar kata “tan” yang artinya ‘memaparkan kesaktian “atau” kekuatan daripada Dewi itu”. Di India penganut Tantriisme lebih banyak terdapat di India-Selatan daripada di India Utara. Kitab-kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali, kurang lebih ada 64 macam antara lain Mahanirwana Tantra, Kulanarwana Tantra Bidhana, Yoginihrdaya Tantra, Tantrasara dan lain sebagainya. Tantrayana berkembang luas sampai ke Cina, Tibet dan Indonesia. Dari Trantriisme muncullah suatu paham Bhairawa yang artinya “hebat”. Paham Bhairawa secara khusus memulai kehebatan daripada Sakti dengan cara-cara yang spesifik. Bhairawa inipun berkembang sampai ke Cina, Tibet dan Indonesia.

Di Indonesia masuknya Saktiisme, Tantriisme dan Bhairawa dimulai sejak abad ke-7 melalui kerajaan Sriwijaya di Sumatera sebagaimana diberikan persaksian oleh prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India Selatan dan Tibet. Dari peninggalan purbakala dapat diketahui ada tiga macam Bhairawa yaitu : Bhairawa Heruka yang terdapat di Padang Lawas-Sumatera Barat, Bhairawa Kalacakra yang dianut oleh Kertanegara, raja Singosari - Jawa Timur serta oleh Adhityawarman pada zaman Gajah Mada di Majapahit dan Bhairawa Bhima di Bali yang arcanya kini ada di pura Kebo Edan Bedulu Gianyar. Aliran-aliran Bhairawa ini mempunyai tendensi politik guna mendapatkan kharisma besar yang diperlukan dalam pengendalian pemerintahan dan menjaga keamanan negara (baca kerajaan). Maka dari itulah Bhairawa ini diikuti oleh raja-raja dan petinggi pemerintahan serta tokoh-tokoh masyarakat saja pada zaman dahulu.

Pada zaman dahulu dimana tekriologi belum maju, penjagaan keämanan negara dan pengendalian pemerintahan didasarkan atas kharisma raja dan petinggi pemerintahan Kertanegara menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengftnbangi kekuatan Kaisar Kubilai Khan di Cina yang menganut Bhairawa Heruka. Kebo Parud, patih Singosari menganut Bhairawa Bhima mengimbangin raja Bali yang kharismanya tinggi. Adhityawarman menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi kharisma raja-raja Pagaruyungan di Sumatera Barat yang menganut Bhairawa Heruka.

Di Bali, perkembangan daripada Konsepsi-Dewi itu nyata sekali berupa pemujaan terhadap Dewi atau Bhatari lebih menonjol daripada pemujaan terhadap Dewa atau Brahma misalnya:
pemujaan terhadap Dewi Saraswati, Dewi Durga, Dewi Sri, Dewi Gangga, Dewi Danuh dan lain sehagainya. Di dalam sistem kekerahatan di Bali, banyak sekali terdapat Pura Ibu yang mempunyai konotasi terhadap Konsep Dewi.

Perkembangan Saktiisme di Bali juga menjurus kepada dua aliran mistik yaitu Pangiwa dan Panengen. Dari Pangiwa muncullah pengetahuan tentang leyak, Desti, Tëluh, Taranjana dan Wegig, sedangkan dari Panengen muncullah pengetahuan tentang Kawisesan dan Pragolan. Pangiwa berasal dari sistem Niwerti dalam doktrin Bhairawa. Selain itu beberapa formula dalam Atwarwa Weda juga mengilhami mistik ini. Adapun kitab-kitab Tantrayana di Indonesia antara lain adalah Tantrayana di Indonesia antara lain adalah : Tantrawajra dhatusubuti, Candra Bhairawa dan Semara Tantra. Di Bali banyak orang bernama Tantra dan ada suatu karya sastra populer di Bali bernama Tantri yang memaparkan berbagai episode yang pada mulanya mengungkapkan suatu aspek Mithura dari Pancatattwa suatu doktrin Tantrayana.

