Renungan Tentang Perjalanan Batin Seorang Wiku Dalam Kisah Parthayajna Pada Relief Candi Jago di Jawa Timur
Pada relief dinding Candi Jago di Jawa Timur terdapat kisah Parthayajna.
Sang Istri: Pandawa mengalami babak belur dalam kehidupannya. Gara-gara Yudistira kalah dadu ditipu para Korawa, Drupadi mengalami penghinaan luar biasa. Mereka pun harus meninggalkan Hastina duabelas tahun lamanya. Bhima tidak tahan dan ingin berperang melawan Korawa tetapi Yudistira menahannya. Pamanda Widura memberi nasehat bagaimana mengatasi penderitaan dalam kehidupan. Resi Dhomya menceritakan akan datangnya zaman Kali di mana tindakan seperti yang dilakukan Suyudana akan banyak dilakukan oleh manusia. Pandawa harus hidup sebagai “Wiku”, Pertapa dan mengembalikan “Acyntia”, Dia Yang Tak Dapat Disepertikan, kembali kedalam diri mereka. Arjuna diminta bertapa di Indrakila agar mendapatkan senjata ilahi untuk mengalahkan Korawa. Akan tetapi sebelumnya diminta mohon restu dulu pada Dwipayana, Sang Kakek Pandawa…… Arjuna, harapan dunia pamit kepada keluarganya masuk hutan dengan penuh kesedihan. Arjuna sampai ke pertapaan Wanawati dan dibawa dua orang “Kili”, pertapa wanita menghadap Mahayani Sang Pendiri Pertapaan. Arjuna diberi wejangan tentang pelajaran “Hala Hayu”, buruk dan baik dalam kehidupan. Hidup di dunia hanya sementara saja sebaiknya dianggap seperti pergi wisata. Arjuna diberi pelajaran tentang sifat alam semesta. Sifat “Rajas”-dinamis, Sifat “Tamas”-lembam, malas dan sifat “Satwik”-tenang yang selalu ada dalam setiap manusia dan seluruh alam semesta. Karena sifat rajas dan tamas Yudistira kecanduan main dadu dan Pandawa babak belur menderita……. Pada waktu malam hari seorang “Kili” cantik menyatakan cinta kepada Arjuna. Arjuna menolaknya karena dia telah berhasil menguasai sifat rajas dan tamas-nya. Dalam perjalanan selanjutnya, Arjuna menghadapi hujan badai dan guntur dan melihat Dewi Pelindung Kraton Indraprastha meninggalkan kraton setelah Yudistira kalah main dadu dengan Korawa. Kemudian Arjuna melihat dirinya sedang menerima senjata dari Dewa Kirata untuk mengembalikan wahyu kraton ke tempat semula. Penglihatan tersebut membuat Arjuna bersemangat melanjutkan perjalanannya……. Selanjutnya, Arjuna bertemu dengan Dewa Kama dan Dewi Ratih yang sedang berada di tepi telaga. Arjuna mengeluh tentang sangat besarnya godaan keduniawian. Dewa Kama memberi nasehat tentang kebahagiaan. Karena sifat rajas dan tamas dari tiga guna, tiga sifat alam semesta, manusia sering lupa memaknai kebahagiaan. Dewa Kama menjelaskan tentang hakikat “Wastu”, tempat tinggal, pengendalian dan pengorbanan serta asal muasal manusia. Menjalankan pemerintahan adalah dharma para satria. Kerajaan adalah tempat pertapaan para satria. Kemudian Arjuna sadar akan swadharma-nya. Arjuna ditunjukkan arah pertapaan Dwipayana dan Gunung Indrakila. Dewa Kama mengingatkan bahwa seorang raksasa anak Bathari Durga, Nalamala akan mengajak mengadu kesaktian dengan Arjuna. Bila kalah agar Arjuna bersamadi memuja Siwa. Nalamala menampakkan diri dalam wujud Kala, dan kalah bertarung dengan Arjuna yang bersemadi memuja Dewa Siwa. Nalamala berlari dan berkata dia akan datang lagi dalam zaman Kaliyuga, kala Arjuna gelap mata dan juga akan membunuh adik-adiknya. Nalamala berarti wadah ketidakbersihan. Sang Raksasa dalam wujud Kala berarti wujud waktu yang selalu mengalahkan manusia. Saat Arjuna memusatkan diri pada keilahian maka waktu tidak dapat mengalahkannya. Pada zaman Kaliyuga, Nalamala mewujud sebagai ketiga raksasa Kertikeya yang dapat membunuh Nakula dan Sadewa dan merasuk ke dalam Arjuna yang sedang gelap mata karena ditinggal Sri Krishna…… Sang Kakek Dwipayana menyampaikan bahwa Korawa adalah inkarnasi kejahatan dan Pandawa adalah inkarnasi lima Dewa Kusika yang mendapat perintah Siwa untuk melenyapkan kejahatan. Kejahatan ada di luar dan di dalam seorang wiku dan dua-duanya harus dibersihkan. Pembersihan adalah persiapan untuk manunggal dengan Tuhan. Setelah menerima banyak nasehat, Arjuna pergi ke Indrakila dan memperoleh anugerah senjata dari Siwa yang menampakkan diri sebagai Dewa Kirata…. Sebuah perjalanan batin, seseorang yang telah babak belur dalam kehidupannya. Merasa kalah, sulit melepaskan diri dari penderitaannya. Tetapi dia mempunyai keyakinan bahwa dia tidak berdaya, tetapi Gusti Mahadaya. Dia mohon pertolongan Gusti untuk menolongnya. Ternyata Gusti memandunya, lewat tangan-tangan-Nya dalam perjalanan kehidupannya. Dia mulai memberdaya dirinya, dia mendapatkan pemahaman tentang kelemahan dan kekuatannya. Dia menjadi percaya diri dengan potensinya dalam menghadapi peperangan yang akan terjadi dalam perjalanan kehidupan selanjutnya………
