GotoBus

Renungan Kisah Pada Relief Candi Borobudur Tentang Harimau Dan Pengorbanan Bodhisattwa

Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan masalah pengorbanan. Mereka membicarakan kisah yang tertera pada relief Candi Borobudur tentang harimau kelaparan dan Bodhisattva yang mengorbankan badannya sebagai persembahan.

Sang Istri: Sebagai akibat dari kehidupan masa lalunya, seorang Bodhisattva hidup sejahtera. Dia mempercayai adanya persatuan. Sepertinya ia memilih “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan. Ia menerima kebhinekaan, adanya perbedaan. Namun di balik perbedaan itu, ia juga melihat kesatuan. Bahkan dia melihat persamaan kehidupan yang ada pada manusia maupun hewan. Pada suatu ketika Sang Bodhisattva berjalan-jalan di pegunungan bersama muridnya bernama Agita. Mereka melihat dari atas tebing seekor harimau betina yang sedang resah kebingungan. Sang Harimau betina sedang menderita kelaparan. Bagaimana pun kehidupannya harus dipertahankan. Seekor anaknya nampak sedang menyusu kepadanya. Ada sebuah dilema yang luar biasa sulitnya. Dia harus mempertahankan kehidupan diri. Kehidupan itu pemberian Ilahi. Kalau dia mati, sang anak pun akan mati. Karena dia akan kelaparan, tidak punya induk yang dapat menyusui. Salah satu jalan adalah memakan Sang Anak, si buah hati. Di kemudian hari dia dapat melahirkan anak yang lain sebagai pengganti. Meleleh air matanya, dia menangis melihat anaknya yang sedang menyusui, yang sebentar lagi akan mati sebagai makanan penyelamat diri. Dalam diri harimau ada pertempuran sengit antara pikiran dan hati nurani. Dia hanya bisa menangis tak punya solusi……. Sang Boddhisatwa menyuruh Agita mencari makanan pengganti bagi Sang Harimau, tetapi sudah berjam-jam dia belum kembali. Melihat harimau sekarat karena kelaparan, Sang Bodisattva menggigil karena kasih, seperti menggigilnya Mahameru karena gempa. Nampaknya dia segera akan melihat seekor harimau betina memakan anaknya, melawan hukum kasih alam semesta. Sang Bodhisattva merenung dalam, mengapa saya menyuruh Agita mencari tubuh makhluk lainnya. Tubuh saya cukup untuk mengobati kelaparannya. Ragaku sudah tua, beberapa saat lagi juga sudah tidak berguna. Ragaku sudah tak mudah untuk melakukan dharma. Sang Bodhisattva melihat kesempatan untuk membahagiakan makhluk yang sedang menderita. Nampaknya Sang Harimau akan memilih mati daripada memakan anaknya. Dan, dua kehidupan akan segera meninggalkan dunia fana……… Suara kejatuhan benda di dekatnya membuat Sang Harimau waspada. Dan dia melihat tubuh manusia yang sudah tidak bernyawa. Dia menyembah tubuh yang tidak bernyawa sebagai karunia dari Yang Maha Kuasa. Dan dia mulai memakannya setelah berdoa. Telah terselamatkan kehidupan dia dan anaknya…… Tidak dapat menemukan hewan buruan di hutan, sang murid Agita kembali menemui Gurunya. Dia melihat jasad gurunya di bawah tebing, dimakan harimau betina. Dia menangis, melihat pengorbanan nyata seorang Bodhisattva. Sang Bodhisattva seperti bumi yang menyerahkan apa pun yang ada pada dirinya demi kehidupan makhluk yang mendiaminya. Semua makhluk, termasuk para gandarwa, dewa, binatang, tanaman menghormati tindakan yang begitu mulia. Sang Mara kecewa dia dikalahkan Sang Bodhisattva. Setelah beberapa kehidupan konon Sang Bodhisattva lahir sebagai Sang Buddha, yang dihormati semua makhluk di alam semesta. Kisah Dia yang pernah mengorbankan nyawanya kepada harimau betina yang hampir makan anaknya……..

