GotoBus

DEWI SRI DALAM TRADISI JAWA

Oleh :Sumintarsih

Abstrak

Dalam masyarakat agraris (terutama di Jawa), tradisi penghormatan terhadap
kehadiran Dewi Sri masih berlangsung sampai sekarang. Simbolisme penghormatan
terhadap Dewi Sri tampak dalam ritus-ritus perkawinan (midodareni), tata ruang
bangunan, dan ritus-ritus pertanian. Figur Dewi Sri menjadi simbol dan kerangka acuan
berpikir bagi orang Jawa khususnya petani Jawa di dalam prosesi siklus hidup yaitu
perkawinan, memperlakukan rumah dan tanah pertaniannya. Dalam struktur berfikir,
mereka percaya bahwa asal-usul benih kehidupan berasal dari dunia atas (dewa) yang
diberikan kepada dunia bawah (manusia). Supaya benih kehidupan tetap terjaga
keberlangsungannya maka harus dijaga hubungan dunia atas dengan dunia bawah dengan
melalui ritus-ritus.
Kata kunci: Dewi Sri - Simbol - Tradisi Jawa.

Mitos
Suku-suku bangsa di dunia pada umumnya
mempunyai berbagai jenis cerita tentang
mitos. Mitos merupakan produk pikiran
manusia, hasil karya manusia secara kolektif
dan menjadi milik kolektif. Setiap mitos
digunakan untuk memecahkan kesulitan bagi
suatu pemikiran.1 Persoalan tersebut direfleksikan
dalam cerita dan merupakan upaya
yang dilakukan oleh penciptanya untuk
mencari jalan keluar dari suatu persoalan
yang dihadapi pada saat itu. Ungkapan cerita
dalam mitos ada yang disamarkan, dibuat
abstrak, atau menunjukkan bahwa persoalan
itu sudah dipecahkan.2
Mitos memberikan contoh-contoh
model karya para dewa dan leluhur mitis, di
mana setiap tindakan manusia dibenarkan
dengan mengambil mitos tersebut sebagai
referensi. Cerita yang ada pada mitos mengandung
pesan-pesan bagi pendukung
mitos, dan pesan-pesan tersebut tersamar
dalam jalannya sebuah cerita. Jadi mitos
mengandung unsur-unsur simbolik yang
mempunyai arti (meaning) serta pesan-pesan
bagi kehidupan manusia baik dalam
hubungan sosial maupun dalam pergaulan
hidup sehari-hari.
Mitologi diakui oleh masyarakat
pendukungnya sebagai fakta historis atau
riwayat suatu peristiwa yang dianggap
sungguh-sungguh terjadi. Lebih dari itu
mitologi mempunyai fungsi penting bagi
kehidupan masyarakat sehari-hari. Di dalam
mitos dijumpai adanya oposisi biner yaitu
adanya hal yang positif dan negatif atas
kekuatan spiritual dan supernatural. Fungsi
utama oposisi biner adalah membentuk suatu
struktur yang mendasari pemikiran manusia.
Tindakan religius orang Jawa dipengaruhi
oleh agama Hindu. Penghormatan
dan pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu
menimbulkan adanya asimilasi paham
animisme dengan paham Hindu. Dari sini
lahirlah tokoh simbolik seperti Dewi Sri
yang diyakini para petani sebagai dewi yang
memelihara tanaman.3 Dari sini kemudian
muncul tradisi-tradisi4 yang berkaitan
dengan pemujaan atau penghormatan
terhadap Dewi Sri.

