GotoBus

Renungan Kisah Pada Relief Dinding Candi Mendut Tentang Bangau, Ikan dan Kepiting

Renungan Kisah Pada Relief Dinding Candi Mendut Tentang Bangau, Ikan dan Kepiting

Quantcast

Beberapa kisah tentang hewan menghiasi relief pada dinding batu Candi Mendut. Kisah tentang bangau, ikan dan kepiting adalah salah satu dari beberapa kisah tersebut. Kisah tersebut sedang dibicarakan oleh sepasang suami istri setengah baya. Mereka mengkajinya dengan referensi buku “The Gita Of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern”, karya Bapak Anand Krishna.

Sang Istri: Tersebutlah di sebuah kolam kecil hidup seekor kepiting dan sekumpulan ikan. Pada suatu musim kemarau airnya menyusut tinggal sedikit dan bagi penghuni kolam keadaan tersebut cukup mengkhawatirkan. Kala itu seekor burung bangau sedang mengintai dan muncul pikiran jahatnya untuk menjadikan seluruh penghuni kolam sebagai santapan……. Burung bangau sengaja beristirahat di tepi kolam dan nampak duduk termenung bermuram durja. Para ikan bertanya kepada Sang Bangau, Tuan sedang memikirkan apa? Sang Bangau menjawab, aku memikirkan kehidupan kalian wahai para ikan. Kemarau ini begitu keringnya, semakin sedikit air semakin sedikit pula makanan kalian. Aku takut kolam ini beberapa hari lagi akan habis airnya dan kalian akan mati kekeringan. Para ikan bertanya, apa yang harus kami lakukan Tuan? Sang Bangau menjawab, kalau kalian percaya padaku, akan kubawa satu per satu kupindahkan ke telaga besar di balik hutan. Telaga yang dipenuhi dengan bunga teratai yang akan menjamin kehidupan kalian. Para ikan berkata, Tuan Bangau, sejak awal kehidupan, tak ada ceritanya seekor bangau memikirkan kesejahteraan ikan. Terus terang kami takut satu per satu dari kami akan Tuan makan, demikian kata para ikan. Sang Bangau menjawab pelan. Aku tidak berdusta silakan pilih satu perwakilan ikan untuk melihat telaga yang saya ceritakan. Para ikan kemudian memilih satu ikan besar sebagai perwakilan. Sang Bangau membawanya ke atas telaga dan kemudian kembali ke kolam ikan…….. Para ikan akhirnya percaya dan menurut saja dibawa Sang Bangau satu per satu ke telaga. Sebenarnya satu per satu ikan dijatuhkan di pohon di seberang telaga. Satu per satu disantap Sang Bangau dan dibawah pohon berserakan tulang-tulangnya. Demikian dilakukan berkali-kali sehingga ikan di kolam habis semuanya. Tersisa seekor kepiting di kolam yang juga ingin dimangsanya. Sang Bangau berkata, tidakkah kamu ikuti para ikan pindah ke telaga? Sang Kepiting berkata, lebih baik aku hidup di kolam ini saja. Karena Sang Bangau terus merayunya, akhirnya Sang Kepiting berkata. Aku bisa memegang diri Tuan lebih kuat, maka biarkan aku memegang leher Tuan saat terbang menuju telaga. Sang Bangau terbang di atas telaga, tetapi kemudian menuju pohon di seberang telaga. Sang Kepiting bertanya, mengapa Tuan membawaku menjauhi telaga? Sang Bangau berkata, dasar kepiting bodoh, aku bukan budakmu, mengapa kamu harus kupindahkan. Lihatlah di bawah pohon terdapat tulang-tulang ikan berserakan. Kamu pun akan segera kujadikan santapan. Sang Kepiting berkata, sang penipu telah ditipu itulah nasibmu, Tuan. Coba rasakan sedikit, saya mulai menjepit leher Tuan. Sang Bangau ketakutan merasakan lehernya yang mulai kesulitan bernapas. Sang Kepiting berkata, sekarang Tuan Bangau yang bodoh, bawa aku ke atas telaga agar aku bisa terjun dan Tuan kembali bebas! Sang Bangau menuruti dengan tergesa-gesa untuk menyelamatkan nyawanya. Saat tiba di tepi telaga leher Sang Bangau dipotong Sang Kepiting dan mati seketika. Sang Kepiting pun segera masuk ke dalam telaga……. Sang Buddha bercerita ada penjahit di Jetavana yang suka menipu. Dia membuat pakaian jadi dari baju bekas yang dicelupkan dengan cairan pewarna sehingga kelihatan baru. Setiap orang yang akan menjahitkan pakaian diminta menyerahkan kainnya dan ditukar dengan baju bekas yang nampak baru. Semakin hari, semakin banyak orang yang tertipu. Pada suatu hari, nampak seorang gagah dengan wool mewah berwarna oranye yang memperkenalkan diri sebagai Sang Penjahit dari Desa. Sang Penjahit dari Jetavana minta baju wool yang dipakai Sang Penjahit dari Desa dapat ditukar dengan sejumlah kainnya. Sang Penjahit dari Desa merasa keberatan, tetapi akhirnya setuju juga. Saat Sang Penjahit dari Jetavana mencuci baju wool dia baru sadar bahwa dia telah ditipu karena baju wool tersebut berasal dari kain karpet yang diberi warna……. Konon Sang Buddha bercerita bahwa setelah beberapa kehidupan. Sang Bangau lahir kembali menjadi Sang Penjahit dari Jetavana. Sedangkan Sang Kepiting menjadi Sang Penjahit dari Desa dan sekelompok ikan menjadi masyarakat yang tertipu oleh Sang Penjahit dari Jetavana………

