GotoBus
Showing posts with label CERITA RELIEF CANDI JAGO JAWA TIMUR. Show all posts
Showing posts with label CERITA RELIEF CANDI JAGO JAWA TIMUR. Show all posts

Renungan Tentang Perjalanan Batin Seorang Wiku Dalam Kisah Parthayajna Pada Relief Candi Jago di Jawa Timur

Renungan Tentang Perjalanan Batin Seorang Wiku Dalam Kisah Parthayajna Pada Relief Candi Jago di Jawa Timur



Pada relief dinding Candi Jago di Jawa Timur terdapat kisah Parthayajna.

Sang Istri: Pandawa mengalami babak belur dalam kehidupannya. Gara-gara Yudistira kalah dadu ditipu para Korawa, Drupadi mengalami penghinaan luar biasa. Mereka pun harus meninggalkan Hastina duabelas tahun lamanya. Bhima tidak tahan dan ingin berperang melawan Korawa tetapi Yudistira menahannya. Pamanda Widura memberi nasehat bagaimana mengatasi penderitaan dalam kehidupan. Resi Dhomya menceritakan akan datangnya zaman Kali di mana tindakan seperti yang dilakukan Suyudana akan banyak dilakukan oleh manusia. Pandawa harus hidup sebagai “Wiku”, Pertapa dan mengembalikan “Acyntia”, Dia Yang Tak Dapat Disepertikan, kembali kedalam diri mereka. Arjuna diminta bertapa di Indrakila agar mendapatkan senjata ilahi untuk mengalahkan Korawa. Akan tetapi sebelumnya diminta mohon restu dulu pada Dwipayana, Sang Kakek Pandawa…… Arjuna, harapan dunia pamit kepada keluarganya masuk hutan dengan penuh kesedihan. Arjuna sampai ke pertapaan Wanawati dan dibawa dua orang “Kili”, pertapa wanita menghadap Mahayani Sang Pendiri Pertapaan. Arjuna diberi wejangan tentang pelajaran “Hala Hayu”, buruk dan baik dalam kehidupan. Hidup di dunia hanya sementara saja sebaiknya dianggap seperti pergi wisata. Arjuna diberi pelajaran tentang sifat alam semesta. Sifat “Rajas”-dinamis, Sifat “Tamas”-lembam, malas dan sifat “Satwik”-tenang yang selalu ada dalam setiap manusia dan seluruh alam semesta. Karena sifat rajas dan tamas Yudistira kecanduan main dadu dan Pandawa babak belur menderita……. Pada waktu malam hari seorang “Kili” cantik menyatakan cinta kepada Arjuna. Arjuna menolaknya karena dia telah berhasil menguasai sifat rajas dan tamas-nya. Dalam perjalanan selanjutnya, Arjuna menghadapi hujan badai dan guntur dan melihat Dewi Pelindung Kraton Indraprastha meninggalkan kraton setelah Yudistira kalah main dadu dengan Korawa. Kemudian Arjuna melihat dirinya sedang menerima senjata dari Dewa Kirata untuk mengembalikan wahyu kraton ke tempat semula. Penglihatan tersebut membuat Arjuna bersemangat melanjutkan perjalanannya……. Selanjutnya, Arjuna bertemu dengan Dewa Kama dan Dewi Ratih yang sedang berada di tepi telaga. Arjuna mengeluh tentang sangat besarnya godaan keduniawian. Dewa Kama memberi nasehat tentang kebahagiaan. Karena sifat rajas dan tamas dari tiga guna, tiga sifat alam semesta, manusia sering lupa memaknai kebahagiaan. Dewa Kama menjelaskan tentang hakikat “Wastu”, tempat tinggal, pengendalian dan pengorbanan serta asal muasal manusia. Menjalankan pemerintahan adalah dharma para satria. Kerajaan adalah tempat pertapaan para satria. Kemudian Arjuna sadar akan swadharma-nya. Arjuna ditunjukkan arah pertapaan Dwipayana dan Gunung Indrakila. Dewa Kama mengingatkan bahwa seorang raksasa anak Bathari Durga, Nalamala akan mengajak mengadu kesaktian dengan Arjuna. Bila kalah agar Arjuna bersamadi memuja Siwa. Nalamala menampakkan diri dalam wujud Kala, dan kalah bertarung dengan Arjuna yang bersemadi memuja Dewa Siwa. Nalamala berlari dan berkata dia akan datang lagi dalam zaman Kaliyuga, kala Arjuna gelap mata dan juga akan membunuh adik-adiknya. Nalamala berarti wadah ketidakbersihan. Sang Raksasa dalam wujud Kala berarti wujud waktu yang selalu mengalahkan manusia. Saat Arjuna memusatkan diri pada keilahian maka waktu tidak dapat mengalahkannya. Pada zaman Kaliyuga, Nalamala mewujud sebagai ketiga raksasa Kertikeya yang dapat membunuh Nakula dan Sadewa dan merasuk ke dalam Arjuna yang sedang gelap mata karena ditinggal Sri Krishna…… Sang Kakek Dwipayana menyampaikan bahwa Korawa adalah inkarnasi kejahatan dan Pandawa adalah inkarnasi lima Dewa Kusika yang mendapat perintah Siwa untuk melenyapkan kejahatan. Kejahatan ada di luar dan di dalam seorang wiku dan dua-duanya harus dibersihkan. Pembersihan adalah persiapan untuk manunggal dengan Tuhan. Setelah menerima banyak nasehat, Arjuna pergi ke Indrakila dan memperoleh anugerah senjata dari Siwa yang menampakkan diri sebagai Dewa Kirata…. Sebuah perjalanan batin, seseorang yang telah babak belur dalam kehidupannya. Merasa kalah, sulit melepaskan diri dari penderitaannya. Tetapi dia mempunyai keyakinan bahwa dia tidak berdaya, tetapi Gusti Mahadaya. Dia mohon pertolongan Gusti untuk menolongnya. Ternyata Gusti memandunya, lewat tangan-tangan-Nya dalam perjalanan kehidupannya. Dia mulai memberdaya dirinya, dia mendapatkan pemahaman tentang kelemahan dan kekuatannya. Dia menjadi percaya diri dengan potensinya dalam menghadapi peperangan yang akan terjadi dalam perjalanan kehidupan selanjutnya………

