Candi Sukuh Peninggalan Leluhur dari Majapahit di Lereng Gunung Lawu
Gambaran Sekilas Candi Sukuh
Candi Sukuh terletak di lereng Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut. Candi tersebut terletak di desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 9 kilometer dari kota Karanganyar dan 34 kilometer dari Surakarta. Candi Sukuh dianggap sakral oleh sebagian masyarakat.
Luas areal candi Sukuh ± 5.500 meter persegi dengan tata letak bangunan memusat ke belakang, bertingkat yang terdiri dari tiga halaman teras. Halaman teras pertama lebih rendah dari teras kedua dan ketiga, disebut dengan Jaba. Halaman teras kedua disebut Jaba Tengah, sedang halaman teras ketiga disebut Jeron. Untuk memasuki Jaba harus melewati gapura Cangapit. Untuk menuju Jaba Tengah dan Jeron harus melalui gapura Sela Setangkep. Candi induk berupa piramid terpancung.
Banyak pengunjung Candi Sukuh tertarik dengan segala macam pernak-pernik seks yang membuat Candi Sukuh terkenal ke seluruh dunia. Pahatan batu perangkat seks itu merupakan simbol dari Energi Feminin dan simbol dari Energi Maskulin, simbol dari Energi Yin dan Yang. Patung Lingga dan Yoni tersebut adalah jalur energi Ilahi di tubuh manusia. Candi Sukuh adalah sebuah Buku Terbuka, An Open Book. Candi yang berisikan pelajaran spiritual tingkat tinggi.
Ziarah ke Candi Sukuh
Pada tanggal 2 bulan 11 tahun 2008, rombongan teman-teman AKC Joglosemar bersama Bapak Anand Krishna ziarah ke Candi Sukuh. Rombongan disambut hujan deras ketika masuk gerbang Sukuh. Setelah seluruh teman-teman disirami air hujan dari Gunung Lawu dan hujan mulai reda, rombongan mulai memasuki Candi mulai dari pintu ujung. Dika diminta mencari buku tentang Candi Sukuh dan mendapatkan satu buku yang disusun seorang penulis bernama Haryono. Setelah menyampaikan buku, kemudian Dika ingat orang yang memberikan buku tersebut bernama Haryono. Akhirnya Pak Haryono, Penyusun Buku tersebut menjadi pemandu rombongan dan menjelaskan tentang Candi Sukuh.
Pak Haryono menjelaskan ada 9 buku terhampar di Candi Sukuh dan beliau harus memeras otak untuk berpikir terbalik, menjelaskan dimulai dari buku 9 sampai ke buku 1, suatu hal yang tidak menjadi kebiasaannya. Pada waktu penjelasan di depan relief Sudamala, langit menjadi terang, sinar matahari menyengat. Beliau sempat berkomentar selama 32 tahun peristiwa lengkap yang dimulai dari kabut tebal, hujan lebat dan sinar matahari menyengat yang dialami rombongan belum pernah terjadi. Di antara rombongan ada yang mendapat berkah kata pak Haryono. Bapak Anand Krishna berkomentar semuanya mendapat berkah.
Ramuan informasi dari beberapa situs internet
Pada Gapura Pertama, Buku Pertama menurut Pemandu, terdapat sangkala, penanda dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta mangan wong. Jika dibahasa Indonesiakan artinya adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna Gapura = 9, Raksasa = 5, Mangan = 3, dan Wong = 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi. Candrasengkala di atas menunjukkan tahun pendirian candi dimasa-masa ahir kekuasaan Majapahit. Gapura pertama itu sempit sekali, dan dipagar. Di atas lantai dalam gapura yang dipagar dan pengunjung tidak boleh menginjak tersebut terdapat simbol lingga dan yoni yang terpahat dengan sangat artisik dan indah luar biasa.
Teras Kedua, bagian Jaba Tengah lebih tinggi daripada teras pertama dengan pelataran yang lebih luas. Gapura Kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang arca yang mirip arca jaman pra sejarah. Di latar pojok belakang dapat dijumpai seperti jejeran tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi. Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita berdiri di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai “ububan”,peralatan untuk mengisi udara pada pande besi. Pada bagian tengah terdapat relief yang menggambarkan Ganesya dengan tangan yang memegang ekor. Ini merupakan salah satu penanda yang rumit yang dapat dibaca : Gajah Wiku Anahut Buntut, dapat ditemui dari sengkalan ini tahun tahun 1378 Saka atau tahun 1496 M. Relief pada sebelah kanan menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau.