Dewi Sri: Dewi Kesuburan
Menurut Pigeaud, cerita tertua yang
menghubungkan Dewi Sri dengan tumbuhtumbuhan
khususnya padi dijumpai di dalam
Kitab Tantu Panggelaran yang terdapat pada
abad 15-16. Biji-bijian atau tumbuhtumbuhan
tersebut tidak berasal dari tubuh
Sri akan tetapi dari tembolok burung milik
Dewi Sri. Terdapat banyak versi mengenai
cerita Dewi Sri. Dalam cerita Dewi Sri, pada
akhir ceritanya dikisahkan bahwa, figur Sri
menitis (berinkarnasi) menjadi ular sawah
dan Sadhana menjadi burung. Kedua kakakberadik
tersebut mengalami transformasi
menjadi dewa pemurah yang untuk selamanya
mengabdikan diri untuk kemakmuran
Jawa. Sri menjamin kesuburan, sedangkan
Sadhana menjamin kekayaan. Sri mengajarkan
seni sesajian dan langkah-langkah yang
bertalian dengan pertanian. Dengan demikian
cerita Sri-Sadhana sesungguhnya
diwarnai dengan detil-detil resep Sri mengenai
pertanian dan kehidupan produksi.
Dapat dikatakan bahwa hampir semua
tempat yang penduduknya mengenal
bercocok tanam di sawah mengetahui cerita
tentang seorang tokoh yang dipahami oleh
sebagian besar masyarakat agraris sebagai
dewi kesuburan, dewi penjaga sawah, atau
dewi padi5. Sebagian dari pemilik cerita
mitos ini menjalankan ritual-ritual yang
berkaitan dengan dewi kesuburan. Dewi
kesuburan kita kenal melalui upacaraupacara
pertanian yang masih dilaksanakan
di beberapa daerah di Indonesia, sedangkan
di beberapa tempat hanya dikenal melalui
cerita-cerita rakyat. Mitos tentang terjadinya
tumbuh-tumbuhan ini di samping terdapat
di beberapa daerah di Indonesia, juga dikenal
hampir di seluruh Indonesia, bahkan hampir
di semua negara-negara agraris di dunia.
Dalam pertanian, melimpahnya hasil
panen padi berkaitan erat dengan kesuburan.
Kesuburan identik dengan perempuan,
karena perempuan yang melahirkan keturunan.
Dalam hal ini Dewi Sri digambarkan
sebagai simbol dewi kesuburan
dalam masyarakat agraris di Jawa. Konsep
perempuan sebagai simbol kesuburan
berkaitan erat dengan masalah produksi dan
reproduksi, maka dimunculkanlah dalam
cerita Dewi Sri seorang tokoh Sadhana. Jadi
Sadhana dihadirkan dalam cerita tersebut
sebagai pelengkap simbol kesuburan.
Di Pulau Jawa mitos asal mula tumbuh tumbuhan
yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk di sini
adalah padi, yang biasanya dihubungkan
dengan tokoh dewa-dewi dalam agama
Hindu. Misalnya Dewi Sri atau Tiksnawati,
atau Laksmi, adalah cakti Dewa Wisnu.6
Dalam cerita-cerita mitos dewi kesuburan,
Dewi Sri atau dengan sebutan lainnya selalu
didampingi Dewa Wisnu yang juga dalam
wujud lain. Cakti merupakan daya kekuatan
seorang dewa untuk dapat berkarya dan
menciptakan. Banyak mitos tentang kelahiran,
penerus keturunan yang kemudian
dihubungkan dengan tokoh perempuan.
Berkaitan dengan ini kemudian di lingkungan
masyarakat agraris muncul kultus
dewi ibu.7
Inti dari mitos terjadinya tumbuhtumbuhan
pada umumnya menceritakan hal
yang sama, yaitu munculnya berbagai jenis
tumbuh-tumbuhan yang diperlukan manusia
dari tubuh seorang perempuan. Mitos asal
mula tumbuh-tumbuhan ini sangat berhubungan
dengan seorang dewi ibu (mothergodess)
yang dalam kebudayaan agraris
dianggap yang melahirkan tumbuhtumbuhan
yang dibutuhkan manusia. Dalam
upacara-upacara keagamaan terutama yang
berkaitan dengan harapan manusia terhadap
hasil (pertanian) yang melimpah, maka
masyarakat pada umumnya melakukan
pemujaan terhadap tokoh perempuan yang
diwujudkan dengan arca-arca kecil yang
terbuat dari batu, tulang, atau tanduk.8 Gambaran
tokoh perempuan yang disimbolkan
sebagai dewi kesuburan dapat dilihat dari
beberapa peninggalan kuno yang ada di
Indonesia dalam bentuk arca maupun relief.9
Kebudayaan agraris dengan tokoh dewi ibu
sudah ada sebelum ditemukan cara-cara
bercocoktanam.10
Mitos dewi kesuburan membuktikan
adanya penghormatan dan pemujaan yang
dilakukan oleh para pemilik mitos tersebut.