Doktrin Tantrayana
Ajaran Tantrayana dibentangkan dalam kitab-kitab Tantra-Sastra yang juga disebut kitab-kitab agama yang banyaknya kurang lebih 64 buah. Pada dasarnya Konsepsi-Ketuhanan (Theisme) dalam Tantrayana adalah Monoisme yaitu pemujaan terhadap satu Tuhan yang disebut Brahman. Konsep ini dijelaskan dalam Mahanirwana Tantra (12) dengan suatu kalimat berbunyi “Om Saccidekam Brahman” (Om, hanya satu kesadaran tertinggi yang disebut Brahman), Konsep Monisme ini muncul dari pandangan Advaita dalam Wedanta Darsanam. Fokus ajaran Tantrayana adalah wujud suatu keseimbangan dalam kehidupan di dunia ini. Ditekankannya bahwa keseimbangan kesejahteraan material dengan kesejahteraan rohani adalah sangat penting untuk terwujudny jagadhita, karena jagadhita ini memotivasi munculnya ketenangan batin yang merupakan suatu syarat mutlak untuk mencapai ketenangan jiwa (bhukti) yang selanjutnya akan menuju moksa (mukti), untuk terwujudnya keseimbangan itu, Tantrayana mengajarkan dua sistem yang ditempuh yaitu : wahya dan adhyatmika (sekala dan niskala). Pernyataan produk kedua sistem ini akan dapat mewujudkan jagadhita dalam kehidupan. Dalam konteks sistem ini, maka konsep Monisme itu dikembangkan menjadi konsep Monodualis yaitu : satu itu dijadikan dua dan dua itu disatukan seperti yang telah dipaparkan di depan.

Upacara
Tantrayana menekankan betapa pentingnya upacara agama (ritual) dilakukan, karena peran upacara agama merupakan suatu aktivitas untuk memujudkan keseimbangan hidup di dunia ini. Di dalam kitab Mahanirwana Tantra dibentangkan prinsip-prinsip upacara Panca-Yajna yang perlu dilaksanakan. Disebutkan pula materi atau sarana-sarana yang digunakan upakara termasuk penggunaan binatang korban dalam kaitannya dengan caru. Tantrayana secara rinci menjelaskan tata-cara melakukan yajna serta kepada siapa yajna itu dipersembahkan. Dengan memperhatikan isi kitab-kitab Tantra Sastra yang memuat ajaran Tantrayana dapat dipahami, bahwa bentuk-bentuk upakara dan upacara yajna yang diselenggarakan di Bali, secara jelas terlihat adanya pengaruh dari Tantrayana, di samping juga mendasakan kepada berbagai Sastragama Hindu sebagai penjabaran dan Catur Weda, serta disemarakkan oleh produk sosial budaya daerah yang berasal dari alam pikiran pra-Hindu di Indonesia.

Tapa dan Brata
Pengendalian din melalui tapa dan brata sangat ditekankan dalam Tantrayana. Istilah tapa berasal dan akar kata tap artinya panas. Bertapa artinya memusatkan pikiran (cita) kepada Hyang Widhi dalam manifestasi tertentu, Di dalam melaksanakan pemusatan pikiran itu badan akan merasa panas. Menurut Yoga-Kundalini, bahwa panas yang muncul pada diri kita ketika memusatkan pikiran itu akan membakar kekotoran (mala) yang melekat pada Sthulasarira, suksmasarira dan antahkarana (malatraya).

Brata adalah suatu disiplin batin yang memuat dua hal yaitu : keharusan dan larangan; apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tantrayana mengajarkan suatu brata yang patut dilakukan yaitu : Panca tattwa yang terdiri dari:

1). Matsya : memakan ikan;
2). Mamsa : memakan daging
3). Madhya : meminum minuman yang menghangatkan badan;
4). Maithuna : melakukan hubungan seks yang benar.
5). Mudra : melakukan sikap tangan yang mengandung kekuatan gaib.

Sesungguhnya Pancatattwa ini adalah rasional dan alamiah serta mengandung filosofi yang dalam. Arthur Avalon mengkaji hal ini secara panjang lebar dan mendalam dalam bukunya Sakti and Sakta. Pada prinsipnya Pancatattwa ini merupakan suatu filosofi hubungan bhuwana agung dan bhuwana alit yang mengandung nilai selaras serasi dan seimbang. Kendatipun demikian, namun penerapan Pancatattwa ini sering menyimpang dari filosofinya, dikarenakan oleh kelemahan manusia menghadapi pengaruh sadripu sehingga seringkali Pancatattwa itu diartikan sebagai Mahakamapancikam yaitu pemenuhan lima macam nafsu yang amat besar.

Puja-Mantra
Mahanirwana Tantra yang dijadikan dasar pegangan oleh Tantrayana sangat karya dengan Puja dan Mantra, Mantra-mantra seperi : Mula Mantra, Bija-Mantra, Kutha Mantra, Astra Mantra, dan Kawaca Mantra serta berbagai Wijaksara yang digunakan oleh Sulinggih di Bali, menurut basil penelitian berasal dari Mahanirwana Tantra. Demikian pula Stuti dan Stawa yang digunakan di Bali, sebagian berasal dan Puja Mantra Tantrayana. Mudra dan Siwa-upakarana yang yang digunakan oleh Sulinggih di Bali, berasal dari Mahanirwana Tantra. Selain mengambil sumber dari Mahanirwana Tantra, bahwa Puja-Parikrama di Bali mengambil sumber dari Catur Weda dan dari berbagai Upanisad.