Sang Suami: Sang Harimau Betina berdoa di depan makanan yang akan di santapnya. Karena pengorbanan raga tersebut dia lepas dari perbuatan terkutuk makan anaknya……… Ingat tidak istriku, anak kita pernah bercerita, bahwa sewaktu ikut prgram AFS di Jepang di Provinsi Shizuoka. Keluarga di sana sebelum makan selalu berdoa, mohon maaf kepada hewan yang telah kehilangan nyawa, yang sebentar lagi akan masuk perutnya. Semua makanan kita merupakan persembahan dari Bumi. Sebelum makan, sudahkah sepatah dua patah kata doa keluar sebagai ungkapan syukur kepada kepada Bunda Pertiwi. Banyak nyawa yang telah melayang demi perpanjangan kehidupan kita ini.…. Hazrat Inayat Khan, memahami bahwa kematianpun, tidak alami. Sudah 6.000 ekor ayam masuk dalam perut ini. Sudah 20 ekor sapi yang dikunyah, sudah 30 kg ikan dilewatkan kerongkongan, sudah 4 kg udang mengalir dalam pembuluh arteri. Sudah sewajarnya, virus mereka menyerang tubuh sebagai hukum aksi-reaksi….. Menghilangkan nyawa saja belum meminta maaf, apalagi mengorbankan nyawa sendiri. Pengorbanan Sang Bodhisattva mengusik hati nurani. Manusia tidak mau melakukan pengorbanan karena masih punya banyak keinginan. Diri manusia dipenuhi berbagai keinginan. Tidak seperti Sang Bodhisattva yang hanya berisi kekosongan.…… Pikiran yang jernih, hati yang bersih memang kosong nampaknya. Ia yang bijak nampaknya tidak punya ambisi mengejar apa pun juga. Kelihatannya kosong, tetapi merekalah yang telah berhasil mengubah sejarah manusia. Nampaknya bodoh, nampaknya kosong tetapi merekalah yang memiliki jiwa. Merekalah yang berisi dan kita-kita inilah yang masih kosong jiwanya. Itu sebabnya kita mengejar kedudukan, mengejar ketenaran, mengejar dunia materi, mengejar harta-benda. Karena kita masih kosong, kita masih belum memiliki sesuatu yang bermakna. Seorang Bodhisattva tidak sedang mengejar sesuatu apa. Mereka sudah puas dengan apa yang mereka miliki. Nyawa pun dipakai berbagi. Mereka tidak kosong, mereka berisi.

Sang Istri: Kita tidak pernah tahu, hanya bisa mengira, bahwa Sang Bodhisatwa telah menjatuhkan diri dari tebing demi kasihnya kepada Sang Harimau dan anaknya. Siapa tahu pada saat itu mungkin Dia telah menyatu dengan Keberadaan Ilahi. Barangkali mind-nya sudah pecah berkeping-keping sehingga raganya tak bisa hidup lagi. Mungkin raganya terjatuh sudah tanpa nyawa lagi.

Sang Suami: Pada hakikatnya, Yang Dilayani dan yang melayani adalah Satu. Para leluhur menyebutnya sebagai manunggaling Kawula-Gusti. Kawula adalah “para manusia” dan Gusti adalah “Tuhan”. Manunggal mengacu pada “penyatuan”. “Penyatuan” antara dua insan, dua pikiran atau dua hati, keduanya masih dapat mempertahankan identitas unik dengan dan bisa berpisah kemudian. Manunggal artinya “berpadu”, atau lebih tepatnya “meleleh menjadi satu”. Begitu mencapai tingkat “penyatuan” semacam itu, perpisahan tidak lagi dimungkinkan. Manunggal adalah penyatuan saripati-saripati. Penyatuan ini adalah puncak kehidupan, di mana Kesadaran Energi Murni menaklukkan Kesadaran Dunia Materi.

Sang Istri: Kita bisa merenung dan berteori bahwa pada dasarnya kita semua adalah satu, tetapi tanpa tindakan nyata, penyatuan itu hanyalah kata-kata belaka. Kemanusiaan itu bukan hitam atau putih, atau keduanya. Kemanusiaan adalah satu. Nampaknya semua makhluk hidup berbeda, “goresan” DNA berbeda, jika kita menilik cukup jauh ke belakang, kita akan temukan kita semua berasal dari sumber yang satu. Atom itu satu. Energi juga satu. Sumber segala kehidupan adalah satu. Perbedaan kita adalah perbedaan geografis. Perbedaan biologis. Tetapi bukan perbedaan yang prinsipil, pada dasarnya, kita semua satu. Jadi, kembali lagi pada kita. Bagaimana cara pandang kita? Apakah kita menyadari esensi yang satu dan sama, atau kita hanya melihat perbedaan-perbedaan di permukaannya? Tiap orang dari kita adalah unik, tetapi jangan biarkan keunikan ini memisahkan kita. Marilah kita selalu ingat bahwa pada intinya kita semua satu adanya. Marilah kita rayakan keunikan individual kita. Namun janganlah lupa bahwa lantai dansa adalah satu juga. Kita tidak bisa berdansa tanpa lantai dansa kesatuan. Keunikan tarian kita dapat terlihat hanya karena lantai dansa kesatuan. Tanpa lantai dansa ini, tidak mungkin ada tarian. Demikian buku “the Gospel of Michael Jackson” menjelaskan. Yang ada hanyalah Tuhan dan alam semesta hanyalah tarian Tuhan. La Illaha Illallah. Tak ada yang lain selain Allah……