Sang Suami: Dalam buku “Jaman Edan” disampaikan bahwa …….. “Wiku” sebenarnya bukan pendeta. “Wiku” berasal dari kata “Bhikshu” ia yang tidak memiliki sesuatu apa pun. Namun demikian, ia bukan seorang pengemis. Seorang Wiku telah melepaskan dirinya dari keterikatan-keterikatan duniawi, tidak terikat pada sesuatu apa pun. Bisa saja ia memiliki rumah dan kendaraan dan keluarga dan usaha, tetapi semuanya itu tidak dapat mengikat dia. Sang Cendekiawan yang masih sibuk mendirikan lembaga ini dan lembaga itu, bukanlah seorang Wiku. Mereka yang masih mengidentitaskan diri mereka dengan lembaga-lembaga tertentu, dengan kelompok-kelompok tertentu, tidak dapat disebut Wiku. Mereka yang gembira apabila dipuji, dan gelisah apabila dimaki, tidak dapat disebut Wiku. Lantas siapa yang dapat disebut seorang Wiku? Ia yang bebas dari segala macam, segala bentuk keterikatan. Hidup di tengah lumpur, tetapi tetap indah dan tidak tercemari oleh lumpur duniawi, bagaikan sekuntum bunga teratai itulah seorang Wiku. Pujangga Ronggowarsito juga memberikan ciri-ciri yang lain : Pertama tentang kesadaran Wiku. “Memuji ngesthi sawiji” dapat diterjemahkan sebagai “berdua menginginkan Yang Satu” atau “berdua pada Yang Satu” atau “Memuja, memuji Yang Satu”. Sang Wiku ini tidak akan mengidentitaskan dirinya dengan satu kelompok, apakah itu kelompok cendikiawan atau non cendikiawan, kelompok agama atau non-agama, kelompok Islam atau Hindu Atau Kristen atau Budha atau Katolik. Ia tidak terikat pada satu kelompok. Ia menyadari Keberadaan Yang Satu itu, entah kita memanggilnya Allah atau Buddha, Yehovah atau Ishwara. Ia Satu Ada-Nya. Sang Wiku menyadari hal itu. Dia tidak akan meneriakkan yel-yel, slogan-slogan yang berbau kelompokisme. Ia telah mencapai pencerahan. Ia sadar akan kesatuan Tuhan dan persatuan antarmanusia. Yang kelak akan memimpin bangsa, yang dapat memimpin bangsa, yang dapat mengantar memasuki milenia ketiga dengan rasa bangga adalah seorang Wiku seperti itu. Dia juga digambarkan sebagai seorang “Majenun” terobsesi. Apa pula yang menjadi obsesinya? Menyatu dengan Tuhan, senantiasa berada pada tingkat kesadaran tertinggi itulah obsesinya. Tentang tindakan Wiku. “Galiben tudang-tuding” berarti “mundar-mandir ke sana ke mari, sambil menunjukkan jari telunjuknya. Ia sangat menggerahkan. Ia sangat provokatif. Ia harus membangunkan kita. Ia harus menunjukkan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan selama ini. Senang atau tidak, ia akan membangunkan kita dari tidur. Hasil yang akan dicapai Wiku. “anacahken sakehing wong” berarti “menghitung orang”. Apa pula yang dihitungnya? Ia sedang menilai kita. Apabila ia harus membantu kita, maka sebelumnya ia harus melakukan penilaian kesadaran kita ini sampai mana sih?! Tidak hanya menilai, tetapi ia juga akan membantu terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri kita. Bait ini biasanya ditafsirkan dengan cara yang sangat berbeda. Syair ini dianggap mengandung angka-angka rahasia yang menunjukkan tanggal, bulan dan tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Mungkin! Tetapi, dipilih untuk menterjemahkan bait ini sebagaimana adanya. Wiku yang dimaksudkan mungkin bukan satu orang, mungkin suatu tingkat kesadaran. Yang jelas, tanpa terjadinya peningkatan kesadaran semacam ini, bangsa kita akan tetap terpecah-belah, rakyat kita tetap menderita dan pemerintahan kita tetapi tidak stabil….. Pujangga Ronggowarsito menuliskan bahwa berakhirnya “jaman edan” yang penuh dengan penderitaan ini akan ditandai dengan munculnya seorang “Wiku”……..