Mistik Hindu selain dimunculkan oleh konsep Tantrayana, namun juga dimunculkan oleh Atharwa-Weda. Sebagaimana dimaklumi, bahwa Atharwa-Weda memuat formula-formula untuk menguasai kekuatan gaib dalam rangka mengamankan pelaksanaan upacara agama. Dari sini dapatlah dipahami mengapa agama Hindu menggunakan Wijaksara (magic sylable). Mudra dan Nyasa (lambang-lamhang gaib) dalam konteks upacara agama. Di Bali, munculnya upacara yang bersifat khusus dengan menggunakan upakara yang khusus pula dan spesifik seperti : Caru Lebur Sangsa, Caru Nwagempang, Pangelukatan Dyus Kinurungan, Labaan Babahi, dan lain sebagainya, dapat dipandang berasal dari kedua konsep tersebut tadi.

Wasana Kata
Demikianlah sekilas pikiran mengenai Tantrayana dalam konteks kehidupan agama Hindu di Indonesia terutama di Bali. Dengan pengungkapan yang sederhana inii, kiranya akan dapat menggugah perhatian untuk mendalami agama Hindu dengan mengkajinya dari berbagai aspek meliputi filosofi, etika, ritual, sosial-budaya dan ekonomi. WHD No. 434 April 2003.
Makna Pecanangan

MAKNA “PECANANGAN”
Oleh : Miswanto, Denpasar

Biasanya kita sering melihat para sulinggih, pemangku, ataupun orang-orang tua di Bali mempunyai kebiasaan “nginang” atau dalam bahasa halusnya disebut “mecanangan” (biasanya untuk kalangan sulinggih), suatu kegiatan makan sirih/base yang sudah dicampur dengan buah pinang/buah, kapur dan gambir. Pecanangan (bahan-bahan untuk mecanangan) itu biasanya menjadi “rayunan” untuk seorang sulinggih. Bahkan ada yang mengatakan bahwa itu adalah kebutuhan utama.

Kebiasaan tersebut (baca nginang, yang juga merupakan Bahasa Jawa dan mempunyai arti yang sama) juga sering dilakukan oleh para orang tua di Jawa pada jaman dahulu.
Berikut kita kupas satu per satu tentang esensi yang terkandung dalam pecanangan tersebut yang sebagaimana disebutkan di muka bahwa pecanangan itu terdiri dari sirih, buah pinang, kapur dan gambir.

Sirih
Sirih dalam Bahasa Jawa disebut sebagal “suruh”, yang kalau dikaji lebih lanjut merupakan gabungan dan suku kata “su” dan “wruh”, Su, ini adalah kata Jawa Kuno yang berarti baik, sungguh, benar (I Gde Semadi Astra, dkk, 1984). Sedangkan wruh adalah kata Jawa Kuno juga yang berarti tahu atau pengetahuan (kawruh).
Dengan demikian suruh dapat diartikan sebagai pengetahuan yang baik dan benar atau utama, yang mempunyai maksud bahwa kita sebagai manusia yang dikaruniai akal budi harus mempunyai pengetahuan yang baik dan benar sebagai bekal di masa tua nanti karena hanya pengetahuanlah teman terbaik dalam hidup ini sebagaimana terungkap dalam Kekawin
Niti Sastra 11.5 yang berbunyi:
“Norana mitra man glewihna waraguna maruhur”. (Tiada teman sebaik pengetahuan yang utama)
Namun demikian, untuk mencapai pengetahuan yang utama itu biasartya pahit rasanya sebagaimana rasa sirih waktu dimakan dan kalau tidak tawar kita bisa muntah-muntah. Akan tetapi kita juga harus berpikir akan hasil dan pengetahuan tersebut yang bisa membuat kita mencapai kebahagiaan rohani. Ingat peribahasa:
“Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian”.

Buah Pinang
Buah pinang dalam Bahasa Jawa disebut sebagai “jambe” yang erat kaitannya dnegan “jampi” yang dalam arti luasnya adalah mantra (biasanya jampi-jampi yang berupa mantra ini diberikan oleh seorang dukun kepada pasiennya). Sedangkan mantra ini adalah kata Sanskerta yang berasal dan kata “man” yang berarti pikiran dan “trana” yang berarti membebaskan. Di sini dimaksudkan bahwa kita harus mampu membebaskan pikiran kita dan segala macam bentuk indriya/nafsu sebagai disebutkan dalarn Sarasamuccaya 80 yang berbunyi:
“A pan ikan manah ngaranya, ya ika witning indriya, maprawrtti ta ya ring subha asubha karma, matangnyan ikang manah juga prihen kahartanya sekareng”. (Sebab yang disebut pikiran itu, adalah sumber dari segala macam indriya atau nafsu yang menggerakkan baik buruknya perbuatan, oleh karena itu pikiranlah yang patut diupayakan pengendaliannya).

