GotoBus

Renungan Kisah Tentang Kesabaran Kerbau Perkasa Pada Relief Candi Borobudur

sepasang suami istri setengah baya. Mereka kini sedang membicarakan Kisah Kesabaran Kerbau Perkasa dan Keusilan Monyet pada cerita Jataka. Pada relief dinding candi Borobudur terpahat kisahnya. Sebagai referensi pembicaraan,

Sang Istri: Konon Bodhisattva pernah hidup sebagai seekor kerbau perkasa yang sangat lembut hatinya. Sangat terkenal kesabaran dan kebijaksanaannya. Sang Kerbau sering diganggu seekor monyet usil yang suka mempermainkan dirinya. Memperhatikan kesabaran Sang Kerbau, Sang Monyet selalu menggoda dan mempermainkan tanpa takut mendapat resiko akibat perbuatannya. Kadang-kadang Sang Monyet sengaja duduk didepan Sang Kerbau yang sedang memakan rumput, sehingga Sang Kerbau menghentikan kegiatan makannya. Kadang-kadang Sang Monyet menaiki kepala Sang Kerbau dan menarik-narik tanduknya. Kadang Sang Monyet menutup kedua mata Sang Kerbau dan kadang ekornya dipakai sebagai ayunan. Sang Kerbau hanya mengingatkan Sang Kera dengan penuh kesabaran….. Pada suatu hari seorang penghuni hutan mempertanyakan. Wahai Kerbau Perkasa, mengapa kau mendiamkan saja tindakan Sang Monyet yang keterlaluan. Dengan salah satu kakimu atau dengan kedua tandukmu, monyet usil tersebut dengan mudah dapat kau lemparkan. Sang Kerbau menjawab, baiklah aku menjawab pertanyaanmu. Mungkin agak sulit memahamiku. Wahai Monyet tolong perhatikan juga perkataanku. Kelembutan dan tidak suka kekerasan adalah sifatku. Bahwa monyet menggodaku itu adalah akibat dari perbuatanku di masa lalu. Aku menerima dengan penuh kesadaran apapun yang menimpa hidupku…… Mungkin kalian menganggap tindakan sabarku sudah keterlaluan. Tetapi aku menjunjung tinggi suara Kebenaran. Mungkin kalian bertanya bagaimana aku yakin tindakanku benar, bukan hanya semata dalih pikiran. Setiap saat, diriku melakukan pembersihan. Setiap kekotoran yang terbuang diganti oleh sifat keilahian. Maka petunjuk Ilahi lah yang selalu mendatangi, bukan solusi yang berasal dari pikiran….. Setiap makhluk mempunyai “jalan”. Walau hanya ada satu tujuan yaitu Kebenaran. Jalan menuju Kebenaran bukanlah jalan raya. Di mana kita bisa bergandengan dengan siapa saja. Jalan menuju Kebenaran, Jati-Diri, Kesadaran merupakan jalan pribadi. Jalan menuju kebenaran begitu sempit, sehingga harus melewatinya seorang diri. Setiap orang berbeda jalannya. Karena pengalaman hidupnya juga tidak sama…… Wahai Monyet, saat ini sudah waktunya kau memperbaiki tingkah lakumu. Cobalah merenung, apakah kau senang tindakan demikian diperlakukan kepadamu? Seandainya kau dipermainkan, sedangkan kau mempunyai kekuatan untuk melawan, apakah kau akan membiarkan diganggu? Bila tidak senang diperlakukan dengan cara demikian, maka jangan melakukan hal yang demikian. Kalau tindakan suka mempermainkan sudah menjadi kebiasaan. Suatu saat kepada hewan yang temperamen kau akan mempermainkan. Dan kau akan babak belur dijadikan bulan-bulanan. Wahai Monyet engkau tahu tempat tinggalku, kalau tidak di hutan aku berada di pemukiman. Apabila kau merasa membutuhkanku, dan mau menemuiku silakan….. Sang penghuni hutan berterima kasih mendengar penjelasan Sang Kerbau, dia telah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Sang Monyet turun dari punggung Sang Kerbau, minta maaf atas perbuatannya dan berjanji tak akan mengulanginya. Kata-kata Sang Kerbau yang bijaksana telah menyadarkannya….. Akan tetapi hukum sebab akibat tak akan selesai dengan pemintaan maaf saja. Setelah beberapa bulan, Sang Monyet lupa janjinya dan hasratnya menggelora ingin mengulang kebiasaannya. Seekor kerbau liar datang dan berdiri di tempat yang sama. Sang Monyet digerakkan kebiasaan lama yang masih selalu menggoda. Dia ketagihan untuk mempermainkan Sang Kerbau seperti kebiasaan lamanya. Sang Kerbau Liar marah dan segera melemparkannya, dan menanduk bagian perutnya. Sang monyet lari dalam keadaan luka-luka. Dia sekarang mencari Sang Kerbau Perkasa kemana-mana. Dia ingin Sang Kerbau Perkasa menjadi pemandu kehidupannya.

Sang Suami: Sang Kerbau Perkasa menjadikan sabar sebagai salah satu sifatnya……. Sabar bukanlah “one time shot”, sabar adalah “a life time affair”, demikian petikan dari buku “Rahasia Alam, Alam Rahasia”. Bila kepala tasbih dianggap mewakili sifat Allah, Yang Maha Kuasa. Sifat Utama Maha Pengasih adalah butir pertama. Sedangkan Maha Sabar adalah butir terakhirnya. Berawal dari-Nya, berakhir pada-Nya. Kasih mengantar kita ke dunia. Sabar mengajak kita balik pada-Nya. Sesungguhnya Sabar itulah Tuhan. Bila ingin Berketuhanan, janganlah membalas kekerasan dengan kekerasan. Kita perlu bersabar, karena kesabaran adalah kunci kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan tanpa kesabaran dan kebijaksanaan.

Sang Istri: Konon ada Hadis yang diriwayatkan Al-Baihaqi. Iman terbagi dua, sabar merupakan separuh bagian dan syukur adalah yang separuhnya lagi. Bersabar dan bersyukur dalam dua kata ini terdapat intisari Iman Islami. Setiap kali kita mengucapkan “Bismillah”, hendaknya kita juga melakukan introspeksi diri. Apakah kita siap menerima Kehendak Ilahi? Apakah kita cukup sabar, cukup bersyukur dalam kehidupan ini?

Sang Suami: Sang Monyet sudah menyesal, tetapi tidak mudah meninggalkan kebiasaan……. Dalam bahasa meditasi, pola kebiasaan inilah yang disebut “subconscious mind”, synap-synap baru yang hampir permanen, sehingga manusia bertindak sesuai dengan conditioning yang ia dapatkan. la diperbudak oleh conditioning tersebut dan tidak mempunyai kebebasan. Tragisnya, sudah tidak bebas, dia juga tidak sadar bahwa dalam dirinya ada sesuatu yang perlu diekspresikan. Meditasi mengantar kita pada penemuan jatidiri. Latihan-latihan meditasi akan membebaskan manusia dari conditioning yang membelenggu diri. Kemudian, synap-synap baru yang masih labil, yang muncul-lenyap, muncul-lenyap adalah “thoughts” atau satuan pikiran. “Thoughts” akan selalu segar dan dengan thoughts kita bisa hidup dalam kekinian. Buku “Medis dan Meditasi” mengungkapkan hal yang demikian.

Sang Isteri: Mendengar uraian Sang Kerbau Perkasa, Sang Monyet mohon maaf dan tidak akan mengulangi…….. Tobat berasal dani suku kata taubah yang berarti “kembali”. Kembali pada diri sendiri, kembali meniti jalan ke dalam diri. Bertobat berarti “sadar kembali.” Dan, untuk meniti jalan ke dalam diri, untuk sadar kembali, dibutuhkan energi yang besar sekali. Sementara ini, seluruh energi kita habis terserap oleh perjalanan di luar diri. Rumi mengingatkan kita: Jangan pikir engkau bisa melakukan apa saja, kemudian bertobat dan selesai sudah perkaranya. Kalaupun taubah diterjemahkan sebagai “penyesalan”, yang menyesal haruslah hati, jiwa. Bukan dengan mulut saja. Di atas segalanya, “penyesalan” berarti “kesadaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.” Demikian diuraikan dalam buku “Masnawi Buku Kedua”.

Sang Suami: Sang Kerbau Perkasa menunggu waktu yang tepat kapan Sang Monyet bisa menyadari kesalahan tindakannya….. Apa gunanya menjelaskan cahaya itu apa, kepada orang-orang buta? Menjelaskan cahaya kepada orang-orang buta justru dapat menyesatkan mereka. Sekadar penjelasan, sekadar pengetahuan sering kali membuat mereka merasa tahu, sudah melihat, padahal bagaimana seorang buta dapat melihat cahaya? Kebutaan itu terlebih dahulu harus diobati. Dengan cara memberdaya diri. Kemudian, penjelasan tentang cahaya tidak penting lagi, tidak dibutuhkan lagi. Mereka sudah dapat melihat sendiri. Saat ini, penjelasan oleh pengetahuan membebani. Dan, kita berpikir bahwa sekadar pengetahuan sudah memadai. Padahal, bagi seorang buta, pengetahuan tentang cahaya tidak berguna sama sekali. Tidak berguna pula pengetahuan tentang meditasi. Sang Buta harus diobati, kemudian meditasi akan terjadi sendiri, cinta akan bersemi sendiri. Demikian uraian dari buku “Ishq Allah, Terlampauinya Batas Kewarasan Duniawi & Lahirnya Cinta Ilahi”.

Sang Istri: Setelah babak belur, Sang Monyet langsung mencari Sang Kerbau Perkasa untuk dijadikan pemandu kehidupannya…….. Kita biasanya mengatakan tunggu sebentar, kemudian sebentar berubah menjadi dua bentar, tiga bentar, dan seterusnya. Kita sering mendengar, Aku memang senang sekali dengan hal-hal spiritual, dengan segala yang berbau rohani… tapi tunggu sebentar, biarlah kuselesaikan dulu tanggunganku ini. Dan, tanggungan itu tak pernah selesai, karena yang menanggung adalah diri kita sendiri. Yang harus diselesaikan bukan tanggungan, melainkan diri sendiri.

Sang Suami: Sang Kerbau Perkasa tak akan menunggu lama. Ia sedang dalam perjalanan pulang, dan ia mengajak Sang Monyet pulang bersamanya. Sang Monyet menerima undangannya, dia ingin pulang bersama Sang Kerbau Perkasa. Entah kapan lagi dia bisa bertemu dengan Sang Kerbau Perkasa. Entah kapan lagi kita menerima undangan serupa. Kita sering lupa bahwa Yang Maha Mencipta juga Maha Memelihara. Lupa bahwa Yang Maha Memelihara adalah Yang Maha Mendaurulang juga. Kita lupa bahwa tak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa Kehendak-Nya. Bila kita siap, sudah pasti ada yang diutus untuk memandu kita. Bila suatu bangsa siap, sudah pasti datang pemandu bangsa.

Sang Istri: Hidup bebas dalam dunia tidak menjamin kebebasan bagi jiwa. Sesungguhnya, dunia ini sendiri merupakan kurungan bagi jiwa. Dunia kita sangat sempit, dan menyesakkan jiwa. Bila ingin hidup bebas, kita harus membiarkan jiwa kita menciptakan dunia baru, dunia yang luas di mana jiwa dapat bernapas lega. Ini yang sedang dikerjakan oleh para utusan, mesias, avatar, dan Buddha. Mereka sedang menciptakan dunia baru di mana mereka dapat bernapas lega. Dan bila kita hidup se-“zaman” dengan mereka, kelegaan itu akan kita rasakan juga. Hidup se-“zaman” tidak harus diartikan dalam satu masa yang sama. Bila sulit membayangkan bagaimana hidup se-“zaman” yang tidak dalam satu masa yang sama, mata hati perlu dibuka. Di sekitar kita pasti ada Sang Kerbau Perkasa. Seorang bijak berkata, berusahalah untuk hidup bersamanya, dan yang harus merasakan kebersamaan bukan saja raga, tapi jiwa kita.

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait


Pointer Tambahan hasil dari Komentar dan tanggapan di Facebook

Renungan Kisah Tentang Kesabaran Kerbau Perkasa Pada Relief Candi Borobudur

  1. Untuk sekolah di universitas kita berani mengorbankan waktu dan biaya. Akan tetapi untuk spiritualitas yang menjadikan kita bahagia, kita mau yang percuma, sambil lalu saja.
  2. Sering sekali sang monyet membatui sang kerbau perkasa. Bahkan sang monyet lebih percaya uraian yang akhirnya menjauhkan dirinya dari sang kerbau perkasa…. Semoga kita disadarkan dan selalu dipertemukan dengan sang kerbau perkasa… Tiada kesempatan ke dua untuk bertemu dan berjalan bersana dengan sang kerbau perkasa…
  3. Agar telur menetas perlu waktu, agar pohon berbunga perlu waktu, menunggu fajar tiba perlu waktu juga. Sabar adalah hal yang penting dalam kehidupan. Mengenai syukur, kesadaran kita baru sebatas mensyukuri setiap pengalaman. Mungkin belum bisa melihat “tangan” Tuhan dibalik setiap peristiwa!
  4. Banyak orang memanfaatkan kita, dan kebanyakan mementingkan hasil yang segera dan melupakan hukum sebab akibat. Yang memanfaatkan kesempatan dengan tipu muslihat pada suatu kali akan mandapatkan akibat. Sri Krishna dalam Bhagavad Gita mementingkan proses daripada hasil akhir, dan proses yang selalu baik akan menghasilkan yang baik pula.
  5. Bila kita masih bersikeras bahwa Tuhan berada “di atas” sana, jauh sekali, sedangkan manusia berada “di bawah” sini, dan kita hanya bisa merengek-rengek, maka kita tidak akan pernah bisa memahami Rumi. Paling banter, kita bisa memahami Al Ghazali. Itu pula sebabnya, sampai akhir tahun 80-an, Rumi hampir tidak dikenal di Indonesia. Sementara, Al Ghazali cukup populer. Sebab lain kenapa Rumi tidak populer karena sesungguhnya bangsa kita sudah familiar dengan ajaran sejenis. Satu-dua abad yang lalu, kalau seorang pujangga seperti Ronggowarsito atau Mangkunagoro membaca Rumi, akan menganggukkan kepala mereka. Karena, apa yang disampaikan oleh Rumi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat zaman itu.
  6. Sang Kerbau Perkasa melakukan tindakan Ahimsa. Saat Ahimsa muncul di dalam diri manusia, ia terbebaskan dari naluri hewani yang diwarisinya dari evolusi panjang sebagai hewan. Saat itu, ia betul-betul menjadi manusia. la menemukan kemanusiaan di dalam dirinya. Ahimsa juga tidak berarti menjadi pengecut. “Tidak,” kata Mahatma, “jika kau memilih Ahimsa karena takut sama musuh, maka kau seorang pengecut. Kau harus memiliki kekuatan untuk membalas musuhmu, tetapi memilih tidak membalasnya – itu baru Ahimsa.” *Panca Aksara, AK.
  7. Sang Kerbau Perkasa hanya menyampaikan apa terdengar lewat nuraninya, yang selalu dalam keadaan mawas diri, yang mendapat anugerahi Ilahi, hanya merekalah yang pantas disebut Guru, disebut Master, disebut Murshid, Mustafa. *Wedhatama, AK.
  8. Sang Kerbau Perkasa hanya akan “bekerja terhadap kita” bila kita membuka diri sepenuhnya. Lapisan pengetahuan “semi”, pengetahuan yang belum menjadi pengalaman, justru menutup diri kita. Seorang Guru tidak pernah memaksakan diri. Ia tidak akan memasuki diri kita secara paksa. Ia akan menunggu di luar pintu hati kita, sebelum kita sendiri membukanya dan mengundang dia masuk. *Bhaja Govindam, AK.
  9. Dalam ilmu medis, kita ketahui bahwa pembentukan paling aktif “sarung saraf ” atau mielin sheet terjadi pada usia 0-5 tahun. Setelah itu kreativitasnya berangsur-angsur berkurang, namun berjalan terus sampai usia 20 tahun bahkan 40 tahun. Pembentukan Sarung Saraf berkaitan sekali dengan protein intake. Selanjutnya mempengaruhi pengantaran impuls. Saat itu, jika seorang anak diberi pendidikan spiritual, akan terbentuk reseptor synap alertness. Jadi usia paling baik untuk pendidikan semacam itu adalah pada usia dini itu.” *Medis Meditasi, AK dan dr. B Setiawan.
