GotoBus

TRADISI MERTI BUMI SUATU REFLEKSI MASYARAKAT AGRARIS

oleh :Isyanti

Abstrak

Kegiatan tradisi merupakan pewarisan serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai dari
suatu generasi ke generasi berikutnya. Nilai-nilai yang diwariskan biasanya adalah nilainilai
yang oleh masyarakat pendukung tradisi dianggap baik, relevan dengan kebutuhan
kelompok dari masa ke masa. Demikian pula dengan adanya tradisi merti bumi ini
muncul atas gagasan masyarakat setelah masa panen yang terus menerus melimpah dan
tidak ada bencana alam yang melanda desanya. Dapat dikatakan bahwa tradisi merti
bumi mempunyai tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan
dari ancaman bencana alam dan sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat
atas rezeki, kesehatan dan ketenteraman.

Kata kunci: Merti Bumi - Refleksi - Masyarakat Agraris.

Pendahuluan

Suatu tradisi merupakan pewarisan
serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai yang
diwariskan dari suatu generasi kepada
generasi berikutnya. Nilai-nilai yang diwariskan
berupa nilai-nilai yang oleh masyarakat
pendukungnya masih dianggap baik,
serta relevan dengan kebutuhan kelompok.
Dalam suatu tradisi selalu ada hubungannya
dengan upacara tradisional. Oleh
karena itu upacara tradisional merupakan
warisan budaya leluhur yang dipandang
sebagai usaha manusia untuk dapat berhubungan
dengan arwah para leluhur. Pada
umumnya mereka masih mempunyai anggapan
bahwa roh para leluhur dianggap
masih dapat memberikan keselamatan dan
perlindungan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Agar tujuannya dapat tercapai maka
mereka mengadakan pendekatan melalui
berbagai bentuk upacara. Dalam upacara ini
dapat dipakai untuk mengukuhkan kembali
nilai-nilai dan keyakinan yang berlaku dalam
masyarakat. Oleh karena itu upacara merupakan
salah satu kegiatan sosial yang sangat
diperhatikan, dalam rangka menggali tradisi
atau kebudayaan daerah dan pengembangan
kebudayaan nasional.1 Dengan demikian
dalam setiap kebudayaan terdapat normanorma
atau nilai-nilai yang menjadi pedoman
bagi masing-masing warga masyarakat
pendukungnya dalam bertingkah laku atau
bergaul dengan sesamanya.
Norma-norma atau nilai-nilai dapat
dimengerti oleh warga masyarakat selaku
pendukung kebudayaan tersebut melalui
belajar, baik secara formal maupun non
formal. Hal yang serupa juga diungkapkan
oleh Peursen2 bahwa kebudayaan merupakan
semacam sekolah di mana manusia belajarMenurut Budi Santoso3 sumber-sumber
informasi yang tak tertulis dapat diperoleh
misalnya dengan memperhatikan tingkah
laku yang ditujukan untuk kegiatan teknis
sehari-hari mempunyai kaitan dengan
kepercayaan tertentu ataupun dalam bentuk
hasil karya masyarakat pendukungnya.
Kebudayaan yang merupakan warisan
leluhur, sebenarnya oleh warga masyarakat
masih ada yang memegang teguh serta
terikat adanya tradisi yang berlaku dalam
kelompoknya.
Demikian pula kebudayaan yang tersebar
di seluruh kepulauan Indonesia masih
banyak yang disampaikan secara lisan
maupun masih diakui oleh masyarakat pendukungnya,
sehingga perlu dipertahankan.
Menurut Peursen4 upacara tradisional lebih
dari sebuah mitos di mana fungsinya tidak
hanya sekedar memberikan hiburan tetapi
yang penting upacara itu dapat mengukuhkan
nilai-nilai tradisi tentang kebaikan,
kehidupan, kesuburan, juga penyucian.
Selain itu upacara berfungsi pula untuk
mengukuhkan ikatan solidaritas. Sehingga
upacara tradisional mempunyai fungsi
sosial, kultural dan religi.
Dalam masyarakat agraris dapat
dijumpai beberapa tradisi yang masih dilakukan
dan dilestarikan oleh pendukungnya
sampai saat ini. Salah satu tradisi yang masih
dilakukan sampai saat ini adalah tradisi merti
bumi. Tradisi ini digelar masyarakat sebagai
wujud rasa syukur atas karunia Tuhan berupa
rezeki, kesehatan dan ketenteraman.5
Pembahasan
Lokasi pelaksanaan tradisi merti bumi
ini adalah di Dusun Tunggularum Wonokerto
Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman.
Matapencaharian penduduknya lebih dari 80
% adalah bekerja di bidang pertanian. Tradisi
merti bumi dilaksanakan setiap setahun
sekali dan jatuh pada bulan Sapar. Tradisi
merti bumi Tunggularum ini muncul atas
gagasan masyarakat Tunggularum setelah
masa panen yang melimpah dan tidak ada