Kapur
Kapur sebenarnya berasal dari kata Sanskerta atau Jawa Kuno “karpura” yang artinya barang yang berwarna putih, dan batu putih (Prof. Dr. M.M. Sharma, 1985 : 56). Dan kapur sendiri yang biasa digunakan untuk membersihkn lendir pada ikan tertentu sebelum dimasak. Dalam hal ini dimaksudkan agar seminimal mungkin kita bisa menjadi orang yang berfikir, berkata, dan bertindak “suci” walaupun kita tidak bisa menjadi orang suci seperti putihnya warna kapur tersebut.

Selain itu kita juga perlu memusnahkan buah dan segala perbuatan kita yaitu dengan tidak berpikir akan hasil dan segala kerja yang kita lakukan sebagaimana kapur menghilangkan lendir pada ikan tersebut dan selalu mempersembahkan apa yang kita lakukan hanya kepadaNya.

Hal ini dapat kita lihat pada Bhagavad Gita V. 10 yang berbunyi:
Brahmanya adhaya ktirmani sanjam tyaktva karoti yah, Lipyate na sa papena padma patram ivambhasa. (Mereka yang menipersembahkan semua kerjanya, kepada Brahman, berbuat tanpa motif keinginan apa-apa tak terjamah oleh dosa papa, laksana daun teratai oleh air).

Selain itu kita juga diharapkan untuk tidak terpengaruh oleh hasil kerja kita, baik yang berupa pujian ataupun hinaan karena dan semula memang kita tidak mempunyai motif apapun. Mengenai hal tersebut masih dalam Kitab yang sama dijelaskan dalam Adhaya V sloka 20 yang berbunyi: Na prahrs yet pri yam prapya nodvijet prapya capriyam’. Sthira buddhir asammudho brahma vid Brahmam sthitah (Dia yang tiada bergirang menerima suka dan juga tidak bersedih menerima duka, tetap dalam kebijaksanaan, teguh iman, mengetahui Brahman, bersatu dalam Brahman).

Ketiga bahan tersebut (sirih, buah pinang dan kapur) yang mempunyai makna agar kita berpengetahuan suci, melepaskan indriya dan berbuat suci dengan menghilangkan buah dan keija selaras dengan apa yang tersurat dalam Lontar Vrhaspati Tattva yang berbunyi:
“Telu prakara nikang sadhana, anung gawayakena de sang mahyun ing kale pasan, jnanabhyudreka, ngaranya ikang wruh ring tattwa kabeh, indriya yoga inarga ngaranya ikang tan jenek ring wisaya, trsnadoksaya ngaranya ikang humilangaken phalaning subha asubha karma”.
(Ada tiga cara yang harus dilakukan oleh Sang Sadhu untuk mencapai kalepasan yaitu :Jnanabhyudreka yang berarti tahu semua tattwa, Indriya yoga marga yang berarti tidak menikmati indriya/nafsu, Trsnadoksaya, yaitu memusnahkan buah perbuatan baik dan buruk).

Dari uraian tersebut, maka sangatlah tepat jika ketiga bahan tersebut, dijadikan bahan untuk “porosan” yang selain sebagai simbol esensi ilahi (Brahma, Visnu dan Siva), juga mempunyai arti sumbu, di mana pada lampu minyak misalnya, sumbu tersebut bisa membawa minyak naik yang kemudian hilang dan menjadi sesuatu yang terang. Seperti itulah ketiga cara itu (Jnanabhyudreka, Indriya yoga marga, dan Trsnadoksaya) akan membawa manusia menuju pencerahan dan kelepasan (moksa).

Gambir
Gambir dalam Bahasa Jawa berarti senang, bahagia, ataupun gembira yang kemudian dikhususkan lagi menjadi “gambiraning ati” yang artinya kebahagiaan hati atau batin. Jadi setelah melaksanakan ketiga hal seperti yang disebutkan diatas niscaya kita akan mendapatkan kebahagiaan rohani yang tidak kita dapatkan pada materi yang kita miliki. Itulah beberapa makna yang dapat kita ambil dari pecanangan seorang sulinggih. Tentunya tidak akan sempurna jika kita hanya memahami makna tersebut tanpa mempraktekkan