Sampai sekarang ritus-ritus pemujaan
terhadap Dewi Sri masih berlangsung,
khususnya yang berkaitan dengan pertanian.
Upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat
tertentu pada umumnya berorientasi
pada tindakan-tindakan yang telah dilakukan
oleh para leluhurnya. Dapat dikatakan di
sini bahwa fungsi mitos yang utama adalah
menetapkan contoh model bagi semua tindakan
manusia baik dari upacara dan
kegiatan sehari-hari yang bermakna.11
Unsur pemujaan kesuburan tersebut
terdapat dalam mitos tanaman yaitu bahwa,
tokoh wanita sebagai pemeran utama terjadinya
tumbuh-tumbuan.Dalam kebudayaan
agraris perempuan dianggap yang
‘melahirkan’ segala sesuatu di dunia ini termasuk
tumbuh-tumbuhan yang dibutuhkan
manusia; Tokoh perempuan dalam mitos
tersebut merupakan analogi dari tumbuhtumbuhan
yang sebenarnya merupakan
lambang dari biji-bijian tanaman.
Jadi mitos asal mula tanaman yang
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari
manusia termasuk di sini padi, biasanya
kejadiannya dihubungkan dengan tokoh
dewa-dewi dalam agama Hindu. Misalnya
Dewi Sri (atau jelmaan Laksmi) dalam
cerita-cerita mitos dewi kesuburan Dewi Sri
selalu didampingi Dewa Wisnu (menjelma
sebagai Sadhana). Banyak mitos tentang
kelahiran, penerus keturunan yang kemudian
dihubungkan dengan tokoh perempuan.
Berkaitan dengan ini kemudian muncul
kultus dewi ibu dalam masyarakat agraris.
Dalam konteks budaya lokal (local
genius) hal tersebut menandai bahwa dalam
sistem kepercayaan masyarakat ada
hubungan antara otoritas leluhur dengan
pendukung budaya ritual tersebut. Disebabkan
oleh hal ini kemudian timbul ritus-ritus
pemujaan, yang bermakna bagaimana
partisipasi tokoh supranatural itu dapat
memberikan ‘sesuatu’ yang bernilai transedental
bagi pemujanya. Perilaku pemujaan
tersebut merupakan refleksi kepercayaan
kepada roh-roh nenek moyang.

Tradisi Yang Bersumber Pada Dewi Sri
Dalam siklus pertanian
Sejak berabad-abad yang lampau masyarakat
pedesaan Jawa sudah mengenal
kehidupan agraris. Pada umumnya mata pencaharian
pokok masyarakat Jawa adalah
bercocok tanam. Jadi masyarakat Jawa
sangat paham bagaimana memperlakukan
tanah garapannya yaitu dalam mengolah,
memelihara, dan memanen. Demikian juga
usaha-usaha bagaimana agar hasil sawah
dapat melimpah, dan membasmi hama-hama
penyakit yang menyerang tanaman mereka
dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan
ritual. Berkaitan dengan hal itu mitologi
mengenai Dewi Sri mengungkapkan mengenai
asal-usul padi, memelihara, melindungi,
dan menjaga kesuburan padi, yang
semuanya itu menjadi kekuasaan Dewi Sri.