bencana alam yang dialami masyarakat.
Pada mulanya Dusun Tunggularum Lama
selalu mengalami bencana alam yang berupa
lahar Merapi, sehingga masyarakat atau
penduduknya berinisiatif untuk pindah dari
Dusun Tunggularum Lama ke Dusun
Tunggularum Baru.
Setelah penduduk Dusun Tunggularum
Lama pindah ke Dusun Tunggularum
Baru, penduduk mulai merasa tenang dan
hampir tidak terjadi lagi adanya lahar panas
dari Gunung Merapi, bahkan hasil bumi
masyarakat sangat melimpah. Walaupun
penduduk Dusun Tunggularum Lama sudah
pindah ke Dusun Tunggularum Baru, namun
Dusun Tunggularum Lama merupakan lahan
untuk mencari nafkah, karena tanahnya
menjadi sangat subur. Dengan adanya lahar
panas Gunung Merapi itulah, tanah di Dusun
Tunggularum menjadi subur dan dapat
menghasilkan hasil bumi yang melimpah.
Oleh karena itu penduduk Dusun Tunggularum
Baru menggantungkan hidupnya di
lahan yang ditinggalkan yaitu dari Dusun
Tunggularum Lama. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa tradisi merti bumi ini
mempunyai tujuan memohon kepada Tuhan
Yang Maha Esa untuk keselamatan dan
lindungan dari bencana alam dan sekaligus
sebagai rasa syukur.
Berkaitan dengan pelaksanaan tradisi
tersebut dapat dijadikan sarana pemikiran
orang Jawa berkaitan erat dengan hubungan
antara alam, manusia dan Tuhan. Ketiga
komponen tersebut merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dan selalu dijaga.
hubungannya agar terjadi keseimbangan.Dengan keseimbangan antara ketiganya
hubungan antar manusia, manusia dengan
alam dan manusia dengan Tuhan akan
berlangsung selaras. Keselarasan pada
akhirnya akan membawa suasana damai,
aman tenteram, berkecukupan, tanah subur
dan melimpah hasilnya. Gambaran
hubungan antar manusia, alam dan Tuhan
dilambangkan dengan simbol-simbol yang
terdapat dalam unsur tradisi merti bumi.
Selain itu manusia dengan segala akal
budinya berusaha untuk menjaga kelestarian
alam dan pada gilirannya kelestarian alam
akan menyebabkan ketenteraman dan
ketenangan hidup manusia. Untuk mewujudkan
kelangsungan hubungan antara manusia
dengan alam perlu adanya suatu usaha yang
secara implisit mengandung pesan pentingnya
kelestarian alam.6 Demikian pula
mengenai hukum alam sangat konsisten,
setia dan akan bertanggung jawab atas kesejahteraan,
keselamatan serta kebahagiaan
kita.
Oleh karena itu masyarakat Tunggularum
dalam menjaga keseimbangan
hubungannya dengan alam, setiap bulan
Sapar mengadakan persembahan yang
berupa tradisi merti bumi. Tradisi tersebut
diawali dengan pengambilan air di Sendhang
Pancuran oleh masyarakat setempat dimaknai
untuk penyucian diri lahir dan batin.
Penyucian diri ini dilakukan sehari sebelum
pelaksanaan kirab pusaka Kyai Tunggul
Wulung dan Tumpeng Kembar Gunungan
Salak.
Air yang ada di Sendhang Pancuran,
dipercaya banyak orang dapat menyembuhkan
berbagai penyakit. Gunungan berupa
Gunungan Salak juga disebut dengan
Gunungan Salak Gung Rinenggo terbuat dari
buah salak seberat + 500 kg. Mereka
membuat gunungan dari buah salak karena
hasil yang diandalkan dari daerah tersebut
adalah buah salak.
Tradisi merti bumi diawali dengan
prosesi pengambilan air suci oleh para
pamong desa. Kemudian dilakukan kirab
pusaka Kyai Tunggul Wulung disertai kirab
Tumpeng Lanang Wadon dan Gunungan Ulu
Metu yang diberangkatkan dari balai desa
menuju Plataran Tunggularum. Pada puncak
proses di Plataran dipersembahkan Gunungan
Salak Gung Rinengo dan ditampilkan
tari persembahan.
Makna dari Tumpeng Lanang dan
Tumpeng Wadon adalah persembahan rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga
kepada penjaga desa mereka, dari mara
bahaya Gunung Merapi, yang setelah kepindahannya
ke dusun yang baru tidak terjadi
apa-apa, bahkan kehidupannya lebih tenteram
dan tenang. Karena memang secara
geografis daerah Tunggularum lama merupakan
daerah bahaya Merapi, bila digunakan
sebagai daerah pemukiman penduduk sangat
membahayakan penduduk yang tinggal di
situ. Pada acara tersebut ditampilkan pula
makanan yang menjadi ciri khas dari daerah
tersebut yaitu nasi jagung. Jadi setiap ada
ritual kegiatan, nasi jagung tidak ketinggalan.
Nasi jagung merupakan kegemaran
penjaga Gunung Merapi.
Selanjutnya mengenai pantanganpantangan
yang dilakukan saat puncak acara
yaitu :