Sang Suami: Para ikan dalam kolam takut terjadi kekeringan sehingga bisa dimanipulasi oleh Sang Bangau dengan mudahnya….. Beruntunglah Arjuna dalam perang Bharatayuda. Ketakutannya dibebaskan oleh Prabu Kresna. Rasa takut bagi Prabu Kresna adalah penyakit lama, penyakit yang kita warisi dari evolusi panjang kita sebagai binatang sejak dari amoeba. Rasa takut adalah naluri dalam setiap makhluk hidup di dunia. Manusia semestinya mampu melampaui nalurinya, sehingga dapat meningkatkan lapisan-lapisan lain kesadarannya. Sekelompok masyarakat ditakut-takuti masuk neraka dan diiming-imingi masuk surga. Mereka yang ketakutan diminta mengikuti aturan-aturannya. Bila perlu diminta berani kehilangan nyawa. Kebhinnekaan dan kelestarian bangsa diabaikannya. Mereka yang dimasuki program sejak Balita. Menganggap benar apa yang sudah disampaikan kepadanya. Mereka tidak sadar bahwa pikiran bawah sadar mereka telah diprogram memandang kebenaran dari satu sisi saja…….. Prabu Kresna paham bahwa rasa takut disebabkan oleh ketidak tahuan tentang potensi diri, potensi manusia. Kemudian kemalasan atau keengganan untuk mengembangkan potensi diri, sehingga menerima saja apa yang dicekokkan kepada mereka. Selanjutnya hilang sudah rasa percaya diri mereka. Mereka tergantung kata pemimpinnya. Suara hati nurani dirinya sendiri diabaikannya.….. Rasa takut mempengaruhi tiga lapisan utama dalam diri manusia. Pertama: Lapisan Intelegensi, akal sehat atau pikiran jernih yang sesungguhnya tahu persis tentang potensi diri. Kedua: Lapisan Fisik yang malas dan enggan untuk mengembangkan potensi diri. Ketiga: Lapisan Rasa, yaitu induk dari percaya diri.