Untuk menjaga hubungan ini pada umumnya
petani melakukan ritus-ritus pemujaan
terhadap Dewi Sri.12
Cara hidup bertani pada masyarakat
Jawa sejak dahulu sampai sekarang pada
umumnya masih menggunakan cara-cara
tradisional baik dalam hal pelaksanaan
teknis mengolah pertanian maupun yang
berkaitan dengan sistem kepercayaan
mereka yaitu penyelenggaraan upacaraupacara
yang berkaitan dengan pertanian.
Sampai sekarang proses tahap-tahap penanaman
padi di Jawa belum kehilangan sifat
religiusnya dan masih dirayakan dengan
disertai slametan.13 Kepekaan orang Jawa
terhadap dimensi empiris dunia gaib
menemukan ungkapannya dalam berbagai
cara misalnya dalam upacara-upacara adat.
Dalam tradisi itu termuat bagaimana harus
bersikap untuk tetap dalam keselarasan
dengan alam raya dan dengan roh-roh yang
mengelilinginya.14
Walaupun ritus-ritus atau upacara
tersebut sekarang ini semakin berkurang
tetapi petani dalam manifestasi penghormatan
terhadap Dewi Padi masih dilakukan
dengan membuat sesaji secara
sederhana. Upacara ritual atau slametan
yang masih dilaksanakan terkait dengan
penghormatan kepada Dewi Sri antara lain
adalah Tingkeb Tandur dan Methik.
Ritual yang dilakukan ketika padi
berumur dua bulan oleh sebagian masyarakat
petani adalah slametan Tingkeb Tandur.
Secara harafiah kata tingkeb berarti slametan
mitoni. Istilah mitoni adalah upacara yang
dilakukan pada saat usia kandungan seorang
wanita genap tujuh bulan. Slametan ini
bertujuan agar bayi lahir dengan selamat.
Jadi kata ‘tingkeb’ yang artinya slametan
mitoni, dan kata tandur yang artinya
menanam dimaksudkan sebagai upacara
yang terkait dengan usia hamil tanaman padi.
Upacara Tingkeb Tandur dilaksanakan
oleh masyarakat petani dilatarbelakangi oleh
kondisi lahan di desa tersebut yang rawan
terhadap bencana banjir dan kekeringan.
Oleh kondisi lahan seperti itu, petani di
dalam mengolah sawahnya harus telaten dan
selalu berharap alam lingkungan memihak
kepadanya. Oleh sebab itu keberhasilan
petani di dalam mengolah sawahnya, dari
proses menanam padi sampai padi akan
mrekatak (keluar malainya secara bersamasama)
dan kemudian meteng atau hamil,
dianggap merupakan anugerah dari Yang Di
Atas dan perlindungan dari Dewi Sri. Atas
dasar itu kemudian ditingkebi supaya padi
yang hamil selamat sampai panen nanti.
Jadi upacara Tingkep Tandur merupakan
ungkapan rasa syukur petani kepada
Yang Di Atas, pencipta alam semesta yang
telah memberikan rezeki dan perlindungan
kepada petani.15 Ungkapan rasa syukur
karena tanaman padi mereka sudah berbuah
juga ditujukan kepada Dewi Sri, dewi padi.
Dewi Sri adalah tokoh mitos yang lekat
dengan kehidupan petani, yang diyakini
sebagai pelindung dan penjaga padi milik
petani. Oleh karenanya masyarakat petani
meyakini bahwa melaksanakan upacara ini
merupakan syarat untuk keberhasilan panen.
Dalam prosesi upacara tersebut disertakan
sesaji dan perlengkapan upacara.16
Upacara methik atau panen padi pertama
dilakukan sebagai penghormatan kepada
Dewi Sri yang telah menjaga padi sampai
lahir atau panen. Upacara menuai padi yang
pertama kali (atau disebut wiwit atau methik)
ini, dilakukan dengan prosesi upacara memotong
tangkai padi dan kemudian dibalut
dengan kain putih seperti pengantin. Padi
yang dipotong tersebut dinamakan parijatha.