- Tidak boleh berbicara yang tidak baik
pada saat mengikuti prosesi kirab
pusaka Kyai Tunggul Wulung.
- Harus berpakaian rapi dan sopan.
- Selama prosesi harus berjalan hati-hati,
karena jalan yang dilalui licin dan
sempit.
- Panitia penyelenggara dalam pelaksanaannya
harus memakai pakaian
kejawen.
- Pakaian yang dikenakan jangan memakai
pakaian dengan warna gadhung
melati, karena menyamai dengan
pakaian Kanjeng Ratu Kidul

Kemudian mengenai nilai-nilai yang
terkandung dalam tradisi merti bumi
melputi:

- Nilai Gotong Royong
Nilai gotong royong dalam upacara
merti bumi ini terlihat dalam pelaksanaan
atau penyelenggaraan yang dilakukan
bersama-sama antara warga masyarakat
Tunggularum Baru dan sekitarnya. Misalnya
dalam hal biaya penyelenggaraan ditanggung
bersama dengan warga masyarakat.
Demikian pula dalam hal gotong royong
yang dilakukan warga masyarakat pada
waktu diadakan kerja bakti di tempat
penyelenggaraan upacara.
Pada waktu pembuatan Gunungan
Salak Gung Rinenggo, kegotongroyongan
jelas terlihat, mereka dengan suka rela
membantu sampai selesai. Mereka membantu
secara suka rela, sehingga merasa
puas, dan gotong royong yang menjadi ciri
khas warga masyarakat dapat dilestarikan
atau dipertahankan.

- Nilai Persatuan dan Kesatuan
Tradisi merti bumi yang diselenggarakan
di Tunggularum ternyata dapat berperan
untuk menggalang persatuan dan kesatuan
warga setempat. Persatuan dan kesatuan
warga masyarakat tersebut dinyatakan
adanya pembagian makanan dan makan
bersama yang dilakukan pejabat desa, tamu
undangan dan warga masyarakat. Oleh
karena itu dorongan untuk melaksanakan
tradisi merti bumi merupakan dasar yang
kuat bagi warga masyarakat Tunggularum
dalam melakukan tugas-tugas yang dibebankan
kepada mereka. Sebagai contoh dalam
membuat sesaji, dalam kerja bakti dan
persiapan minuman atau makanan untuk
suatu pelaksanaan upacara. Bahkan pada saat
pelaksanaan upacara telah selesai, mereka
bersama-sama membersihkan tempat-tempat
yang telah digunakan dan mengembalikan
ke tempat semula.
Sebagai warga Tunggularum yang
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mempunyai
anggapan bahwa manusia tidak dapat
hidup sendirian, tetapi selalu tergantung
kepada sesamanya. Oleh karena itu tradisi
merti bumi yang menyangkut kegiatan
seluruh warga ditujukan untuk kepentingan
bersama. Hal ini disebabkan pada dasarnya
tradisi tersebut untuk kepentingan bersama,
memberikan kesejahteraan, ketenteraman
dan keselamatan warga Tunggularum. Nilai
persatuan dan kesatuan yang ada
sehubungan dengan adanya tradisi merti
bumi dapat pula dilihat pada waktu
pelaksanaan upacara. Penduduk sekitar
tempat pelaksanaan tradisi merti bumi
dilaksanakan mereka dengan senang hati
membuka pintu rumahnya dan menyediakan
makan dan minum bagi siapa saja yang
mampir dirumahnya untuk istirahat sejenak.

- Nilai Musyawarah
Dalam penyelenggaraan tradisi merti
bumi sangat menjunjung tinggi nilai
musyawarah. Hal ini ditunjukkan dalam
pelaksanaan tradisi merti bumi. Sebelum diselenggarakan,
dibentuk panitia secara
musyawarah, yang dinamakan rembug desa,
antara warga masyarakat dengan aparat desa.
Dalam musyawarah tersebut dibicarakan
bagaimana cara mencari dana untuk
penyelenggaraan.

- Nilai Pengendalian Sosial.
Tradisi merti bumi selain merupakan
suatu upaya warga masyarakat Tunggularum
dan sekaligus memberikan penghormatan
dan ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa, juga merupakan upaya pelestarian
tradisi yang sangat besar manfaatnya bagi
masyarakat Tunggularum. Berbagai pantangan
yang berlaku dalam penyelenggaraan
tradisi tersebut membuktikan ketaatan
masyarakat terhadap tradisi merti bumi yang
telah diyakininya.

- Nilai Kearifan Lokal
Tradisi merti bumi yang dilakukan
masyarakat Tunggularum mempunyai
kearifan lokal tradisi yang dapat dilestarikan.
Hal ini ditujukan pada waktu pengambilan
air di Sendhang Pancuran. Sebelum prosesipengambilan air, di lingkungan Sendhang
Pancuran diadakan kerja bakti membersihkan
lingkungan. Air dari Sendhang
Pancuran diyakini dapat menyembuhkan
berbagai macam penyakit. Jadi Sendhang
Pancuran harus dijaga kebersihannya
supaya dapat lestari. Selain itu air dari
Sendhang Pancuran ini dapat digunakan
sebagai salah satu sumber penghidupan bagi
masyarakat disekitarnya.

Penutup
Tradisi merti bumi berkaitan dengan
kepercayaan dan merupakan salah satu
bentuk warisan budaya leluhur yang sampai
sekarang masih tetap dilaksanakan dan
dilestarikan oleh masyarakat Tunggularum.
Pada hakekatnya tradisi tersebut merupakan
kegiatan sosial yang melibatkan seluruh
warga masyarakat dalam usaha bersama
untuk mendapatkan keselamatan, ketenteraman
bersama.
Dalam pelaksanaan tradisi merti bumi
ada beberapa pantangan-pantangan yang
harus ditaati oleh warga masyarakat, mereka
akan merasa takut dan malu bila melanggarnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa
tradisi tersebut merupakan pranata-pranata
sosial untuk mengatur sikap dan tingkah laku
bagi warga masyarakat. Juga adanya pembersihan
lingkungan di sekitar Sendhang
Pancuran merupakan kearifan lokal tradisi
untuk kelestarian mata air di Sendhang
Pancuran.

Daftar Pustaka
Budi Santoso, 1983/1984. “Pembangunan Nasional dan Perkembangan Kebudayaan”,
Makalah Pengarahan Kajian dan Pembinaan Kebudayaan Pada Penyuluhan
Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah. Yogyakarta: Depdikbud.
Has. “Merti Bumi di Guyur Hujan”, dalam Kedaulatan Rakyat. 27 Februari 2007.
Mulyadi, 1982/1983. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY.
Yogyakarta: Proyek P2NB Depdikbud.
Titi Mumfangati, 2006. Makna dan Fungsi Nyadran Kali di Kabupaten Magelang.
Naskah belum diterbitkan. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Van Peursen, 1974. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.