Kurma Avatara Kisah Spiritual dari Patung Kura-Kura di Candi Sukuh
Bila kita masih ingin hidup “utuh” sebagai Orang Indonesia, kita harus menerima “keutuhan” bangsa serta budaya kita. Kita harus kembali pada mitos-mitos yang telah menjadi “akar budaya” kita, budaya Nusantara yang “mengutuhkan”! Budaya Nusantara yang masih mampu mempersatukan kita dan menyuntiki kita dengan semangat baru untuk menghadapi dan memecahkan setiap persoalan bangsa. *
Menggali budaya Nusantara yang telah lama tertutup ketidak-tahuan tentang jati diri
Revolusi berarti Re-Evolusi. Menggelindingkan kembali Roda Evolusi yang seakan berhenti sekian lama. Dan, Evolusi berarti Perkembangan, Pertumbuhan, Kemajuan… Revolusi Spiritual adalah Perkembangan Nilai-Nilai Spiritual, Nilai-Nilai Batiniah dalam diri kita sendiri. Kita harus mati dan bangkit kembali. Mati sebagai individu yang tidak mengenal sejarah, tidak menghargai leluhur, tidak apresiatif terhadap budaya asal dan tergantung pada segala yang berasal dari luar. Dan, bangkit kembali sebagai Manusia Indonesia yang Utuh… Manusia Modern yang berakar pada Budaya Asal dan Sejarah Masa Lalu yang Gemilang, namun tidak hidup dalam masa lalu… la hidup dalam masa kini, dan bekerja untuk Masa Depan yang lebih Cemerlang! *
Pertarungan antara kelompok Kebenaran dan Ketidakbenaran, selalu terjadi di alam ini dan juga selalu terjadi di dalam diri. Tidak ada hal baru di alam ini, hampir semuanya merupakan pengulangan. Tentu saja dengan setting yang berbeda, karena alam ini selain berputar kembali, berdaur ulang, juga berevolusi kearah penyempurnaan. Penyempurnaan juga berarti penyempurnaan kualitas pertarungan dan bahkan lebih rumitnya latar belakang. Pertarungan dengan para teroris pun menjadi tema dunia saat ini.
Kisah-kisah leluhur pada zaman dulu pun tetap dapat diambil hikmahnya pada saat ini. Kerjasama antara Kebenaran dan Ketidakbenaran pun pernah diambil oleh para pemimpin. Tetapi hasilnya adalah ketidakbenaran semakin menancapkan akarnya dan semakin rumit melawannya. Bagaimana pun Ketidakbenaran selalu akan dikalahkan Kebenaran.
Pendidikan tanpa kesadaran, amnesia terhadap budaya sendiri, pengagungan budaya lain, pemahaman tentang keyakinan yang dibuat oknum yang membelenggu sehingga tanpa sadar banyak orang sudah menjadi budak keyakinan yang manut saja digerakkan, semuanya harus diperbaiki. Sudah saatnya mereka yang sadar bersuara. Kejadian memalukan teror bom di negeri ini telah terjadi berkali-kali. Kita secara sadar telah tak peduli dan ikut membiarkan. Sudah saatnya ‘silent majority’ bersuara demi negeri tercinta…….
Adiparwa adalah buku pertama atau bagian pertama dari kisah Mahabharata. Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah mengenai nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa muda Korawa dan Pandawa. Dalam Adiparwa juga terdapat kisah-kisah lain, seperti Kisah Baghawan Dhomya dengan tiga muridnya, Kisah Bhakti Burung Garuda bhakti dan Kisah Kurma Avatara.
Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa Sansekerta. Pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa (991-1016) yang memerintah di Kerajaan Medang, kitab ini telah disalin ke dalam Bahasa Jawa Kuna.
Seribu tahun yang lalu, para leluhur kita sudah terbiasa membaca kisah ini dan pada tahun 1437 kisah ini telah dipahat sebagai patung kura-kura di candi Sukuh.