Tangkai padi kemudian dibawa ke empat
sudut petak sawah yang akan dituai setelah
itu padi dibawa pulang dan disimpan ke
dalam lumbung.17
Ritual methik pada umumnya dilaksanakan
dengan pola umum yang hampir sama
dari daerah ke daerah. Satu atau dua hari
sebelum panen dimulai, dhukun methik
membawa sesajian ke sawah dan mengitari
sawah tersebut satu kali putaran searah
jarum jam, lalu menuju ke bagian tengah di
mana dipilih suatu tempat sebagai titik fokus
ritus methik. Setelah membaca suatu mantra
ia segera memotong beberapa tangkai
padi dan menganyamnya. Kepangan atau
anyaman tangkai padi tersebut lalu digendong
oleh dhukun, dipayungi layaknya
seperti bayi.
orang Jawa kehamilan berumur tujuh bulan
dianggap umur yang ‘rawan’ terhadap
bebendu (bencana) atau tahap yang
mengharuskan perempuan hamil tersebut
harus hati-hati dalam menjaga kehamilannya
supaya lahir sesuai waktunya. Ada
kepercayaan kehamilan umur tujuh bulan
dianggap usia kehamilan tua, namun
rasionalisasi dari kepercayaan ini tidak ada
penjelasannya. Oleh sebab itu kemudian
diadakan ritus-ritus mitoni.
Dalam upacara mitoni ini, ada yang
diselenggarakan secara lengkap atau besar,
ada yang sederhana, dengan membuat
slametan. Pada masa dahulu, prosesi berganti
pakaian tujuh kali setelah upacara
mandi, dilaksanakan di depan senthong
tengah, atau pasren. Sekarang prosesi
upacara tersebut bisa dilaksanakan di ruang
tengah atau di ruang mana saja tidak harus
di depan senthong tengah. Demikian juga
pada upacara brojolan yang menggunakan
dua buah cengkir gadhing, bisa dilaksanakan
di tempat upacara mandi atau di ruang
tengah. Dua buah cengkir gadhing tersebut
masing-masing digambari tokoh-tokoh yang
sudah akrab dalam mitos dongeng-dongeng
Jawa, misalnya Kamajaya-Kamaratih, Panji-
Candrakirana, atau Wisnu-Sri.
Upacara mitoni yang dilaksanakan di
senthong tengah merupakan simbolisasi Sri
sebagai dewi kesuburan, dan penggambaran
sebuah tahap kehidupan yang harus dilalui
oleh seorang perempuan yang mempunyai
tugas mereproduksi generasi ke generasi.
Upacara tersebut sekaligus juga sebagai
simbol permohonan untuk keselamatan kehamilan
dan kelahiran si bayi sesuai dengan
gambaran yang ada dalam dua buah kelapa
cengkir gadhing. Dua buah cengkir gadhing
tersebut di samping sebagai simbol tunas
muda, juga sebuah simbol permohonan, bila
bayi lahir nanti diharapkan seperti yang
telah digambarkan dalam dua cengkir
gadhing tersebut. Ukiran gambar dalam
cengkir gadhing tersebut merupakan
personifikasi hadirnya sepasang dewa-dewi
yang mengandung harapan si bayi tidak
hanya lahir ‘cantik’ (bila perempuan), dan
‘bagus’ (bila laki-laki) seperti halnya Sri-
Wisnu, atau Kamajaya-Kamaratih, tetapi
juga memiliki sifat-sifat seperti dewa-dewi
tersebut.