Sang Suami: Dalam buku “Jaman Edan” disampaikan bahwa …….. “Wiku” sebenarnya bukan pendeta. “Wiku” berasal dari kata “Bhikshu” ia yang tidak memiliki sesuatu apa pun. Namun demikian, ia bukan seorang pengemis. Seorang Wiku telah melepaskan dirinya dari keterikatan-keterikatan duniawi, tidak terikat pada sesuatu apa pun. Bisa saja ia memiliki rumah dan kendaraan dan keluarga dan usaha, tetapi semuanya itu tidak dapat mengikat dia. Sang Cendekiawan yang masih sibuk mendirikan lembaga ini dan lembaga itu, bukanlah seorang Wiku. Mereka yang masih mengidentitaskan diri mereka dengan lembaga-lembaga tertentu, dengan kelompok-kelompok tertentu, tidak dapat disebut Wiku. Mereka yang gembira apabila dipuji, dan gelisah apabila dimaki, tidak dapat disebut Wiku. Lantas siapa yang dapat disebut seorang Wiku? Ia yang bebas dari segala macam, segala bentuk keterikatan. Hidup di tengah lumpur, tetapi tetap indah dan tidak tercemari oleh lumpur duniawi, bagaikan sekuntum bunga teratai itulah seorang Wiku. Pujangga Ronggowarsito juga memberikan ciri-ciri yang lain : Pertama tentang kesadaran Wiku. “Memuji ngesthi sawiji” dapat diterjemahkan sebagai “berdua menginginkan Yang Satu” atau “berdua pada Yang Satu” atau “Memuja, memuji Yang Satu”. Sang Wiku ini tidak akan mengidentitaskan dirinya dengan satu kelompok, apakah itu kelompok cendikiawan atau non cendikiawan, kelompok agama atau non-agama, kelompok Islam atau Hindu Atau Kristen atau Budha atau Katolik. Ia tidak terikat pada satu kelompok. Ia menyadari Keberadaan Yang Satu itu, entah kita memanggilnya Allah atau Buddha, Yehovah atau Ishwara. Ia Satu Ada-Nya. Sang Wiku menyadari hal itu. Dia tidak akan meneriakkan yel-yel, slogan-slogan yang berbau kelompokisme. Ia telah mencapai pencerahan. Ia sadar akan kesatuan Tuhan dan persatuan antarmanusia. Yang kelak akan memimpin bangsa, yang dapat memimpin bangsa, yang dapat mengantar memasuki milenia ketiga dengan rasa bangga adalah seorang Wiku seperti itu. Dia juga digambarkan sebagai seorang “Majenun” terobsesi. Apa pula yang menjadi obsesinya? Menyatu dengan Tuhan, senantiasa berada pada tingkat kesadaran tertinggi itulah obsesinya. Tentang tindakan Wiku. “Galiben tudang-tuding” berarti “mundar-mandir ke sana ke mari, sambil menunjukkan jari telunjuknya. Ia sangat menggerahkan. Ia sangat provokatif. Ia harus membangunkan kita. Ia harus menunjukkan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan selama ini. Senang atau tidak, ia akan membangunkan kita dari tidur. Hasil yang akan dicapai Wiku. “anacahken sakehing wong” berarti “menghitung orang”. Apa pula yang dihitungnya? Ia sedang menilai kita. Apabila ia harus membantu kita, maka sebelumnya ia harus melakukan penilaian kesadaran kita ini sampai mana sih?! Tidak hanya menilai, tetapi ia juga akan membantu terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri kita. Bait ini biasanya ditafsirkan dengan cara yang sangat berbeda. Syair ini dianggap mengandung angka-angka rahasia yang menunjukkan tanggal, bulan dan tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Mungkin! Tetapi, dipilih untuk menterjemahkan bait ini sebagaimana adanya. Wiku yang dimaksudkan mungkin bukan satu orang, mungkin suatu tingkat kesadaran. Yang jelas, tanpa terjadinya peningkatan kesadaran semacam ini, bangsa kita akan tetap terpecah-belah, rakyat kita tetap menderita dan pemerintahan kita tetapi tidak stabil….. Pujangga Ronggowarsito menuliskan bahwa berakhirnya “jaman edan” yang penuh dengan penderitaan ini akan ditandai dengan munculnya seorang “Wiku”……..