Sang Istri: Untuk mengetahui jatidirinya sebagai penegak dharma, pemberantas kejahatan. Untuk mengetahui dharmanya sebagai pelaku pemerintahan dan kerajaannya sebagai pertapaan, Arjuna harus mengalami laku perjalanan yang melelahkan. Dwipayana, kakeknya atau sering disebut Bhagawan Abhiyasa dan sering disebut Krishna Dwipayana menasehati bahwa kejahatan ada di luar diri dan di dalam diri, dan keduanya harus dibersihkan. Dalam kisah ini disampaikan bahwa Arjuna sudah mengalami pengalaman spiritual yang luar biasa, sehingga saat di perang Bharatayudha dalam keadaan gelisah Sri Krishna, sang Avatara mengingatkan jatidirinya….. Sri Krishna berkata kepada Arjuna, Kau tidak berperang untuk memperebutkan kekuasaan; kau berperang demi keadilan, untuk menegakkan Kebajikan. Janganlah kau melemah di saat yang menentukan ini. Bangkitlah demi bangsa, negeri, dan Ibu Pertiwi……. Kemudian untuk menemukan jatidiri, Arjuna harus berperang, berkarya sebagai seorang satria. Sri Krishna berkata, Pengendalian Diri dan Penemuan Jati Diri memang merupakan tujuan tertinggi. Namun, kau harus berkarya untuk mencapainya. Dan, berkarya sesuai dengan kodratmu……. Bila kau seorang Pemikir, kau dapat menggapai Kesempurnaan Diri dengan cara mengasah kesadaranmu saja…… Bila kau seorang Pekerja, kau harus menggapainya lewat Karya Nyata, dengan menunaikan kewajibanmuserta melaksanakan tugasmu……. Dan, Arjuna kau seorang Pekerja, kau hanya dapat mencapai Kesempurnaan Hidup lewat Kerja Nyata. Itulah sifat-dasarmu, kodratmu……