Figur Sri Dalam Tata Ruang Rumah
Tradisional
Penghormatan kepada Dewi Sri juga
diekspresikan dalam sistem tata ruang
bangunan rumah Jawa tradisional. Dalam
tata ruang tersebut selalu ada ruang untuk
tempat persinggahan Dewi Sri yang disebut
pasren atau petanen, atau pedaringan yaitu
suatu ruangan yang terdapat di senthong
tengah. Senthong tengah oleh masyasrakat
agraris diyakini sebagai tempat istirahat
Dewi Sri, oleh sebab itu senthong tengah
tersebut juga dipergunakan untuk tempat
pemujaan kepada Dewi Sri. Tempat tersebut
merupakan simbolisasi keberadaan Dewi Sri
sebagai dewi kesuburan, dewi padi yang
disakralkan oleh petani. Segala sesuatu yang
terkait dengan keberhasilan dan tidaknya
usaha tani mereka diyakini tergantung pada
Dewi Sri. Oleh sebab itu petani melakukan
penghormatan kepada Dewi Sri dengan
menyediakan tempat khusus untuk tempat
bersemayam Dewi Sri yang disebut pasren,
atau petanen tersebut.23 Jadi pasren atau
petanen bagi petani merupakan simbol
adanya hubungan yang erat antara petani
dengan Sri. Petani melakukan penghormatan
dengan melakukan ritual-ritual untuk Dewi
Sri, dan Dewi Sri diharapkan akan memberikan
apa yang diinginkan petani yaitu
hasil panen yang melimpah dari tahun ke
tahun.
Pada rumah berarsitektur joglo milik
seorang bangsawan, pasren dilengkapi
aksesori patung Loro Blonyo.24 Patung Loro
Blonyo ini merupakan simbol bersatunya Sri-
Sadhono sebagai lambang kesuburan. Sebagai
simbol pasangan pengantin, diharapkan
sang pengantin diberi pancaran kecantikan
seperti Dewi Sri, dan kesuburan
untuk regenerasi sang pengantin.
Figur Dewi Sri dalam pemeliharaan
pertanian maupun rumahtangga menjadi
kerangka acuan bagi orang Jawa khususnya
petani Jawa di dalam memperlakukan tanah
pertaniannya dan rumahnya. Dua hal yang
mendasari tindakannya ini adalah supaya
diberi keselamatan dalam melakukan
pekerjaan pertanian dan adanya kepercayaan
bahwa proses kehidupan tanaman sama
dengan kehidupan manusia. Oleh sebab itu
mereka berfikir untuk menjaga hubungan
spiritual terhadap yang memelihara tanah
pertaniannya dengan melakukan ritus-ritus,
upacara atau slametan.
Arsitektur rumah Jawa tradisional
sekarang ini sudah semakin jarang dijumpai,
dengan kata lain rumah tradisional Jawa
yang memiliki ruang senthong tengah sudah
jarang diketemukan. Ini berarti tradisi
pemujaan Dewi Sri di senthong tengah, atau
pasren, atau petanen, pedaringan, yang dilakukan
oleh petani juga sudah mengalami
pergeseran. Penghormatan terhadap Dewi
Sri di rumah pada umumnya dilakukan oleh
para petani dengan membuat sesaji yang
diletakkan di ruangan lain, misal di tempat
menumpuk padi, menyimpan beras sebelum
padi hasil panen dijual atau dikosumsi
sendiri, atau di dapur.

Penutup
Cerita Sri-Sadhana merupakan
ungkapan dari struktur berfikir petani Jawa
dalam mereka memperlakukan tanah
pertaniannya, yang diyakini secara mitis
bahwa keberlangsungan usaha pertaniannya
tergantung kepada keberadaan Dewi Sri
penjaga sawah tempat sumber kehidupan
mereka. Bahwa asal-usul benih kehidupan
berasal dari dunia atas (dewa) dan yang
diberikan kepada dunia bawah (manusia),
maka untuk menjaga kelangsungan benih
kehidupan itu, dan menjaga keserasian hubungan
antara dunia atas dengan dunia bawah
petani mengadakan ritus-ritus upacara.
Dalam proses pelestariannya dilaksanakan
dari waktu ke waktu dengan menyesuaikan
situasi dan kondisi masyarakat pendukungnya.