Sang istri: Sang Bangau mewakili manusia primordial, di mana satu-satunya hukum yang berlaku adalah “fight or flight”, melawan untuk keluar sebagai pemenang atau takut sehingga menghindari peperangan. Ia harus menaklukkan binatang-binatang di hutan demi keberlangsungan hidupnya. Ia harus membunuh demi kehidupannya. Bagi Sang Bangau, nilai persahabatan dan kemitraan tidak berarti apa-apa. Pikirannya penuh muslihat untuk mendapatkan mangsa. Apakah pandangan kita juga demikian. Penuh keserakahan. Penuh tipu muslihat agar tercapai tujuan. Kita perlu waktu lama untuk merenungkan. Dalam waktu singkat akan menerima keberhasilan. Akan tetapi apakah alam akan membiarkan? Hukum sebab-akibat tetap akan berjalan. Siapa melakukan tipu muslihat dia pun akan menerima akibatnya di masa depan.

Sang Suami: Sebelum berupaya membebaskan diri dari keserakahan, kita perlu pahami sifat “keserakahan” itu sendiri. Jangan mencela, tapi memahami. Apa yang kita peroleh dari keserakahan kita selama ini? Apakah yang kita peroleh itu bersifat permanen, langgeng, abadi? Keserakahan manusia tidak pernah dapat dipuaskan. Kita menjadi semakin serakah, karena melayani keserakahan. Keserakahan menyebabkan kegelisahan, dan kegelisahan adalah penyakit yang tidak dapat diobati dengan menimbun kekayaan. Tidak dapat diobati dengan memperluas wilayah kekuasaan. Tidak dapat diobati dengan banyaknya willayah yang ditaklukkan. Keserakahan itu yang menyebabkan terjadinya kerusuhan dan kekacauan. Apa pun latar belakang historis pecahnya perang, sebab utamanya selalu keserakahan. Kita perlu menaklukkan diri sendiri. Menaklukkan keserakahan yang tak terkendali. Itulah raksasa yang harus kita usir pergi.

Sang Istri: Leluhur kita mempunyai pedoman bahwa “sopo sing nandur winih bakal ngundhuh ing tembe mburine”, barangsiapa yang menanam benih akan menuai buah tanaman tindakannya. Bagi yang melihat dalam waktu sesaat, menghalalkan segala cara tuntunan Sang Bangau adalah semacam menanam benih juga. Sehingga hasil akhir kemenangan adalah buah yang wajar dari sebuah perhitungan nyata. Akan tetapi, semua proses tindakan pun merupakan benih-benih tanaman yang akan mendatangkan akibat juga. Proses yang penuh tipu muslihat akan mendatangkan akibat tersendiri dalam jangka panjangnya. Manusia perlu mempertimbangkan semua pikiran, ucapan dan tindakannya sehingga tidak akan kecewa ketika tiba saatnya menuai hasilnya. Kearifan para Leluhur selaras dengan kearifan Prabu Kresna. Setiap pikiran, ucapan dan tindakan harus dilakukan dengan penuh kesadaran. Perlu merenungkan kisah Sang Bangau yang telah memperdaya para ikan. Tetapi Sang Bangau di akhir kisah diperdaya Sang Kepiting gantian.

Sang Suami: Dalam kisah tersebut disampaikan bahwa apa yang terjadi di masa lalu terjadi pula di masa depan, tak ada sesuatu yang baru di atas dunia. Walau “setting” panggung dan pemeran berbeda akan tetapi skenarionya tidak jauh berbeda. Bahkan kejadian bangau yang menipu dan menyantap sekelompok ikan saat ini dilakukan juga oleh segelintir manusia. Keterpurukan negeri dan kebohongan publik yang sering dilakukan oleh para pemimpin, terjadi karena berkiblat pada pikiran, berkiblat pada keserakahan. Sudah tidak berkiblat pada Kebenaran. Saat berdoa, hanya badan yang menghadap Bait Allah, pikiran berkiblat pada harta benda. Perasaan berkiblat pada kenyamanan jasmani dan keuntungan materi bagi diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya. Sang Bangau telah dijadikan panglima……

Sang Istri: Bisa saja dalam arena politik untuk memenangkan pertarungan sekelompok orang menggunakan segala macam cara. Akan tetapi Keberadaan adalah Kekosongan yang sempurna. Pada waktu berteriak di depan kekosongan goa yang dalam, maka pantulan suara yang sama akan kembali sebagai gema. Demikian pula setiap tindakan penuh tipu muslihat, akhirnya akan kembali pula dengan cara yang sama. Tidakkah kita memperhatikannya? “Senjata Cakra Keadilan Prabu Kresna” akan mengejar terus, ke mana pun juga. Ke kehidupan-kehidupan selanjutnya. Sampai pada suatu saat, ketika telah dilupakan, cakra akan berputar kembali menyelesaikan hukum sebab-akibat yang pernah dilakukannya.