Teras Ketiga, bagian Jeron merupakan teras tertinggi dan paling suci. Candi Sukuh memang dibuat bertingkat-tingkat semakin ke belakang semakin tinggi. Berbeda dengan umumnya candi-candi di di Jawa Tengah yang berbentuk bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya sebagai tempat yang paling suci, Candi Sukuh mengetengahkan halaman candi dengan banyak bangunan, dan semakin ke dalam semakin naik dan semakin suci. Di bagian Jeron terdapat jalan setapak dan disebelah kiri jalan setapak terdapat dua buah dinding batu dengan relief yang menggambarkan kisah SUDAMALA. Yaitu kisah Batari Uma yang dikutuk Batara Guru, Dewa Siwa menjadi Batari Durga yang berparas jelek. Sadewa putera bungsu dari Pandawa diikat pada sebuah pohon dan dikorbankan sebagai tumbal untuk Batari Durga. Dengan Bantuan Batara Guru, Dewa Siwa, Sadewa berhasil meruwat dan membebaskan Batari Durga dari kutukan dan kembali kewajah aslinya sebagai seorang bidadari.
Sebetulnya prosesi ruwatan sudah dimulai ketika memasuki Gapura Pertama, dan makin lama semakin “dalam” ruwatannya. Ruwatan adalah salah satu adat Jawa yang tujuannya untuk membebaskan orang, komunitas atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti acara ruwatan adalah prosesi memohon perlindungan pada Yang Maha Kuasa dari ancaman bahaya-bahaya seperti bencana alam dll. Dapat juga sebagai prosesi mohon pengampunan kesalahan yang telah dilakukan yang bisa menyebabkan bencana. Ruwatan memiliki makna mengembalikan keadaan sebelumnya, suatu keadaan yang baik, atau menuju keseimbangan. Sebaiknya Nusantara dengan sebagian masyarakat yang sudah lupa jatidirinya, sebagian besar masyarakat yang menjadi silent majority dan para elite yang terjebak dalam comfort zone perlu diruwat agar Nusantara keluar dari kegelapan dan kembali ke masa kejayaan.
Di sebelah kanan kedua dinding relief SUDAMALA terdapat relief ”Bimo Bungkus” yang mengkisahkan ruwatan versi Mahabharata. Relief Batara Guru, Dewa Siwa terletak di sebelah kanan dan Bima di sebelah kiri. Bima yang lahir dari rahim Kunthi dengan Pandu membuat gempar, karena putra kedua Pandu itu berujud bungkus yang sulit dibuka. Atas kejadian ini Betara Guru, Dewa Siwa mengutus Gajahsena, Ganesya, putranya untuk memecahkan bungkus Bima. Usaha tersebut berhasil dan diberikannya pakaian khusus pada Bima yang kemudian diberi nama Bratasena. Paparan kisah Bima Bungkus pada relief ini inti ceritanya yaitu terbebasnya Bima dari ancaman kematian, karena lahir terbungkus ari-ari yang tidak dapat pecah. Ganesya menolong meruwat Bima hingga dilahirkan.
. Ada juga patung seperti obelisk di Mesir, yang menyiratkan cerita Garudeya. Cerita Garudeya merupakan cerita “ruwatan” pula. Ceritanya adalah bahwa Garuda mempunyai ibu bernama Dewi Winata yang menjadi budak salah seorang madunya yang bernama dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena kalah bertaruh tentang warna ekor kuda Uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berujud ular naga yang berjumlah seribu menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda Uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubah hitam Dewi Winata dapat diruwat sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” air kehidupan kepada Batara Guru, Dewa Siwa.
Di sebelah kiri jalan setapak terdapat Arca Garuda dua buah berdiri dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai tahun saka 1363. kedua arca tersebut hilang kepalanya. Menurut cerita, pada waktu Raja Brawijaya terakhir mengungsi ke Sukuh di lereng Gunung Lawu, pasukan Kediri mengejar mereka, Raja Brawijaya menyingkir ke puncak Gunung Lawu dan akhirnya diberi gelar Sunan Lawu dan moksa di sana, menjadi penguasa Gunung Lawu. Sedangkan pengikut Brawijaya menyingkir ke sekitar daerah Sukuh. Pasukan Kediri yang marah memenggal kepala kedua Garuda tersebut. Kepala melambangkan Brahma, pencipta, pikiran. Anggota badan bagian tengah melambangkan Wisnu, pemelihara dan perut ke bawah melambangkan Siwa, pendaur ulang. Konon dengan terpenggalnya kepala Garuda terkutuklah anak keturunan Majapahit sehingga mereka hidup dalam kebodohan, tanpa pikiran jernih. Mereka harus diruwat agar mendapatkan pikiran jernih kembali. Lambang Garuda Pancasila penting untuk membangkitkan pikiran jernih, sayang masyarakat kurang paham bahkan ada yang ingin menggantinya dengan lambang langit yang lain.
Pada teras ketiga ini juga terdapat Patung Kura-Kura besar di depan candi yang merupakan symbol dari Awatara Visnu, yaitu KURMA AWATARA. Dewa Wisnu mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran. Sang Kura-Kura sebagai perwujudan dewa Wisnu (pemelihara dunia) menjadi tempat tumpuan membantu para dewa memutar dan mengaduk-aduk samodra dengan gunung Mandara, untuk mendapatkan TIRTA AMERTA (air kehidupan). Barang siapa entah itu manusia, dewa, raksasa, asura meminum air kehidupan itu maka ia akan terbebas dari kematian dan mengalami hidup dalam keabadian. Arca kura-kura yang cukup besar tersebut berjumlah tiga ekor yang konon melambangkan 3 dunia.