Ritus-ritus atau upacara yang dilakukan
manusia itu pada umumnya untuk memuja,
menghormati, dan memohon keselamatan
kepada nenek-moyang dan Tuhannya, yang
merupakan kelakuan simbolis manusia
untuk memohon keselamatan yang diatur
oleh adat yang berlaku. Dalam visualisasinya
ritus-ritus itu selalu disertai dengan doa,
sesaji, dan slametan atau kenduri.
Mitos Dewi Padi, Dewi Kesuburan atau
Dewi Sri sampai sekarang masih tetap hidup.
Visualisasi pemujaan terhadap Dewi Sri
diekspresikan dalam bentuk upacara, slametan
seperti upacara tingkeb tandur,
methik, maupun kehadiran figur Sri yang
diyakini berada di dalam senthong tengah,
atau dalam prosesi perkawinan yang disebut
midodareni.
Bagi orang Jawa alam empiris berhubungan
erat dengan alam gaib, kepekaan
orang Jawa terhadap dimensi dunia gaibdunia
empiris tersebut diungkapkan dengan
berbagai cara misalnya adanya upacara
pertanian untuk mensiasati kelangsungan
hubungan tersebut. Di dalam hubungannya
dengan kepercayaan ini petani tradisional
Jawa sangat memperhatikan hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan spiritual.
Dua hal yang mendasari petani untuk mengadakan
ritus-ritus pertanian adalah keinginan
untuk memperoleh keselamatan dalam
melaksanakan pekerjaan pertanian, dan
kepercayaan bahwa kehidupan tanaman
mulai dari penebaran benih sampai dipanen
mempunyai siklus yang sama seperti
kehidupan manusia. Dalam hal ini menurut
keyakinan petani upacara wiwit dilakukan
petani karena tumbuhan padi merupakan
jenis tanaman yang kehidupannya sangat
tergantung pada penjaga spiritual yang
disebut dengan Dewi Sri.
Adanya beberapa peran yang dibawakan
oleh figur Sri dalam tradisi Jawa dari
generasi ke generasi yaitu sebagai ibu,
pengantin, bayi yang digendong dhukun, dan
sebagainya, maka melalui personifikasi
dalam ritual tersebut Dewi Sri mengejawantahkan
peran-perannya sebagai simbol
dewi kesuburan.

Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H.S., 2006. “Tradisi/Adat-Istiadat: Pemahaman dan Penerapannya”,
Materi pembekalan di Direktorat Tradisi, Jakarta.
Albilladiyah, SI., 1993. “Pemujaan Hariti Pada Masa Klasik di Jawa Tengah dan
Persebarannya”. (Draft laporan penelitian). Yogyakarta: BKSNT.
Ball, J.V., 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga dekade
1970). Jakarta: Gramedia
Hadiwijono, H., 1987. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: BPK.Gunung Mulia.
Harysusanto, PS., 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.
Herusatoto, B., 1984. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Magnis Suseno, F., 1989. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafati Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Pamberton, J., 1989. The Appearance of Order: A Politics of Culture in Colonial and
Post colonial Java. A Dessertation Presented to the Faculty of the Graduate School
of Cornell University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree
of Doctor of Philosophy.
Rahmanto, B. “Ke Arah Pemahaman Lebih Baik Tentang Mitos”, dalam Basis. No. 2,
Tahun 1993 Yogyakarta.
Santiko, H., 1980. “Dewi Sri di Jawa”, Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi.
Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Departemen P
dan K.
Jadi dalam prosesi methik yang berperan
adalah dhukun methik. Tangkai-tangkai padi
yang dipotong dengan jumlah yang disesuaikan
dengan perhitungan Jawa, kemudian
dikepang (dianyam) yang mentransformasikan
kepangan tangkai-tangkai padi tersebut
sebagai pengantin Sri. Sesajian dipersembahkan
atas nama Dewi Sri, dan hingga
benih padi sebagai figur Dewi Sri menjadi
kering, yang selanjutnya akan disertakan
untuk ditanam pada musim-musim kemudian.