Kerjasama antara Dewa dan Asura
Peperangan antara Dewa dan Asura, antara kebaikan dan kejahatan selalu terjadi sejak awal kehidupan. Bahwa ada Asura yang baik dan berkesadaran tinggi seperti Prahlada, membuktikan bahwa benih potensi kebaikan pun ada dalam diri tiap Asura. Menjaga kesadaran dan membuang pola lama harus terus dilakukan agar kesadaran tetap terjaga. Bali cucu Prahlada, memiliki potensi kebaikan, akan tetapi pada saat itu potensi kebaikan tersebut masih tertutup belenggu pola lama.
Dan terjadilah beberapa kali pertempuran antara Dewa dipimpin Indra dan Asura dipimpin Bali.
Para Dewa menghadap Wisnu yang berkuasa sebagai pemelihara alam. Mereka mohon petunjuk bagaimana caranya agar mereka dapat terus hidup dalam melawan ketidakbenaran. Wisnu memberi petunjuk kepada para Dewa, agar mereka mengadakan gencatan senjata dahulu dengan para Asura. Mereka perlu mendapatkan Amerta, obat yang melindungi diri dari kematian. Untuk itu samudera harus diaduk. Gunung Mandaragiri dapat di jadikan alat pengaduk dan ular raksasa Vasuki dijadikan sebagai tali pengikat gunung. Para Dewa harus bekerja sama dengan para Asura, tidak dapat bekerja sendiri. Para Dewa harus mendapatkan Amerta yang akan keluar dari samudera. Pertama kali akan keluar racun Kalakuta, setelah itu keluar beberapa hal lainnya. Janganlah ngotot, apabila ada benda yang diminta para Asura agar diberikan saja, fokus pada Amerta.
Para Asura setuju untuk mengadakan gencatan senjata dan bekerjasama demi mendapatkan Amerta. Hanya sebetulnya yang berada di benak para Dewa dan para Asura lain. Para Dewa ingin mendapatkan Amerta bagi keabadian dalam menegakkan dharma, sedangkan para Asura ingin mendapatkan keabadian dalam kenikmatan indera dan pikiran. Sebagaimana yang terjadi dalam persaingan antara dua kelompok, mereka telah menyiapkan alternative plan untuk merebut Amerta dari tangan saingannya.
Hikmah dari petunjuk Wisnu
Pertama, Wisnu telah memberi pelajaran kepada para Dewa dan para Asura bahwa untuk mencapai tujuan mereka perlu bekerjasama, bergotong-royong. Pelajaran tersebut perlu dihayati oleh bangsa Indonesia.
Gotong-royong tidak sama dengan amal saleh atau dana-punia atau charity. Gotong-royong bukanlah pemberian sedekah. Semua ini hanya menyuburkan benih-benih kelemahan dan ketakpercayaan diri dalam diri para penerima, dan keangkuhan dalam diri para pemberi. Biarlah mereka yang berjiwa lemah mengartikan Gotong-royong seperti itu. Mereka yang berjiwa kuat, atau setidaknya menginginkan kekuatan jiwa tidak boleh hidup dengan belaskasihan orang. Tidak boleh menjadi beban bagi siapa pun. Gotong-royong berarti memikul bersama beban negara dan bangsa ini. Dan, untuk memikul beban yang berat itu, kita semua harus menjadi kuat. Harus memberdayakan diri. Harus memiliki nyali dari baja dan otot dari besi. Syaraf-syaraf kita harus lebih dahsyat dari jaringan listrik dengan kekuatan setinggi apa pun. *
Kedua, Wisnu memberi pelajaran, Yang Maha Kuasa tidak memberikan ‘buah matang instan’ seperti yang diminta makhluknya, Dia akan memberikan benih. Makhluknya harus berdaya-upaya untuk menumbuh-kembangkan biji anugerah-Nya menjadi buah yang matang.
Menurut pendapat pribadi, kasta bukan berdasarkan keturunan, bukan pula sepenuhnya berdasar sifat pekerjaannya. Sudra masih sepenuhnya tergantung, mind digunakan sedikit. Weisya, menggunakan mind sebagai alat untuk hidup mandiri, tentu saja keuntungan masih menjiwai tindakannya. Ksatriya, mendahulukan dharma, tidak hanya untung rugi mind belaka. Brahmana, sudah mengetahui semua ini hanya ilusi duniawi, hanya memberi kan ilmu dengan penuh kasih dan penuh kebijakan.