Sang Suami: Para sufi berkomentar, sudah beribadah, sudah beramal saleh, sudah melakukan perjalanan suci, rasanya koq belum sampai-sampai juga, Tuhan masih terasa jauh sekali. Kenapa demikian, karena kita masih menunggangi “onta betina kesadaran jasmani”. Kita masih enggan melepaskan keterikatan pada dunia benda. Sekali lagi para sufi mengingatkan bahwa bukan dunia benda yang harus kita lepaskan, tetapi “keterikatan” padanya. Kita tidak bisa melepaskan dunia benda. Setelah mati pun tidak juga. Karena “alam semesta” pun masih merupakan “benda”. Masih merupakan “materi”. Bumi dan langit dengan segala isinya, masih bersubstansi. Kita tidak bisa melepaskan dunia benda. Yang bisa kita lepaskan hanyalah “keterikatan” pada dunia benda. Seorang pencinta Allah, seorang pencari Kebenaran, harus menyadarinya. Demikian diuraikan dalam buku “Masnawi Empat, Bersama Jalaluddin Rumi Mabuk Kasih Ilahi”.

Sang Istri: Bhagavad Gita menjelaskan bahwa seorang Bhakta, seorang Pengabdi atau Pecinta Allah selalu sama dalam keadaan suka maupun duka. Keseimbangan dirinya tak tergoyahkan oleh pengalaman-pengalaman hidupnya. Ilmu apa yang dikuasai oleh seorang Bhakta sehingga ia tidak terombang-ambing oleh gelombang suka dan duka? Ternyata, ilmu matematika yang sangat sederhana. Seluruh kesadaran seorang Bhakta terpusatkan kepada la yang dicintainya. Kesadaran dia tidak bercabang, ia telah mencapai keadaan Onepointedness – Ekagrata. One, Eka – Satu…. la sudah melampaui dualitas, ia telah menyatu dengan Hyang dicintainya. la telah menyatu dengan Cinta. Pecinta, Hyang Dicintai, dan Cinta – tiga-tiganya telah melebur dan menjadi satu adanya. Demikian uraian dalam buku “Vedaanta”.

Sang Suami: Rasanya kita sedang berbicara dalam mimpi. Semua hanya teori. Kita sering bicara tentang tauhid, tentang kesatuan, dan kita anggap bicara tentang tauhid sudah cukup, menerima tauhid sebagai konsep sudah cukup juga. Penerimaan kita terhadap tauhid sebatas “penerimaan intelektual” saja. Alhasil penerimaan seperti itu justru membuat kita arogan. Semua harus dilakoni. Semoga Guru memandu perjalanan meniti ke dalam diri.

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait


Pointer Tambahan hasil dari Komentar dan tanggapan di Facebook

Renungan Kisah Pada Relief Candi Borobudur Tentang Harimau Dan Pengorbanan Bodhisattwa