Sang Suami: Kita semua merindukan, ketika semua peperangan di luar bisa ditarik ke dalam diri. Dan peperangan di dalam diri bisa dimenangkan kasih dari hati nurani. Terjadilah kedamaian di dalam diri. Kemudian kedamaian mengungkapkan diri di seluruh negeri. Kala itu di seluruh negeri tak ada kekacauan lagi. Negeri makmur sejahtera dan penuh harmoni. Mari kita mulai dengan bertindak Love, Peace and Harmony……….

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait


Pointer Tambahan hasil dari Komentar dan tanggapan di Facebook

Renungan Kisah Pada Relief Dinding Candi Mendut Tentang Bangau, Ikan dan Kepiting

  1. Semoga lebih banyak orang bisa mengambil pelajaran dari pengetahuan dan pemahaman leluhur kita sendir, bukannya import dari luar.
  2. Semoga kita semua mulai tumbuh kesadaran. Membangun kerja sama antar insan, tidak saling membunuh, tidak serakah,tidak saling tipu menipu, yang hanya akan merugikan diri dan sesama, semoga kita tumbuh lg kesadaran saling mencintai dan mengasihi.
  3. Kembali ke dalam diri itulah taubah. Kebanyakan dari manusia belum memahami makna taubah. Bahkan sekelompok manusia mengartikan dengan menangis. Seakan jika dapat menangis sudah berarti taubah…..
  4. Kearifan leluhur selalu mengingatkan manusia kembali ke diri sendiri…. Semoga mnsia nusantara semakin bangga kebijakan leluhur dan menjadikannya sbg pedoman kehidupan.
  5. Sebagai hewan dia hidup dengan insting dasar fight or flight. Tetapi sebagai manusia dia tidak reaktif, dia berpikir dulu dan bertindak secara responsif. Bagi yang sudah sadar, dia tidak memakai referensi pikiran yang terbatas, tetapi memakai intuisi dan suara hati nurani.
  6. Di luar diri itu sudutnya 360 derajat fokus ke mana-mana dan tak ada batasnya. Sedang meniti kembali ke dalam diri itu fokusnya satu. Sehingga bisa semakin lama semakin tenang.
  7. Semoga kesadaran kasih terus tumbuh dalam setiap sanubari manusia Indonesia dan menyadari perang sesungguhnya dalam diri kita masing-masing…Indonesia Jaya!!!
  8. Ketakutan yang berlebihan akan membuat orang bodoh dan mudah ditipu.
  9. Toleransi semu sudah mengakar di negeri ini. Penyampaian materi agama pun tidak berkembang, berhenti di tempat, itu-itu melulu. Tidak pernah menyinggung arti pentingnya helm dalam berkendara di jalan raya. Setiap pergi sholat jumat dari rmh yang dipakai bukan helm tapi peci.
  10. Semoga keserakahan bisa lepas dari sifat kita, karena kekayaan dunia ini tidak akan pernah cukup bagi orang yang serakah.
  11. Luarbiasa memang leluhur kita, memberikan pelajaran lewat simbol-simbol yang dapat diartikan beragam sesuai dengan tingkat kesadaran sipenafsir.
  12. Sebuah relief memang multi tafsir. Kisah sewaktu Sekolah Dasar lain dengan sewaktu dewasa.
  13. Konon ada alasan kepiting membunuh bangau, daripada hidup terlalu lama makin banyak yang terkena tipu muslihatnya. Akan tetapi hukum karma bukan berarti hukum kejam. dalam buku Journey of the Soul, dijelaskan pilihan hidup adalah pilihan kita sendiri sebelum lahir demi peningkatan evolusi.Hidup memang misteri bukan didiskusikan tetapi dijalani dan dimaknai sesuai diri sendiri.
  14. Peace, love, and harmony seharusnya jadi cita-cita semua orang.