Dalam setiap profesi kita dapat menjadi Brahmana, tetapi lingkungan memang mempunyai pengaruh yang besar. Profesor yang mengelola universitas atas dasar untung rugi, belum menjadi Brahmana. Pengusaha yang mendharma-bhaktikan hartanya bagi penegakan dharma sudah menjadi Ksatriya, bahkan ketika dia mendirikan sekolahan demi tujuan meningkatakan kesadaran dia telah menjadi Brahmana.
Munculnya Kurma Avatara
Pertama kali para Dewa memegang kepala Vasuki yang membelit gunung dan ekornya dipegang para Asura. Para Asura tersinggung , merasa martabatnya direndahkan maka mereka meminta yang memegang kepala. Para Dewa menuruti kemauan para Asura.
Kendati demikian gunung tersebut tenggelam di samudera karena beratnya. Sang Pemelihara Alam mewujud sebagai kura-kura raksasa, Kurma Avatara. Bertindak sebagai penyangga dibawah gunung. Banyak yang tidak tahu mengapa gunung tersebut tidak tenggelam lagi. Akibatnya luar biasa, semuanya merasa bersemangat, bekerjasama, bergotong-royong.
Dia merasuk ke semua makhluk dan membuat semua makhluk merasa bersemangat. Dia adalah gairah yang berada dalam hati Gunung Mandaragiri. Dia adalah ketidak tahuan Vasuki. Dia juga merupakan sifat alami Asura. Dia juga adalah sifat kelembutan Dewa.
Setelah beberapa lama, Vasuki ngos-ngosan dan dari mulutnya keluar asap, para Asura yang memegang kepala tidak kuat. Wisnu datang sebagai hujan dan angin sepoi-sepoi dan membawa asap dengan angin. Semua makhluk merasa ditolong Tuhan. Memang demikian. Tetapi bukan berarti hanya dia yang dicintai dan ditolong-Nya. Dia tidak membeda-bedakan. Semuanya sejatinya adalah Dia, hanya mind lah yang membuat merasa terpisah.
Samudera di aduk terus dan seakan-akan nampak sebagai susu. Muncul racun Kalakuta. Udara menjadi beracun dan semua Asura berlarian, para Dewa pun pada tidak kuat. Dan para Dewa mohon pertolongan Siwa, Sang Mahadewa. Sang Mahadewa melindungi mereka yang percaya, menelan racun masuk kerongkongan dan tetap di lehernya. Perbuatan penuh kasih. Setetes racun jatuh dan menjadi rebutan ular, kalajengking, lipan dan binatang merayap lainnya.
Munculnya Amerta
Semuanya kembali mengaduk, dan kemudian keluar Kamadhanu, Sapi Suci. Selanjutnya Ucchaisrawa, Kuda Sakti yang diminta Bali. Kemudian Gajah Airavata untuk Indra. Permata Kaustubha dipakai Wisnu. Pohon Parijata dan para Apsara diambil Indra.
Setelah itu keluar Laksmi yang semuanya menginginkannya. Laksmi melihat para Asura masih keras dan mau menang sendiri. Para Resi pun, belum menaklukkan kemarahan dan masih sering mengutuk. Guru Sukra pun bijak tapi masih belum mengetahui tentang ketidak-terikatan. Candra tampan, akan tetapi belum menaklukkan nafsu. Indra penguasa, tetapi belum mampu menaklukkan keinginan. Hanya Wisnu yang tidak menginginkannya. Dia telah melampaui Triguna. Laksmi menjatuhkan pilihan untuk mengikuti Wisnu.
Pada akhirnya keluar Dhanvantari membawa mangkuk Amerta. Para Asura dengan cepat melepaskan Vasuki, alat itu sudah selesai digunakan, mengapa repot? Vasuki dilemparkan dan mereka merenggut bejana berisi Amerta. Tiba-tiba terjadilah perebutan diantara para Asura, siapakah yang berhak mencicipi Amerta lebih dahulu. Berlomba dengan teman sendiri, merasa paling unggul diantara sahabat adalah sifat Asura.
Orang yang gila akan kekuasaan akan selalu berlomba. Ia ingin menjadi nomer satu dan demi tercapainya keinginan itu, ia akan selalu melibatkan dirinya dalam perlombaan. Ia lebih mirip kuda-kuda yang digunakan di pacuan kuda. Jangan jadi binatang, jadilah manusia. Perlombaan, persaingan – semuanya itu sifat-sifat hewani. Manusia memiliki harga diri; ia cukup mempercayai dirinya sendiri. Ia tidak usah terlibat dalam perlombaan. Setiap manusia unik, tidak ada satu pun manusia yang persis sama seperti orang lain. Ia tidak perlu melibatkan dirinya dalam perlombaan untuk membuktikan keunggulannya. *
………. Suasana mendadak hening, dan dalam keheningan tersebut muncul seorang wanita yang sangat jelita. Para Asura dan para Dewa duduk bersimpuh di hadapan wanita jelita tersebut. Para Asura ternganga dan langsung menyerahkan bejana berisi Amerta, “Wahai bidadari jelita, kami yakin dikau bertindak adil, ambillah dan bagikan kepada kami menurut pendapatmu.”
Para Asura tetap ternganga dan terpesona, padahal sambil jalan berlenggok, Dia menyendok Amerta untuk para dewa disisi lainnya. Lupa diri membuat lalai, alpa. Mereka berpikir, “Huh, para Dewa memang tidak bisa menghargai kecantikan yang belum pernah ada sebelumnya di permukaan bumi ini.” Hanya Asura Rahu yang waspada, paham keadaan dan segera menyamar sebagai Dewa dan duduk anatara Surya dan Candra. Rahu telah mendapatkan Amerta. Wanita itu tahu tapi membiarkan saja. Baru setelah Surya dan Candra memberi tanda, maka leher Rahu dipotong.
Kejadian tersebut menyadarkan para Asura, dan Mohini, sang wanita jelita kembali mewujud sebagai Wisnu dan menghilang. Tindakan Surya dan Candra tersebut membuat marah Rahu, maka pada waktu tertentu dia akan menelan Surya dan Chandra. Akan tetapi pemberian tanda pada Mohini telah menyelamatkan mereka, karena begitu mereka ditelan Rahu setelah sampai di leher mereka keluar lagi. Konon itulah sebabnya peristiwa gerhana matahari dan gerhana bulan hanya memakan waktu sebentar saja.
Hikmah pelajaran yang dapat diambil
Pertama, para Asura telah bekerja lebih keras, karena ambisi dari mind-nya. Sedangkan para Dewa yakin Gusti lebih mengerti sehingga mereka pasrah pada-Nya. Sebetulnya Gusti juga telah membisikkan panduan kepada para Asura. Akantetapi bisikan lirih lewat nurani, tertutup gelora nafsu mereka. Mereka yang bernapas tenang, detak jantungnya akan tenang dan gelombang otaknya lebih tenang. Ketika gelombang otak tenang, manusia bisa melihat sesuatu dengan lebih jernih dan suara nurani pun menjadi semakin jelas.
Keadaan tegang atau rileks mempengaruhi gelombang otak. Pada waktu normal, keadaan dimana dalam satu saat pikiran terpecah, misalnya sambil menyetir mobil, ngobrol dengan teman sebelah, memperhatikan orang mau menyeberang, juga melihat reklame, maka gelombang otak berkisar 14 hertz. Kondisi gelombang otak antara 14 – 30 hertz disebut kondisi beta. Pada waktu pikiran mulai terfokus, misalnya membaca buku dengan asyik, sehingga tubuh mulai tidak terpikirkan maka kita mulai masuk kondisi alpha, antara 14-7 hertz. Pada waktu itu napas kita menjadi lebih tenang, kondisi tersebut juga terjadi ketika kita melakukan meditasi atau pada waktu akan tidur. Apabila gelombang otak melambat antara 7-3.5 hertz, diri kita akan lebih tenang lagi, diri kita masih ada tetapi fisik sudah terabaikan sama sekali. Kondisi tersebut dikenal sebagai kondisi theta. Keadaan itu juga terjadi pada waktu kita bermimpi. Apabila napas semakin melambat maka akan terjadi deep sleep, tidur tanpa mimpi, kondisi delta dan gelombang otak berkisar 3.5-0.5 hertz.
