Barabudur adalah nama sebuah situs Buddha purba yang terletak di Barabudur, -Magelang, Jawa Tengah, yang didesain oleh Arsitek tersohor pada abad ke-8 Masehi, Gunadharma . Dibangun oleh para penganut Buddha-Dhamma mazhab Mahayana pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra.

Penyebutan Barabudur sebagai “Candi” sebenarnya tidaklah tepat. Kata “Candi” berasal dari kata “Candika”, yaitu nama lain dari Dewi Durga. Candi digunakan sebagai tempat pemujaan Dewa – Dewi dalam tradisi Hindu.

Di India, bangunan yang berhubungan dengan agama Buddha disebut “Stupa”, ialah bangunan yang berbentuk kubah berdiri di atas sebuah lapik dan diberi payung diatasnya. Adapun arti dari “Stupa” itu sendiri adalah :

- Tempat penyimpanan “relic” ( peninggalan-peninggalan dari Sang Buddha, Arahat dan para Bhikkhu terkemuka, semisal : tulang-belulang Sang Buddha, Jubah Sang Buddha, dll. ). Dinamakan juga “Dhatu Garbha”.

- Sebagai tempat penghormatan kepada Sang Buddha sebagai Guru Agung.

- Sebagai sebuah symbol suci bagi ummat Buddha.



Lokasi situs ini adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta, dari kota Magelang terletak di sebelah selatan kurang lebih 15 Km dalam jarak lurus, di dataran Kedu. Dataran Kedu yang berbukit, hampir seluruhnya dilingkari pegunungan. Gunung yang melingkari candi Borobudur antara lain :

- Sebelah timur terdapat gunung Merbabu dan Gunung Merapi.

- Barat laut terdapat Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.

- Di sebelah Utara terdapat Gunung Tidar ( dikenal sebagai “PAKU-ning TANAH JAWA” )

- Sebelah selatan terdapat pegunungan Menoreh.

Dari kesemua gunung tersebut, hanya Gunung Merapi yang masih aktif sebagai Gunung Berapi.

Disebelah timur Borobudur terdapat Candi Pawon dan Candi Mendut.



Candi Pawon mempunyai bilik, didalamnya tak terdapat satu patungpun juga, tidak diketahui guna dari bilik ini, tidak jelas juga untuk tempat pemujaan Dewa atau apa, oleh karena itu tidak dapat dipastikan apa fungsi Candi Pawon dalam hubungannya dengan candi Borobudur. Dimungkinkan candi Pawon sebagai tempat istirahat dalam perjalanan ziarah, karena letak candi ini di antara candi Mendud dan Candi Borobudur.



Candi Mendud, sebagai tempat Puja Bhakti. Di dalam biliknya terdapat sebuah Buddha Rupam ( besar ) yang menggambarkan Sang Buddha sedang duduk di atas singgasana, sikap tangan menggambarkan saat ia pertama kali memberikan wejangan di taman Rusa. Buddha Rupam ini diapit oleh Avalokitesvara dan Vajrapani.



Borobudur terletak paling barat di antara candi-candi tersebut.

Asal Mula Nama Borobudur

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi Borobudur. Menurut Drs.Soediman dalam bukunya “Borobudur salah satu Keajaiban Dunia” dijelaskan antara lain bahwa nama BARABUDUR berasal dari dua suku kata ;

1. BARA , yang berasal dari kosakata Sanskerta “VIHARA” atau “BIHARA”.

2. BUDUR, dalam bahasa Bali “BEDUHUR” yang artinya “ATAS”.

Jadi, BARABUDUR artinya Bihara yang terletak di atas bukit.

Memang, di halaman barat laut dari Barabudur sewaktu diadakan penggalian ditemukan sisa-sisa bekas sebuah bangunan yang dimungkinkan bangunan bihara. Pendapat lain dikemukan oleh J.G de Casparis berdasarkan prasasti “SRI KAHULUNAN” ( 842 M ). Di dalam prasasti tersebut terdapat nama sebuah kuil “BHUMISAMBHARA”. Menurut Casparis, nama dalam prasasti Sri Kahulunan itu tidak lengkap, agaknya masih ada lagi sepatah kata untuk “Gunung” dibelakangnya, sehingga nama seluruhnya seharusnya “Bhumisambhara Buddhara”. Dari kata-kata inilah akhirnya terjadi nama BARABUDUR.