  15. Yang saya nggak mudeng, setelah jadi bangau yang menipu, di kehidupan selanjutnya dia jadi penjahit yang suka menipu juga? kenapa dia tidak gantian jadi pelanggan yang tertipu? apa memang begitu alur karma?
  16. Ada dua hukum alam yang dijalani, hukum evolusi dan hukum sebab-akibat. Evolusi dapat diusahakan dengan penuh kesadaran sedangkan hukum sebab akibat tak ada seorang pun yang tahu kapan datang akibatnya. Konon dalam beberapa kehidupan sebelumnya Destarata pernah menusuk mata burung di sarangnya dan membkar … Lihat Selengkapnyaseluruh anak-anak burung tersebut. dalam beberapa kehidupan dia menerima benih kebaikan yang pernah ditanamnya sampai dia menjadi Raja Hastina. Baru saat itu akibat perbuatan beberapa kehidupan datang kepadanya, dia lahir buta dan seluruh anak-anaknya dibunuh dalam perang Bharatayudha. Analog dengan kisah tersebut, Burung bangau mengalami evolusi dan hukum sebab-akibat. Sedangkan masyarakat berevolusi lambat dan masih ditipu juga.
  17. Dengan senantiasa lebih mawas diri agar tidak ikut-ikutan terjebak dalam pengkondisian yang ada pada bangsa kita sekarang ini.
  18. Pekerjaan adalah karunia-Nya. Kita tidak tahu hikmah apa yang terkandung di dalamnya. Berkarya dengan se baik-baiknya dan persembahkan kepada-Nya.
  19. “Sopo sing nandur winih bakal ngundhuh ing tembe mburine”, barangsiapa yang menanam benih akan menuai buah tanaman tindakannya. Jadi, kenapa musti takut dan serakah.
  20. Dharma yang segar untuk dibabarkan! Dharma yang menggelitik isi hati, betapa konyolnya kita yang pernah berbuat curang dan culas di masa lampau, pasti akan mengalami banyak masalah dan kendala di masa kini dan yang akan datang.
  21. Perbuatan karma tidaklah sesederhana seperti mata ganti mata atau gigi ganti gigi. Sepanjang bibit yang kita tanam kita pupuki dengan baik, semakin berkembang dan kuat, buahnya juga makin banyak, pohonnya juga tambah kuat beserta akar-akarnya. Demikianlah karma itu, tiada yang baik atau buruk, semua tergantung pada pencipta karma itu, diri kita sendiri. Pencapaian pencerahan oleh siapapun bukan berarti pembebasan dari hutang karma-karma masa lampau. Namun, hasil dari pencerahan itu membuat pribadi menjadi aslinya, lebih tulus, tiada pikiran jahat apapun, dan tiada kemelekatan terhadap apapun juga. Kesadaran yang meluas hingga bisa melacak masa-masa lampau memungkinkan seorang Master menetralisir segala yang akan dialaminya akibat karma itu. Dengan ikhlas seorang Monggalana menerima siksaan dari 500 orang akibat pernah membunuh ayah-ibunya di kehidupan lampau, begitu juga Angulimala yang wafat setelah teraniaya, namun mereka mengalami parinibbana, bebas dari karma buruk, bersatu dengan Alam Semesta. Tiada peduli seberapa buruknya atau baiknya karma kita di masa lampau, yang penting kita menyadari akan diri sendiri yang fana, bertekad tidak hanya menghindari untuk merugikan diri sendiri dan sesama, namun juga secara alami mengikuti perubahan yang senantiasa terjadi di Alam Semesta. Menanggalkan konsep-konsep semu, memahami kesunyataan dengan kerelaan dan antusiasme, menciptakan kebahagiaan bagi semua makhluk, semoga kita selalu berbahagia.

Terima Kasih

Salam __/\__