Sang Suami: Dalam “Nyanyian Ilahi” Percakapan Keempat disampaikan bahwa Sri Krishna berkata: Apa yang kusampaikan kepadamu bukanlah hal baru; sudah berulang kali kusampaikan di masa lalu. Dari masa ke masa, di setiap masa. Sesungguhnya kita semua telah berulang kali lahir dan mati, aku mengingat setiap kelahiran dan kematian. Kau tidak, itu saja bedanya…… Setiap kali keseimbangan alam terkacaukan, dan ketakseimbangan mengancam keselarasan alam, maka “Aku” menjelma dari masa ke masa, untuk mengembalikan keseimbangan alam…… “Aku” ini bersemayam pula di dalam dirimu, bahkan di dalam diri setiap makhluk hidup, segala sesuatu yang bergerak maupun tak bergerak. Menemukan “Sang Aku” ini merupakan pencapaian tertinggi….. Dengan menemukan jati diri, Sang Aku Sejati, segala apa yang kau butuhkan akan kau peroleh dengan sangat mudah. Berkaryalah dan Keberadaan akan membantumu…… Sesuai dengan sifat dasar masing-masing, Manusia dibagi dalam 4 golongan utama. Walau pembagian seperti itu, Tidak pernah mempengaruhi Sang Jiwa Agung. Para Pemikir bekerja dengan berbagai pikiran mereka. Para Satria membela negara dan bangsa. Para Pengusaha melayani masyarakat dengan berbagai cara. Para Pekerja melaksanakan setiap tugas dengan baik. Berada dalam kelompok manapun, bekerjalah selalu sesuai kesadaranmu. Jangan memikirkan keberhasilan maupun kegagalan.Terima semuanya dengan penuh ketenangan…… Bila kau bekerja sesuai dengan kodratmu, tidak untuk memenuhi keinginan serta harapan tertentu, maka walau berkarya sesungguhnya kau melakukan persembahan. Dan, kau terbebaskan dari hukum sebab akibat…… Tuhan yang kau sembah, juga adalah Persembahan itu sendiri. Dalam diri seorang penyembahpun, Ia bersemayam. Berkaryalah dengan kesadaran ini, dan senantiasa merasakan kehadiran-Nya

Renungan Tentang Tobat Dalam Kisah Kunjarakarna pada Relief Candi Jago di Jawa Timur

Renungan Tentang Tobat Dalam Kisah Kunjarakarna pada Relief Candi Jago di Jawa Timur



Sepasang suami istri sedang memperbincangkan Kisah Kunjarakarna pada relief Candi Jago di Jawa Timur. Sebuah kisah yang diambil dari kitab sastra kuno gubahan para leluhur. Mereka mencoba memaknainya dengan buku-buku Bapak Anand Krishna. Mereka mohon dimaafkan apabila terdapat pemaknaan yang tidak seharusnya.

Sang Istri: Kunjarakarna, seorang Raksasa ingin menjadi seorang manusia di kehidupan berikutnya. Dia berupaya menemui Wairocana untuk mendapatkan restunya. Oleh Wairocana dia diminta menuju ke tempat Dewa Yama, Sang Dewa Neraka. Kunjarakarna melihat gunung-gunung membara berpintu besi. Juga menyaksikan pohon-pohon berdahan pedang dan burung-burung bersayap belati. Nampak Panglima Kingkaras menghajar roh-roh manusia berdosa. Kunjarakarna kemudian mendapat penjelasan tentang neraka oleh Dewa Yama. Kunjarakarna bertanya tentang ketel besar yang sedang dipersiapkan untuk menghukum roh manusia. Dewa Yama menyampaikan bahwa ketel tersebut diperuntukkan bagi Bidadara Purnawijaya, yang dalam waktu dekat akan meninggal dunia. Purnawijaya akan berada dalam ketel panas tersebut selama 100.000 tahun lamanya. Kunjarakarna kaget karena Purnawijaya adalah salah seorang sahabatnya yang tinggal di surga di mana dia ingin hidup seperti Purnawijaya yang nampak hidup berbahagia. Setelah selesai menimba pelajaran dari Dewa Yama, Kunjarakarna tidak kembali ke Wairocana, tetapi menemui Purnawijaya…… Purnawijaya kaget dan berada dalam depresi nyata. Mereka berdua kemudian menuju tempat Wairocana. Kunjarakarna menghadap Wairocana dan mendapatkan pelajaran tentang kesempurnaan hidup yang sangat berharga. Setelah Kunjarakarna mohon diri, kemudian Purnawijaya menghadap Wairocana dengan segenap penyesalan atas tindakan-tindakan yang pernah dilakukannya. Setelah mendapatkan pelajaran dari Wairocana, Purnawijaya semakin terbuka dan bertekad tidak akan mengulangi kesalahannya. Permohonan Purnawijaya agar tidak mendapatkan siksa neraka tidak dapat dipenuhi. Dia akan mengalami siksaan neraka dalam mimpinya selama sepuluh hari. Setelah pulang dari Wairocana dia menemui istrinya agar sewaktu dia meninggal selama sepuluh hari jasadnya dijaga. Selesai sudah sepuluh hari meninggalnya Purnawijaya dan sang istri merasa berbahagia, karena mengira mereka akan hidup seperti sedia kala. Purnawijaya kemudian berkata bahwa dia bersama Kunjarakarna akan pergi ke Gunung Semeru, kemudian sang istri pun mengikutinya……. Konon ketel mendidih tersebut hancur lebur sewaktu roh Purnawijaya dilemparkan ke dalamnya. Bahkan muncul sebatang pohon surga dengan kolam teratai yang amat indahnya. Para pengawal Neraka segera lapor kepada Dewa Yama. Purnawijaya pun menceritakan pertemuannya dengan Wairocana. Semua dewa pun datang bersamaan menanyakan apa yang terjadi kepada Dewa Yama. Para dewa kemudian menghadap Wairocana dan mendapat penjelasan tentang Kunjarakarna dan Purnawijaya. Para dewa kemudian kembali ke alam surga…….

Sang Suami: Atas “blessing” Wairocana, siksaan yang seharusnya dialami Purnawijaya selama 100.000 tahun hanya dialami selama 10 hari dalam mimpinya. Dalam mimpi pikiran bergerak demikian cepatnya. Peristiwa yang makan waktu lama di alam fisik bisa saja dialami dalam alam mimpi sebentar saja. Waktu adalah relatif……Kecepatan cahaya adalah sekitar 300.000 km per detik. Jika kita bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka benda-benda yang bergerak nampak bergerak perlahan. Ketika kecepatan gerakan kita sama dengan kecepatan cahaya maka benda yang bergerak akan nampak diam. Kecepatan waktu diasumsikan mempunyai kecepatan yang sama dengan kecepatan cahaya. Berdasarkan hal tersebut, maka jika kita bergerak melebihi kecepatan cahaya maka kita kita bisa pergi ke masa depan atau masa lalu. Atas dasar itulah film-film fiksi masa lalu dan masa depan dibuat…….. Dalam kitab Vasishta Yoga ada kisah tentang Ratu Leela. Dewi Saraswati menjelaskan kepada Ratu Leela ada 3 jenis “akash”, yaitu “bhutakash”- tahap elemen seperti yang terjadi di dunia fisik, “chitakash”- tahap mental pikiran yang terjadi di alam pikiran, dan “chidakash”- tahap kesadaran yang ada di dalam alam kesadaran. Dewi Saraswati menjelaskan bahwa alam chidakash adalah konsep pemahaman pikiran saja. Sebagai ilustrasi Dewi Saraswati menyampaikan bahwa delapan hari di Chidakash adalah 40.000 tahun di dunia. Memori bukanlah suatu unsur, memori adalah nama lain dari pemahaman pikiran, sankalpa dan merupakan salah satu akash jalan pikiran. Memori hanyalah sebuah refleksi, sankalpa. Seandainya memori hanyalah sebuah sankalpa atau akash, maka alam semesta ini pastilah sankalpa juga……. Dalam buku “Shambala” juga diberikan ilustrasi bahwa 1 menit di Shambala sekitar 5 tahun di bumi. Sehingga seseorang yang berada di Shambala bisa melihat masa lalu sampai masa depan…….. Atas “blessing” Sang Wairocana, seseorang yang menderita karma siksaan dalam mimpi sudah setara dengan karmanya yang seharusnya lama dialami di dunia.

Sang Istri: Kecepatan cahaya adalah sekitar 300.000 km per detik. Kecepatan suara yang terdengar telinga sekitar 344 m/detik. Kecepatan lari manusia sangat lambat dibandingkan dengan kecepatan suara yang keluar dari mulut manusia. Kecepatan suara manusia tidak dapat melawan kecepatan daya lihat dari mata manusia. Daya lihat manusia merupakan daya tangkap dari kecepatan cahaya. Kecepatan pikiran manusia jauh melampau kecepatan cahaya. Dimana daya pikir manusia dapat menampakkan berbagai gambaran dalam sekejap. Walaupun kecepatan pikiran sudah sedemikian cepatnya, ternyata masih ada yang jauh melampau kecepatan pikiran manusia yaitu kesadaran sejati. Sebelum segala gambaran pikiran timbul, kesadaran sejati telah ada jauh sebelumnya. Sehingga kesadaran sejati tidak dapat diperdaya oleh gambaran dan kemelekatan pikiran yang timbul. Dalam mimpi kita berada dalam alam pikiran, maka waktu berjalan begitu cepatnya…..

Sang Suami: Purnawijaya belum sadar bahwa sebuah kesalahan besar dari tindakannya di dunia akan berakibat menderita di dunia selama banyak kehidupan yang digambarkan berada dalam keadaan ketel mendidih selama 300.000 tahun. Sebuah kebiasaan yang sudah menjadi pola pikiran bawah sadar, mengakibatkan synap saraf yang hampir permanen sehingga sulit mengubahnya dan terbawa dalam kelahiran berikutnya. Tanpa perjuangan untuk mengubah diri, pola tersebut akan terbawa dalam banyak kehidupannya. Dalam Srimad Bhagavatam digambarkan seseorang yang suka selingkuh akan dimasukkan dalam air kencing wanita yang mendidih. Dapat dimaknai dia harus lahir dari banyak rahim wanita sampai lenyap kebiasaan jeleknya. Dan selama itu dia akan mengalami suka dan duka tak berkesudahan akibat tindakannya. Hanya tobat, tidak mengulangi tindakan lama yang dapat mempercepat proses sebab-akibatnya dan itulah yang dijalani oleh Purnawijaya……

Sang Istri: Kunjarakarna mendapat pelajaran tentang hukum karma dan diteruskan kepada Purnawijaya. Itulah yang mendorong mereka untuk melakukan tobat, tidak mengulangi kesalahan mereka……. Ada yang lahir dalam keluarga kaya. Ada yang lahir dalam keluarga miskin. Ada yang lahir sehat, ada yang cacat. Apa sebabnya? Apabila kita percaya bahwa Tuhan Adalah Maha Adil, bahwa Tuhan Adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, lantas kenapa ada yang berbuat baik, tetapi menderita terus? Lantas ada pula yang berbuat jahat, tetapi berjaya terus? Ada yang mengatakan, “Tuhan sedang menguji mereka”. Ujian macam apa? Apabila betul ujian, maka sangat tidak adil. Ada yang duji, ada yang tidak diuji. Kita harus meninggalkan konsep-konsep semu, dan berani menerima sesuatu yang baru. Apabila kita belum berani menerima sesuatu yang baru, dan masih nyaman dengan dogma-dogma lama, ilmu yoga atau penyatuan tidak cocok untuk kita. Hukum Karma berarti hukum sebab-akibat. Setiap sebab akan berakibat. Kehidupan kita sekarang ini merupakan akibat dari kehidupan yang lalu. Perilaku kita dalam hidup ini akan menentukan kehidupan kita berikutnya……..

Sang Suami: Tobah atau Taubah berarti kembali kepada Diri Sendiri, itulah arti kata “tobah”, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Yunani menjadi metanoia. “Kembali kepada Diri Sendiri” berarti secara sadar mengembalikan segala persoalan kepada diri sendiri; bertanggung jawab atas segala perbuatan, ucapan, serta pikiran kita. Tobah berarti “bertobat”, dan “bertobat” bukan sekedar penyesalan atas suatu tindakan yang salah, tetapi juga upaya nyata untuk membenahi diri, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, dan bertanggung jawab atas kesalahan yang sudah terjadi. Tidak perlu mencari pembenaran, tidak usah mencari kambing hitam. Menghadapi musibah dan kesulitan seberat apapun seorang Sufi tak akan mengeluh: “Tuhan, di mana Kau?” Ia tidak arogan, “Oh, Tuhan sedang menguji saya.” Ia tidak gampang menyerah, ”Demikianlah takdir saya,” Ia akan selalu kembali pada diri sendiri, “Apa yang terjadi, karena perbuatanku sendiri. Aku pula yang harus memperbaikinya.” Demikian diuraikan dalam buku “Haqq Moujud”.

Sang Istri: Dalam buku “Kidung Agung” disampaikan bahwa taubah juga berarti membelok. Nafsu tidak pernah mati, maka harus dikendalikan; mesti ditarik dari dunia dan keduniawian, kemudian diarahkan ke Allah dan keilahian. Proses pengarahan nafsu kepada Tuhan dan ketuhanan itulah spiritualitas. Itulah meditasi. Dalam bahasa-bahasa Timur Tengah itu disebut taubah, atau membelok, kembali. Maksudnya: kembali pada diri sendiri, karena itulah kerajaan-Nya; di sanalah Ia bersemayam…….

Sang Suami: Kunjarakarna bersama Purnawijaya dengan istrinya sadar dan melakukan perjalanan ke Gunung Semeru. Perjalanan ke Gunung Semeru adalah perjalanan menaikkan kesadaran, menuju puncak kesadaran. Setelah sadar Kunjarakarna bersama Purnawijaya dan istrinya meninggalkan pola kebiasaan lama dan menempuh hidup baru dengan penuh kesadaran mereka. Mereka akan mengendalikan diri terhadap dorongan kebiasaan pola lama mereka. Mereka menjadikan pengendalian diri sebagai tujuan hidup mereka………. Bersungguh-sungguhlah untuk mengupayakan pengendalian diri, kemenangan akan selalu ada di genggaman, dan kesempurnaan dalam hidup ini akan dapat diraih. Jadikanlah pengendalian diri sebagai kebiasaan, maka perangkap dunia yang ilusif ini tidak akan membelenggu kita. Dunia yang saat ini ada, dan sesaat kemudian tidak ada, ini tidak akan memerangkap kita. Pengendalian diri adalah kekuatan. Bila berhasil mengendalikan diri, kita akan dapat mengendalikan kekerasan dan ketakberesan di luar diri. Orang yang berhasil mengendalikan dirinya tak akan terkendali oleh orang lain. Ia tidak bisa dibeli, tidak bisa digoda, tidak bisa dirayu. Ia memiliki kepercayaan diri yang luar biasa. Jadilah orang itu. Demikian disampaikan buku “Be The Change”.

Sang Istri: Ada petuah dari buku “Be the Change” yang perlu kita perhatikan…… Dari zaman ke zaman, ajaran-ajaran luhur pun perlu dimaknai kembali, dikonstektualkan. Kebiasaan-kebiasaan lama mesti diuji terus apakah masih relevan, masih sesuai dengan perkembangan zaman. Ah, tapi kita malas. Kita tidak mau berijtihad, berupaya, lalu menerima saja apa yang disuapkan kepada kita. Padahal kitab-kitab suci pun melarang kita mengikuti seseorang secara membabibuta, walaupun orang itu rahib atau mengaku sebagai agamawan atau rohaniwan