Padi yang terkandung dalam figur
‘Sri’ tersebut tidak pernah dikosumsi. Ritus
methik ini menunjukkan bahwa Mbok Sri
pelindung spiritual atas satu dunia kehidupan
pertanian dan kerumahtanggaan Jawa.18
Pengepangan tangkai padi menjadi
pengantin ‘Sri’ adalah suatu proses generasi
yang bertalian dengan ranah reproduksi
manusia, dan juga reproduksi pertanian.
Melalui substitusi mitologis, figur ‘Sri’
mempresentasikan suatu surplus di mana
simpanan padi dari satu panen hasilnya
melimpah dalam panen berikutnyaPerkawinan
Kehadiran figur Dewi Sri juga tampak
dalam upacara perkawinan, di mana
pertalian antara reproduksi pertanian dan
reproduksi manusia berada dalam ritus
kedua dari rangkaian ritus temu pengantin.
Pengantin perempuan dan pengantin lakilaki
bersama-sama melangkahi sebuah
bajak19 yang ditempatkan di ambang pintu
masuk rumah di mana upacara perkawinan
tersebut diselenggarakan. Ritus menggunakan
bajak sedikit banyak meretensi
pertaliannya dengan proses reproduksi Sri.20
Di bajak tersebut tertera tanda-tanda dari
kapur mengenai ramalan yang bertalian
dengan reproduksi manusia dan reproduksi
pertanian. Bajak yang digunakan untuk ritus
perkawinan itu secepatnya kemudian
digunakan untuk mengolah lahan sawah,
supaya dapat ‘memberikan berkah’ kepada
sawah dengan panen yang melimpah.
Jadi ada hubungan simbol kesuburan
antara manusia dengan pertanian. Seperti
diketahui pada alat pertanian bajak (yang
digunakan untuk upacara pengantin) biasanya
tertera suatu perhitungan yang bertalian
dengan reproduksi manusia; maknanya adalah
ramalan yang bertalian antara reproduksi
manusia (anak keturunan), dan juga reproduksi
pertanian (kesuburan tanah).
Pada saat panen padi melimpah, di desadesa
biasanya diadakan upacara sedhekah
bumi. Dalam rangkaian upacara sedhekah
bumi tersebut, ada yang menyertakan penari
tayub sebagai personifikasi penghormatan
kepada Dewi Sri. Dalam tarian ritual itu
penari tayub menyiapkan sesaji yang diantaranya
terdapat seuntai padi yang diletakkan
di tempat di mana dia menari. Untaian padi
tersebut sebagai simbol Dewi Sri yang diyakini
akan memberi pancaran figurnya kepada
penari tayub.
Pengejawantahan yang bertalian dengan
figur Sri juga dalam acara midodareni.21
Oleh dhukun wanita dalam suatu upacara
perkawinan pengantin wanita berusaha
ditampilkan oleh dhukun tersebut sebagai
pengejawantahan yang bertalian dengan
dunianya Dewi Sri yang menyimbolkan kesuburan.
Pada malam midodareni menurut
keyakinan dhukun pengantin, terjadi proses
substitusi yang mentransformasi sang
pengantin perempuan menjadi figur Dewi
Sri.
Disebut oleh Pamberton bahwa ritusritus
dalam perkawinan pada dasarnya sama
dengan kekuatan-kekuatan yang mengaktifkan
adar-istiadat pemetikan hasil panen
sawah. Pada umumnya orang menyebutkan
ritus panen atau methik dikatakan sebagai
‘pernikahan tangkai padi’. Ritus ini berkaitan
dengan cerita Sri Sadhana22 yang
terkenal itu.
Dewi Sri Dalam Ritus Mitoni
Pada saat kehamilan seorang perempuan
mencapai usia tujuh bulan, maka untuk
menjaga keselamatan bayi yang ada dalam
kandungan, dalam tradisi Jawa terdapat
upacara yang disebut mitoni atau tingkeban.
Ketika kehamilan seorang perempuan
berusia tujuh bulan, dalam kepercayaan.