Pada sebelah kanan jalan batu terdapat terdapat candi kecil, yang di dalamnya terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh penguasa ghaib kompleks candi tersebut. Menurut Pak Haryono, apabila dapat memotret candi dan dari dalam candi kecil tersebut keluar sinar, maka yang memotret sudah spiritual. Hasil jepretan Ma Upasana nampak ada sinar di dalam dan dibandingkan dengan jepretan awal yang tidak ada sinarnya kelihatan perbedaannya dengan jelas.
Pada pelataran itu juga terdapat meja persembahan dari tumpukan batu dengan tinggi 85 cm. Candi induk dapat dinaiki dengan tangga yang cukup curam, dan di atasnya terdapat tempat datar yang cukup luas.
Dari relief, obelisk dan arca di candi Sukuh, banyak didapati symbol-symbol seksual. Symbol-symbol tersebut mengarahkan kita pada suatu aliran penganut paham Tantrayana.
Penjelasan Tantra dalam buku “Jalan Kesempurnaan Melalui Kamasutra”
Tantra merupakan suatu revolusi dalam bidang spiritual. Tantra berarti latihan, eksperimen atau cara – bereksperimen dengan energi yang berada dalam diri kita sendiri, yang selama ini kita sebut energi seks, untuk meningkatkan kesadaran kita. Itulah tujuan Tantra. Para pemuka agama cenderung memisahkan yang duniawi dan rohani. Walaupun kadang-kadang tidak secara eksplisit, tidak dengan terbuka, tetapi secara implisit, hal-hal yang bersifat duniawi dipisahkan dari hal-hal yang dianggap bersifat rohani. Itulah sebabnya, selama bertahun-tahun pembicaraan tentang seks saja dianggap tabu. Para pendidik agama yang seharusnya juga berfungsi sebagai pendidik dalam bidang seka, tidak pernah bicara tentang seks.
Pendirian Tantra lain. Menurut ajaran-ajaran Tantra, Anda tidak usah melepaskan yang duniawi untuk mencapai kesadaran rohani. Yang duniawi dan rohani bisa jalan bersama. Dunia merupakan anak tangga yang dapat mengantar Anda ke puncak kesadaran rohani. Bagaimana Anda dapat meninggalkan dunia ini? Seorang yang dapat mencapai kesadaran spiritual adalah seorang yang sudah puas dengan segala sesuatu yang bersifat duniawi. Kalau belum puas, kalau masih ada obsesi terhadap benda-benda duniawi, Anda tidak akan berhasil meningkatkan kesadaran Anda.
Dari Napsu Birahi ke Kasih Ilahi, dicuplik dari Buku Jalan Kesempurnaan melalui Kamasutra
Seks mengawali kehidupan manusia. Seks merupakan sesuatu yang paling mendasar dalam kehidupan kita. Hubungan seks antara kedua orang tua kita melahirkan kita. Kesadaran seks berpusat pada bagian tubuh di bawah pusar. Di atas pusar, sekitar jantung, dada kita merupakan pusat kesadaran cinta. Cinta berkembang di situ. Emosi mulai bergejolak di situ. Anda harus meningkatkan kesadaran Anda sedikit – dari bawah pusar ke atas pusar. Selama kesadaran Anda masih di bawah pusar, Anda belum dapat mengenal cinta. Yang Anda kenal selama ini, hanyalah napsu birahi. Paling atas, sekitar kepala kita, merupakan bersemayamnya Kasih. Demikianlah tingkatan kesadaran setiap manusia. Tingkat awal adalah seks, tengah adalah cinta dan atas adalah kasih. Passion, love, and compassion.
Pembagian yang saya lakukan ini berdasarkan pusat-pusat energi yang mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Ini disebut cakra – lingkaran-lingkaran energi. Sentra-sentra energi yang berada di sekitar pusar, dada dan kepala merupakan sentra-sentra energi penting sekali, yang dapat meningkatkan kesadaran manusia.
Napsu atau passion hendaknya tidak selalu dikaitkan dengan seks. Obsesi dengan harta atau kekayaan, dengan nama atau ketenaran dan dengan jabatan atau kedudukan semuanya adalah passion , napsu. Semuanya ini terjadi apabila kita belum mengalami peningkatan kesadaran. Mereka yang terobsesi oleh seks, oleh harta, oleh nama, oleh jabatan tidak akan mengalami cinta dalam kehidupan. Mereka belum tahu cinta itu apa.
Kasih atau compassion adalah birahi terhadap alam semesta. Bila napsu seseorang dapat ditingkatkan menjadi birahi terhadap alam semesta, Anda adalah seorang pengasih. Compassion berarti passion terhadap alam semesta, terhadap Tuhan, terhadap yang abstrak, Yang Tak dapat dijelaskan. Apabila Anda mengasihi setiap makhluk – segala sesutau yang ada dalam alam ini – apabila Anda mengasihi alam semesta ini, Anda adalah seorang Buddha, seorang Mesias.