J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan, pendiri Borobudur adalah raja dari dinasti Syailendra bernama Samaratungga sekitar 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.

Struktur Bangunan Barabudur

Bangunan Barabudur dibangun menggunakan batu andesit sebanya 55.000 m3. Bangunan ini berbentuk limas yang berundak-undak dengan tangga naik pada keempat sisinya ( timur, selatan, barat dan utara ). Bentuk limas berundak-undak merupakan pengaruh dari budaya asli Jawa ( punden berundak ), sedangkan relief cerita dan Stupanya merupakan asli Buddhis.

Pada bangunan Stupa Barabudur tidak ada ruangan dimana orang bisa masuk seperti umumnya candi-candi Hindu, melainkan orang hanya bisa naik sampai ke teras puncak.

Latar bangunan Stupa Barabudur = 123 m.

Panjang bangunan Stupa Barabudur = 123 m

Pada sudut yang membelok = 113 m.

Tinggi bangunan Stupa = 34,5 m.

Pada kaki bangunan Stupa ditutup dengan batu sebanyak 12.750 m3, sebagai selasar dan undaknya.

Bangunan Stupa Barabudur merupakan penggambaran dari Alam-Semesta, Kehidupan dan Alam-Kehidupan, yang terbagi dalam “Tiga-Alam” ( Triloka ) :

- Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah”. Kamadhatu terdiri dari : Alam neraka, alam binatang, alam hantu, alam manusia, dan alam para dewa-dewa lingkup keindriaan. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.

- Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya menggambarkan alam berikutnya, yaitu Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Ala mini adalah alam para Brahma dan Maha Brahma ( Tuhan ). Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.

- Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada bagian Arupadhatu, Patung-patung Buddha digambarkan “Tidak Berkepala” dan ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud / nir-wujud / Arupa-Jhana dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi ( Stupa Induk ) . Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini, diduga dulu ada sebuah patung penggambaran Adibuddha. Patung yang diduga berasal dari stupa terbesar ini kini diletakkan dalam sebuah museum arkeologi, beberapa ratus meter dari candi Borobudur. Patung ini dikenal dengan nama unfinished Buddha. Stupa Induk ini sesungguhnya merupakan penggambaran dari N’eva Sanna Nasannayatana – Alam Tiada Pemahaman maupun Tiadanya Tiada Pemahaman, yaitu alam tertinggi dari “Arupa-Jhana”. Para makhluk di alam ini berdiam dalam batin yang “padam”, tiada pikiran, batin yang tidak bergerak sama sekali. Yang terlahir disini adalah makhluk suci yang berhasil meraih samadhi tingkat catuttha-arupajhana yang berobjek pada “bukan-ingatan-bukan-pula-tanpa-ingatan”. Usia makhluk di alam ini mencapai 84.000 Maha Kappa. Akan tetapi, ada pula para ahli yang menyatakan bahwa Stupa Induk ini merupakan penggambaran dari “Nibbana” / “Nirvana”.


Buddha Rupam ( Rupa Buddha, atau “Patung-Buddha” ) di bangunan Stupa Barabudur semuanya berjumlah 504 buah, dengan uraian sebagai berikut :

Buddha Rupam yang berada pada relung-relung = 432 buah

Pada teras I, II, dan III = 72 buah

TOTAL = 504 buah

Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand, Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.

Secara sekilas, ke-504 Buddha-rupam tersebut sepertinya tampak serupa semuanya, tetapi sesungguhnya ada juga perbedaan-perbedaannya. Perbedaan yang sangat jelas membedakan satu patung dengan yang lainnya adalah sikap tangannya, yang disebut sebagai “Mudra” dan merupakan ciri khas untuk setiap patung. Jumlah Mudra yang pookom ada lima ( 5 ) :

1. BUMISPHARA – MUDRA

Sikap tangan ini melambangkan saat Sang Buddha memanggil Dewi Bumi untuk menjadi saksi saat ia menangkis semua serangan Iblis Mara. Patung-patung dengan mudra ini menghadap ke timur langkan I – IV.

2. WARA MUDRA
Sikap tangan ini melambangkan pemberian amal, memberi anugerah atau berkah. Mudra ini adalah khas bagi Dhyani Buddha Ratnasambhawa. Patung-patung dengan mudra ini menghadap ke selatan langkan I – IV.