  10. Perubahan kemajuan melibatkan tindakan yang merusak terhadap apa yang ada di sekelilingnya….namun betapa menyakitkannya kerusakan itu semua juga demi sesuatu yang lebih baik…….namun semua itu juga tidak ada artinya jika dekapan halusnya malah mendorong kita untuk melupakan asal usul dan tujuan kita.
  11. Selalu menunda-nunda untuk segera menyadari kesalahan,akhirnya membawa petaka bagi diri sendiri, yang sebenarnya berkah dari Tuhan dalam bentuk yang lain karena akhirnya kita menjadi sadar. Peringatan bagi kita semua.
  12. Demi kelanjutan dan kemajuan, bila ada yang harus ditinggalkan, maka tidak perlu bersedih hati. Demi kemajuan dan pembangunan, bila perlu, kita lakukan daur ulang tanpa keraguan. Akan tetapi juga saatnya kita kembali kepada ajaran leluhur, kepada budaya asal Nusantara, kepada kearifan lokal, kebijakan nenek moyang. Saatnya kita menghormati dan menghargai alam, lingkungan. Hubungan dengan alam dan sesama makhluk hidup bukanlah hubungan horizontal sebagaimana disampaikan kepada kita selama bertahun-tahun. Pun hubungan kita dengan Tuhan bukanlah vertikal. Tuhan tidak berada di atas sana. Inilah kearifan lokal kita. Pemahaman vertikal-horizontal seperti ini telah memisahkan kita dari alam. Tuhan berada dimana-mana, Ia meliputi segalanya, sekaligus bersemayam di dalam diri setiap makhluk inilah inti ajaran leluhur kita. Inilah kearifan lokal kita.
  13. Gambaran sang Bhagava dalam inkarnasi kerbau sepintas sangat bodoh bagi yang tak mengerti Dharma, namun beliau sangat memahami hidupnya sendiri sebagai jalan mencapai Kebuddhaan, wajib menerima yang menurut kita sangat buruk, dengan lapang dada. Ini juga merupakan bagian dari Bodhicitta, beliau bahkan memancarkan kasih kepada mereka yang datang menyakiti atau sekedar mengganggunya. Semoga dengan keteladanan kerbau ini, kita bisa meningkatkan kesadaran kita pada hidup yang benar, tidak lagi berbuat semau gue seperti kera usil.
  14. Semua peristiwa yang kita alami sebenarnya ingin berkomunikasi dengan kita. Yang penting adalah membuka diri.
  15. Kita tidak melihat dunia sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana pikiran kita ingin melihatnya. Dunia yang sama tetapi kita memandangnya dengan berbeda. Penting bagi kita memahami diri kita, memberdaya diri kita, memahami potensi Kerbau Perkasa dan Monyet Usil dalam diri kita.
  16. Kita sering menutup diri karena terbelenggu oleh pola pikiran bawah sadar kita yang telah terbentuk oleh suatu keyakinan.
  17. Monyet Pikiran, Kebiasaan lama, pergaluan lama adalah hal-hal yang senantiasa mengganggu kesadaran……. Semoga kita semua dapat menumbuh kembangkan kesadaran di dalam diri kita masing-masing.
  18. Pikiran yang belum tenang, napas yang masih kacau, membuat pikiran selalu berpindah-pindah nggak keruan. Rata-rata monyet bernapas kacau dengan frekuensi gelombang otak 32 Hertz. Manusia dalam keadaan normal sekitar 14. Sewaktu terfokus misalnya pada waktu membaca bisa mencapai 7. Sewaktu mimpi menjadi 3.5 dan pada waktu deep sleep menjadi 2. Melatih napas akan menenangkan tekanan darah dan menurunkan gelombang otak. Pada waktu gelombang otak tenang akan dapat masuk ke pikiran bawah sadar dan memperbaikinya.
  19. Manusia lebih unggul dari hewan karena kemampuannya untuk memahami dan melihat hidup secara lebih utuh…. Walaupun demikian dibawah pengaruh keserakahan yang tak terkendalikan, manusia pun lebih unggul dalam keserakahannya.
  20. Di sekitar kita pasti ada Sang Kerbau Perkasa. Seorang bijak berkata, berusahalah untuk hidup bersamanya, dan yang harus merasakan kebersamaan bukan saja raga, tapi jiwa kita.” Memang benar, kita harus jeli dan berani untuk membuka panca indera kita, pikiran dan hati kita supaya kita lebih peka dan bisa mengenali Sang Guru yang siap membantu kita dengan ikhlas dan penuh kasih untuk membebaskan kita dari segala pengkondisian yang tidak tepat bagi kesadaran dan jiwa kita.

Terima Kasih.

Salam __/\__