Sang Istri: Untuk mengetahui jatidirinya sebagai penegak dharma, pemberantas kejahatan. Untuk mengetahui dharmanya sebagai pelaku pemerintahan dan kerajaannya sebagai pertapaan, Arjuna harus mengalami laku perjalanan yang melelahkan. Dwipayana, kakeknya atau sering disebut Bhagawan Abhiyasa dan sering disebut Krishna Dwipayana menasehati bahwa kejahatan ada di luar diri dan di dalam diri, dan keduanya harus dibersihkan. Dalam kisah ini disampaikan bahwa Arjuna sudah mengalami pengalaman spiritual yang luar biasa, sehingga saat di perang Bharatayudha dalam keadaan gelisah Sri Krishna, sang Avatara mengingatkan jatidirinya….. Sri Krishna berkata kepada Arjuna, Kau tidak berperang untuk memperebutkan kekuasaan; kau berperang demi keadilan, untuk menegakkan Kebajikan. Janganlah kau melemah di saat yang menentukan ini. Bangkitlah demi bangsa, negeri, dan Ibu Pertiwi……. Kemudian untuk menemukan jatidiri, Arjuna harus berperang, berkarya sebagai seorang satria. Sri Krishna berkata, Pengendalian Diri dan Penemuan Jati Diri memang merupakan tujuan tertinggi. Namun, kau harus berkarya untuk mencapainya. Dan, berkarya sesuai dengan kodratmu……. Bila kau seorang Pemikir, kau dapat menggapai Kesempurnaan Diri dengan cara mengasah kesadaranmu saja…… Bila kau seorang Pekerja, kau harus menggapainya lewat Karya Nyata, dengan menunaikan kewajibanmuserta melaksanakan tugasmu……. Dan, Arjuna kau seorang Pekerja, kau hanya dapat mencapai Kesempurnaan Hidup lewat Kerja Nyata. Itulah sifat-dasarmu, kodratmu……
Sang Suami: Dalam “Nyanyian Ilahi” Percakapan Keempat disampaikan bahwa Sri Krishna berkata: Apa yang kusampaikan kepadamu bukanlah hal baru; sudah berulang kali kusampaikan di masa lalu. Dari masa ke masa, di setiap masa. Sesungguhnya kita semua telah berulang kali lahir dan mati, aku mengingat setiap kelahiran dan kematian. Kau tidak, itu saja bedanya…… Setiap kali keseimbangan alam terkacaukan, dan ketakseimbangan mengancam keselarasan alam, maka “Aku” menjelma dari masa ke masa, untuk mengembalikan keseimbangan alam…… “Aku” ini bersemayam pula di dalam dirimu, bahkan di dalam diri setiap makhluk hidup, segala sesuatu yang bergerak maupun tak bergerak. Menemukan “Sang Aku” ini merupakan pencapaian tertinggi….. Dengan menemukan jati diri, Sang Aku Sejati, segala apa yang kau butuhkan akan kau peroleh dengan sangat mudah. Berkaryalah dan Keberadaan akan membantumu…… Sesuai dengan sifat dasar masing-masing, Manusia dibagi dalam 4 golongan utama. Walau pembagian seperti itu, Tidak pernah mempengaruhi Sang Jiwa Agung. Para Pemikir bekerja dengan berbagai pikiran mereka. Para Satria membela negara dan bangsa. Para Pengusaha melayani masyarakat dengan berbagai cara. Para Pekerja melaksanakan setiap tugas dengan baik. Berada dalam kelompok manapun, bekerjalah selalu sesuai kesadaranmu. Jangan memikirkan keberhasilan maupun kegagalan.Terima semuanya dengan penuh ketenangan…… Bila kau bekerja sesuai dengan kodratmu, tidak untuk memenuhi keinginan serta harapan tertentu, maka walau berkarya sesungguhnya kau melakukan persembahan. Dan, kau terbebaskan dari hukum sebab akibat…… Tuhan yang kau sembah, juga adalah Persembahan itu sendiri. Dalam diri seorang penyembahpun, Ia bersemayam. Berkaryalah dengan kesadaran ini, dan senantiasa merasakan kehadiran-Nya