  1. Betapa mengharukannya, namun momen itu bukanlah momen kesedihan dan tragedi, walaupun perenungan semacam itu bisa membuat kita trenyuh, berlinang air mata selama beberapa menit. Bersyukurlah kita bisa merasakan pengorbanan itu, berarti nurani kita masih peka dengan kasih. Yang patut dicontoh dari Bodhisattva dan Jesus bukan hanya tindakan nyata mengorbankan tubuh demi kebahagiaan semua makhluk hidup, juga sebaiknya dimengerti bahwa mereka melakukannya dalam keadaan pikiran mereka sudah menyatu dengan Alam Semesta, damai sejahtera selalu terpancar dari diri mereka, ego mereka yang sudah musnah, berganti dengan pribadi yang tulus penuh pengabdian terhadap Alam Semesta…. Seperti tekad para pengikut Tantra yang mempersembahkan tubuh,ucapan,pikiran kepada guru pembimbingnya saat memohon perlindungan, yang dimantapkan lagi dalam sadhana mandala persembahan, kita mendedikasikan hidup kita demi kebahagiaan semua makhluk termasuk diri kita sendiri. Dengan semangat yang tinggi untuk mencapai penerangan, para yogi mengorbankan segalanya dengan bijaksana. Mereka mengamalkan Bodhicitta dari Guru Dharmakirti, menolong usaha semua makhluk demi pembebasannya dari samsara pengorbanan Sang Bodhisattva sungguh mengharukan…semoga kita bisa melakoninya sendiri dlm kehidupan.
  2. Contoh mulia dari leluhur kita.
  3. Ada beberapa orang yang berani berkorban demi konsep yang diyakininya. Tetapi perlu dilihat apakah pengorbanan diri bahkan nyawanya merugikan orang lain? Pengorbanan mestinya dilandasi kasih. Pengorbanan mestinya tidak dilandasi kebencian. Pengorbanan mestinya tidak didasari untung-untungan, jadi mukti atau mati. Pengorbanan penuh kesadaran, penuh keikhlasan.
  4. Kasih muncul ketika sudah ada kesadaran bahwa sesungguhnya ada kesatuan dan persatuan dibalik ke bhinekaan….. Hidup indah setalah memahami bahwa semuanya adalah suatu kesatuan tak terpisahkan…. Saling bersinergi.
  5. Dengan berbagai keyakinan, apakah Tauhid, Yoga, Pencerahan intinya adalah “Penyatuan”. Leluhur kita sungguh luar biasa mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Einstein pun mempunyai keyakinan bahwa semua zat atau materi pun sejatinya adalah energi. Wujud berasal dari energi. Yang ada hanyalah energi, Sang Energi Agung.
  6. Kita dihidupi oleh energi dari Tanah ini..?! Bukankah setiap tanah memiliki corak energi nya masing-masing.. Di Tanah ini Tuhan berbicara dengan Bahasa Ibu Pertiwi..!!
  7. Wihdatul al wujud. Memayu hayuning bhuwana.
  8. Kisah yang mengharukan tentang pengorbanan Bodhisattwa. Kadang secara tidak sadar kita sering meminta oang lain berkorban untuk kita, tapi kita sendiri itung-itungan dalam berkorban.
  9. Bila sang diri telah mengenali dirinya, bila setiap perjalanan telah menemukan hakekatnya, tiada sesuatu yang perlu dilepas, berada di sana kita akan disibukkan oleh perayaan kehidupan sehingga tiada waktu unntuk berpikir mana apa yang perlu dan tidak untuk dilepaskan. karena segala yang dilihat adalah wajah-wajah Allah, dengan sendirinya segala sesuatu akan terlepaskan. yang tersisa hanya Dia,Dia dia dan Dia …..
  10. Disini laila disana laila disitu laila di mana-mana yang ada hanya laila …….la maujuda.
  11. Sangat inspiratif, meski sy sendiri selalu menjadi ‘minder’ ketika mendengar kisah para Bodhisatva ini. Jalan Bodhisatva adalah suatu jalan yg teramat berat, sangat berat. “Jattakamala”, kalau sy tidak salah ingat merupakan teks yg berisi kisah2 dn sikap altruistik Bodhisatva yg nantinya menjadi Pangeran Siddarta. Terlepas … Lihat Selengkapnyabahwa kisah2 ini selalu hadir dalam bentuk2 mitologis yang, menurut saya selain sangat dramatik dn seringkali terkesan hiperbolik, tapi pesan moralnya ini sangatlah kuat. Bahwa pengorbanan diri untuk orang atau mahluk lain, sebenarnya ialh suatu metode tercepat untuk memecah ‘cangkang’ EGO kita (mana yg lebih dulu, ‘cangkang’ EGO yg sudah pecah sehingga ia bisa mengorbankan dirinya untuk mahluk lain, ataukah pengorbanan diri untuk mahluk lain adalah suatu metode memecah ‘cangkang’ EGO?). Terlepas dari itu, semoga suatu saat nanti kita semua berani mencoba bernubuat untuk menghayati “SUMPAH JANJI BODHISATVA” dalam batin kita sendiri-sendiri.
  12. Saya jadi teringat film yang berjudul “Vertikal Limit”. Film ini tidak hanya bikin kita trenyuh, tapi juga menggetarkan hati. Film perihal aktivitas panjat tebing di gunung es. Setidaknya ada dua adegan. Pertama, bapak yg mengorban dirinya dengan meminta pd sang anak laki2nya utk memutus talinya, sehingga kedua anaknya akhirnya dapat selamat. Dn kedua, seorang pendaki tua yang memutus sendiri talinya agar upaya resque yang tengah mereka lakukan berhasil. Berulang-ulang film ini saya tonton, berulang-ulang juga saya selalu menitikan air mata pada momen-momen dramatik ini. Film ini sangat jelas mengusung spirit berBodhisatva.
  13. Bagi kami tak ada sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Semoga Keberadaan membimbing kita semua lewat jalan apa pun dalam perjalanan meniti ke dalam diri.
  14. Terima Kasih Ibu Pertiwi, yang telah menghidupi diri selama ini

Terima Kasih.

Salam __/\__