GotoBus

Pengantar Tulisan Kisah-Kisah dalam Ramayana

Alam tak terkendali oleh adat. Alam lebih tinggi dari adat. Adat adalah bagian dari alam. Adat bersifat sementara. Alam langgeng, abadi. Alam tak tertaklukkan oleh adat. Dan, sesungguhnya sifat dasar manusia bersifat “alami”. Sifat dasar seorang bayi bukanlah produk suatu adat. Adat dan kebiasaan adalah pemberian masyarakat dimana dia lahir. Saat baru lahir, manusia tidak memiliki adat. Tidak berarti bahwa kita harus meninggalkan adat. Silakan ber”adat” dan ber “kebiasaan”, tetapi sadarlah bahwa jatidirimu melampaui segala kebiasaanmu. Manusia berada di atas adat. Adat diciptakan untuk menunjang kebidupannya, untuk meringankan bebannya, untuk dapat membuat hidupnya lebih nyaman. Saat ini, adat justru menjadi beban. Kebiasaan-kebiasaan yang sudah harus diubah masih dilestarikan atas nama …… Ah, sudah ya. *

Mengapa menulis kisah-kisah dari Mahabarata, Srimad Bhagavatam dan tentang Ramayana. Ramayana adalah kisah epik pertama yang ada dalam sejarah manusia. Srimad Bhagavatam sangat menarik, seperti hadist, riwayat, dan ada legendanya. Sedangkan Mahabharata dikatakan sangat lengkap, apa yang tidak ada dalam Mahabharata tak ada dalam dunia ini.

Menurut seorang suci, ada sekitar 108 Purana, tersisa beberapa mungkin sekitar 20-an dan yang masih lengkap sekitar 18. Bhagavatam adalah Maha Purana, dan bersifat kiasan. Misalnya di Klungkung Bali terdapat bangunan peninggalan sejarah bernama Kertagosa, yang di antaranya terdapat lukisan tentang Neraka di Srimad Bhagavatam, tujuannya adalah untuk pendidikan. Misalkan laki-laki yang senang berselingkuh akan masuk neraka berupa air kencing kemaluan ribuan wanita yang mendidih. Dapat dimaknai, dia akan lahir dalam banyak kehidupan, lewat kemaluan wanita, sebelum hutang tindakannya terlunaskan.

Leluhur kita tidak mendahulukan adat tetapi budaya. Budaya adalah sesuatu yang dinamis. Budaya adalah nilai-nilai luhur yang universal yang berasal dari masyarakat. Adat adalah tradisi. Sedangkan zaman selalu berubah. Misalkan ada adat berjudi pada malam tirakatan sebelum penguburan seseorang. Adat tersebut mungkin dapat berlaku pada suatu zaman, tetapi pada zaman yang lain tidak sesuai. Tetapi budaya bersifat dinamis dan menyesuaikan diri pada setiap zaman, karena bersifat universal. Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika bersifat universal dan merupakan sari budaya Indonesia.

Budaya bukanlah sesuatu yang mati. Budaya adalah sesuatu yang hidup. Bahkan menurut saya, budaya adalah sumber kehidupan suatu bangsa. Yang bisa mempersatukan kita adalah budaya. Suatu bangsa yang melupakan nilai-nilai luhur budayanya sendiri akan hancur lebur. Tanpa nilai-nilai budaya, kesatuan dan persatuan bangsa tidak dapat dipertahankan. Agama kita berbeda. Warna kulit, suku dan ras kita berbeda. Kita bahkan memiliki kebiasaan-kebiasaan yang berbeda. Apabila kita masih bersatu sebagai suatu bangsa yang besar perekatnya hanyalah budaya, budaya Nusantara. Dan dalam Lautan Budaya Nusantara itu, bersatulah aliran-aliran yang berbeda. Ada aliran Jawa, ada sungai Sunda, ada kultur Sulawesi dan Kalimantan dan lain-lain. Tetapi dalam Lautan Budaya Nusantara—semuanya bersatu. Persatuan itu pula yang sampai saat ini masih mempersatukan kita. *

Para leluhur dapat menerima esensi agama, tetapi bukan dengan cara mengikuti adat kebiasaan yang dibawa agama tersebut. Adat tersebut tidak bersifat universal, mungkin lokal, regional dan dapat berubah menyesuaikan diri dengan zaman.

Masyarakat yang belum sadar dapat terjebak dalam budaya asing terbawa agama yang masuk. Seharusnya yang diterima adalah sifat-sifat universalnya dan bukan adatnya. Selama tidak menyadari hal tersebut, para pengikut agama dapat terkesan kolot.

Demikian pula kisah-kisah ramayana semoga dapat diambil nilai-nilai luhur universalnya dan bukan adatnya.

Dari internet kita dapat mengetahui bahwa dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa.

Bahkan menurut Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia.

Naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India adalah Baratayuda, Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).

Banyak negara yang kebudayaannya sudah tinggi, seperti Turki, tetapi tenggelam dalam adat luar. Sehingga begitu memproklamasikan kemerdekaan, Kemal Ataturk, perlu mengumpulkan seluruh ahli bahasa untuk mengumpulkan para ahli bahasa untuk menuliskan lagi aksara Turki.

Demikian juga, Aksara Jawa, tanpa kecintaan tentang budaya dapat lenyap. Demikian pula budaya Nusantara dapat lenyap karena masyarakat mengikuti adat dari luar.

Salah satu contoh adalah tari-tarian. Kesenian adalah hasil budaya. Silakan dikemas sesuai kemajuan zaman agar dapat menerbitkan selera para kaum muda. Tanpa usaha yang sungguh-sungguh, tarian yang indah dan luhur dapat lenyap dan dipelihara bangsa lain. Padahal budaya adalah jatidiri bangsa. Bangsa yang kehilangan jati diri mudah terombang-ambingkan. Budaya berakar dalam masa yang lama, dan dalam DNA diri kita terdapat benih-benih budaya tersebut.

Semoga kita semua tidak terjebak oleh cerita-cerita yang menjauhkan kita dari akar budaya kita.

Penyalahgunaan cerita-cerita rakyat dan pemutarbalikan fakta seperti ini tidak hanya dilakukan oleh Belanda, sebelumnya pun pernah terjadi. Ketika tokoh-tokoh dalam cerita wayang ditampilkan “seolah sudah meninggalkan agama lama” dan menerima agama lain. Padahal, apa yang disebut “agama lama” itu bukanlah agama, tetapi budaya asal kita. Kita sengaja dipisahkan dari akar budaya, supaya dapat dibabat habis. Tanpa akar budaya itu, tanpa jati diri itu, kehilangan ke-”khas”-an kita. Kita tidak lagi memiliki ciri khas. Sekali lagi, kita boleh beragama apa saja – tidak menjadi soal. Budaya kita satu, sama, dan Kesatuan itu yang harus kita junjung bersama. Dalam setiap kesempatan ingatkan setiap anak bangsa, diingatkan akan Budaya Asalnya yang sangat tinggi dan indah. Biarlah Budaya Asal itu menjadi perekat.