Kedua, Dewa mendapatkan Amerta, mendapatkan keabadian, mereka melampaui pikiran tentang mati, yang mati itu fisik. Jiwa tidak mati, abadi. Asura tidak paham hal tersebut karena terlalu mengikuti mind. Bagi kita yang hidup, Amerta mungkin semacam kesadaran bahwa kita ini adalah jiwa dan jiwa tidak bisa mati. Mereka yang tidak sadar berkeinginan agar fisik kita abadi. Masih ada sifat Asura dalam diri mereka.
Kehidupan abadi tidak berarti bahwa seseorang dapat menghindari kematian. Sama sekali tidak, karena kelahiran dan kematian merupakan dua sisi kehidupan. Ia akan sadar bahwa yang mati adalah raga, bahwasanya jiwa tidak mati. Begitu ia mengidentifikasikan dirinya dengan jiwa, kematian raga tidak akan membuatnya gelisah lagi. Dalam kesadaran jiwa, kita semua hidup abadi. Hanya saja, ada yang sadar akan hal itu, ada yang belum sadar. *
Ketiga, Dewa tak punya rasa jenuh.
“Dari hari ke hari, itu-itu saja yang kulakukan… Saya jenuh sekali!” teman itu mengeluh. Kalaupun dia meninggalkan pekerjaannya itu dan bekerja di tempat lain, persis empat tahun kemudian, dia akan mengulangi lagi keluhannya. Inilah lingkaran samsaara – pengulangan kesia-siaan. Belajarlah dari alam. Matahari, bulan, bintang, dan air, angin, api, tanah – adakah yang merasa jenuh? Membersihkan, menyejukkan, membasahi dan melarutkan – itulah tugas Air. Sudah jutaan tahun ia melakukan hal itu. Apakah ia pernah mengeluh? Bagaimana pula dengan api yang tugasnya menghangatkan dan membakar? Angin, tanah? Tidak satu pun diantaranya mengeluh. Kenapa? Karena mereka berkarya tanpa memikirkan hasil, tanpa pamrih. *
Keempat, Dewa adalah unsur alam.
Dewa-dewa adalah elemen-elemen alami yang tercipta sebelum manusia. Api, angin, air, tanah dan ruang atau space adalah Dewa Utama. Elemen-elemen dasar. Dengan menolak keberadaan elemen-elemen dasar ini, Anda tidak bisa mengurangi peran mereka. Tanpa mereka, kehidupan tidak “mungkin” – life is not possible! Dapatkah Anda membayangkan kehidupan tanpa api? Atau tanpa angin? Dan, tanpa air? Tanpa tanah? Tanpa ruang? Kasih terhadap para “Dewa” berarti kepedulian terhadap lingkungan. Upaya nyata untuk melestarikan alam. Itu sebabnya, di bagian akhir sutra ini Narada mengatakan: “Bumi pun ikut gembira, karena menemukan seorang penyelamat di dalam dirimu.” *
Kelima, pelajaran tentang gotong-royong.
Gotong Royong Berarti Bahu-Membahu. Gotong Royong berarti saling bergandengan tangan. Gotong Royong tidak menempatkan saudaraku penerima di bawahku yang memberi. Gotong Royong adalah sebuah “kesadaran” bahwa kita semua adalah putera-puteri Ibu Pertiwi. Kita memiliki hak dan kewajiban yang sama, walau aplikasinya, pelaksanaanya, penerjemahannya dalam hidup sehari-hari bisa berbeda. Atas landasan Gotong Royong yang kukuh ini kulihat Bangunan Indonesia Baru. Kemegahannya terlihat jelas olehku. Kuucapkan selamat kepada saudara-saudaraku yang kelak akan menjadi penghuni bangunan ini!