3. DHYANA MUDRA
Sikap tangan ini melambangkan sedang Samadhi. Mudra ini merupakan cirri khas bagi Dhyani Buddha Amitabha. Patung-patung dengan mudra ini menghadap ke barat langkan I – IV.

4. ABHAYA MUDRA
Sikap tangan ini melambangkan sedang menenangkan, mudra atau sikap tangan ini merupakan tanda khusus bagi Dhyani Buddha Amoghasidi. Patung-patung dengan mudra ini menghadap ke utara langkan I – IV.

5. DHARMACAKRA MUDRA
Sikap tangan ini melambangkan ketika Sang Buddha pertama kali memutar Roda Dhamma. Mudra ini menjadi cirri khas bagi Dhyani Buddha Wairocana. Khusus di Stupa Barabudur Wairocana ini digambarkan dengan sikap tangan yang disebut Witarka Mudra.


Barabudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi Stupa tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.

Struktur Barabudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala.

Struktur Barabudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.



Relief di Dinding Bangunan Barabudur

Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding-dinding bangunan. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana. Ada pula relief-relief cerita jātaka.

Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur disetiap tingkatnya, mulainya disebelah kiri dan berakhir disebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.

Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan langkan candi , adalah sbb :

Bagan Relief

Tingkat

Posisi/letak

Cerita Relief

Jumlah Pigura

Kaki bangunan asli

—–

Karmawibhangga

160 pigura

Tingkat I

- dinding

a. Latitawistara

120 pigura

——-

- —–

b. jataka/awadana

120 pigura

——-

- langkan

a. jataka/awadana

372 pigura

——-

- —–

b. jataka/awadana

128 pigura

Tingkat II

- dinding

Gandawyuha

128 pigura

——–

- langkan

jataka/awadana

100 pigura

Tingkat III

- dinding

Gandawyuha

88 pigura

——–

- langkan

Gandawyuha

88 pigura

Tingkat IV

- dinding

Gandawyuha

84 pigura

——–

- langkan

Gandawyuha

72 pigura

——–

Jumlah

——–

1460 pigura

Secara runtutan , maka cerita pada relief bangunan secara singkat bermakna sebagai berikut :

Karmawibhangga


Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding bangunan Barabudur (lantai 0 sudut tenggara)

Sesuai dengan makna simbolis pada kaki banguna, relief yang menghiasi dinding batu yang terselubung tersebut, menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri ( serial ), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan buah-perbuatan yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala / buah perbuatan baiknya. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir – hidup – mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.

Lalitawistara

Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari Surga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke 27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di surga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti “hukum” ,sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.

Jataka dan Awadana

Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari mahluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa / perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.

Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.

Gandawyuha

Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke 2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.



Tahap-tahap Pembangunan Barabudur m/ para Ahli

Tahap pertama

Masa pembangunan Barabudur tidak diketahui pasti (diperkirakan antara 750 dan 850 M). Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak. tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar.

Tahap kedua

Pondasi Borobudur diperlebar, ditambah dengan dua undak persegi dan satu undak lingkaran yang langsung diberikan stupa induk besar.

Tahap ketiga

Undak atas lingkaran dengan stupa induk besar dibongkar dan dihilangkan dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa dibangun pada puncak undak-undak ini dengan satu stupa besar di tengahnya.

Tahap keempat

Ada perubahan kecil seperti pembuatan relief perubahan tangga dan lengkung atas pintu.



Proses Pemugaran Bangunan Barabudur

1814 – Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Barabudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.

1873 – monografi pertama tentang candi diterbitkan.

1900 – pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan bangunan Stupa Barabudur.

1907 – Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.

1926 – Barabudur dipugar kembali, tapi terhenti pada tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.

1956 – pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab kerusakan Barabudur.

1963 – pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Barabudur, tapi berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S tahun 1965.

1968 – pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk menyelamatkan Barabudur.

1971 – pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Barabudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.


1972 – International Consultative Committee dibentuk dengan melibatkan berbagai negara dan Roosseno sebagai ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya ditanggung Indonesia.

10 Agustus 1973 – Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur; pemugaran selesai pada tahun 1984

21 Januari 1985 – terjadi serangan bom yang merusakkan beberapa stupa pada Candi Borobudur yang kemudian segera diperbaiki kembali. Serangan dilakukan oleh kelompok Islam ekstrem yang dipimpin Habib Husein Ali Alhabsyi.

1991 – Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO.