Renungan Tentang Dewi Winata Dan Garuda, Kisah Sebuah Persaingan dan Kesadaran Putra Perkasa
Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan kisah Garudeya. Mereka ingat bahwa di Pelataran Candi Sukuh terdapat dua buah patung Garuda yang mengungkapkan kisah Garudeya dari kitab Adiparwa.
Sang Istri: Tersebutlah kisah di awal mula peradaban. Bhagawan Kasyapa mempunyai istri berjumlah delapan. Anak keturunannya lahir sebagai dewa, manusia, raksasa dan hewan. Dua Istri Sang Bhagawan, Dewi Winata dan Dewi Kadru selalu berada dalam persaingan. Dewi Kadru melahirkan telur berjumlah ribuan. Menetas semua menjadi ular dan naga. Dewi Winata melahirkan dua telor dan belum menetas juga. Satu telor sengaja dipecah agar segera keluar seorang putra. Ternyata menjadi burung belum sempurna yang dinamakan Aruna……. Pada suatu saat, Dewi Winata terlibat pertaruhan dengan Dewi Kadru mengenai warna ekor kuda Uchaisrawa yang akan keluar dari samudera. Dewi Winata bertaruh bahwa ekor kuda tersebut putih warnanya. Para ular memberi tahu Dewi Kadru, ibu mereka, bahwa sang ibu akan kalah, karena memang ekor kuda tersebut putih warnanya. Dewi Kadru meminta anak-anaknya menutupi ekornya, agar ekor kuda nampak hitam warnanya. Ular yang menolak dikutuk akan mati sebagai persembahan para dewa. Mereka yang menolak menuruti kemauan sang ibu, merasa amat sedih dan bertapa mohon keselamatan dari Yang Maha Kuasa. Akhirnya kedua dewi tersebut melihat seekor kuda keluar dari dalam samudera. Ekor kuda tersebut hitam warnanya dan Dewi Winata kalah dan dijadikan budak oleh Dewi Kadru sebagai perawat ular-ular putranya.
Sang Suami: Satu telor tersisa dari Dewi Winata akhirnya menetas menjadi Garuda. Garuda paham bahwa dirinya harus berterima kasih kepada sang ibunda. Yang telah mengandung dirinya dan menyebabkan dirinya lahir ke dunia. Genetik kedua ayah dan ibunya membuat dia menjadi perkasa. Dia mencari sang ibunda ke pelosok dunia. Dan akhirnya mengetahui bahwa sang ibunda menjadi budak perawat para ular di samudera. Garuda berusaha sekuat tenaga membebaskan, akan tetapi para ular dan naga mempertahankannya. Garuda bertanya apa syaratnya untuk membebaskan sang ibunda. Para ular dan naga meminta “tirta amerta”, air yang membuat “a-merta”, tidak mati, hidup abadi selamanya. Garuda berupaya sungguh-sungguh untuk mendapatkan tirta amerta. Segala halangan dan rintangan dilewatinya. Sri Wisnu pemilik tirta amerta melihat kesungguhan dalam diri Garuda. Garuda dipersilakan minum tirta amerta, tetapi Garuda dengan sopan menolaknya. Hamba tidak berani menolak anugerah Gusti, tetapi mohon diberikan dalam bentuk lainnya, tirta amerta kami butuhkan untuk melepaskan perbudakan ibu hamba. Gusti telah memahami keadaan ibu hamba. Sri Wisnu amat berkenan dengan sopan santun dan etika Garuda. Sri Wisnu memberikan tirta amerta dan minta datang kepadanya setelah selesai urusannya……. Di tengah perjalanan, Dewa Indera menghentikan, dan kemudian berpesan, agar tirta amerta diberikan, setelah Dewi Winata dibebaskan, agar dia tidak terpedaya ulah para ular dan naga yang penuh ketidakjujuran. Selanjutnya Garuda minta Dewi Winata dibebaskan, para ular dan naga diminta membersihkan diri dari ketidakjujuran yang telah mereka lakukan. Para ular dan naga memenuhi permintaan, Dewi Winata dibebaskan, mereka membersihkan diri dan bertobat dari semua tindakan…. Ketika mereka sedang membersihkan diri, tirta amerta direbut para dewa, sehingga para ular dan naga tak dapat hidup abadi. Mereka dapat berganti kulit, dapat meremajakan diri, tetapi tetap akan mati. Hukum sebab-akibat berjalan sangat rapi……. Akhirnya, Sang Garuda pamit kepada ibundanya untuk menghadap Gusti. Garuda tidak minta apa pun juga, pasrah pada Kehendak Ilahi. Gusti berkenan menjadikan Garuda menjadi kendaraan pribadi. Bukan sekedar tirta amerta yang membuat tidak bisa mati, tetapi anugerah untuk menyatu dengan Gusti.
Sang Istri: Dewi Winata dan Dewi Kadru terlibat dalam persaingan yang nyata…….. Dan “pikiran” memang senang berlomba. Jika diberi tujuan, ia sangat suka. Apa pun tujuan yang diberikan kepadanya, ia bersemangat untuk mendapatkannya. Orang yang gila kekuasaan akan selalu berlomba. Ia ingin menjadi nomer satu dan demi tercapainya keinginan itu, ia akan selalu melibatkan dirinya dalam perlombaan. Ia lebih mirip kuda-kuda pacuan. Jadilah manusia jangan menjadi hewan. Perlombaan, persaingan, semuanya itu sifat-sifat hewan….. Manusia memiliki harga diri. Ia cukup mempercayai dirinya sendiri. Ia tidak usah terlibat dalam perlombaan duniawi. Setiap manusia unik, tidak ada satu pun manusia yang persis sama. Mengapa harus berlomba? Demikian tertulis dalam buku “Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan, karya Bapak Anand Krishna.
Sang Suami: Kita perlu mengadakan introspeksi terhadap pendidikan kita. Selama menuntut ilmu, kita dipaksa untuk “berlomba”. Kejuaraan menjadi tolok ukur keberhasilan kita. Selama bertahun-tahun, dari TK sampai Universitas, kita dikondisikan dan diprogram untuk berlomba. Dan programming tersebut tidak berakhir dengan gelar sarjana. Tetapi berlanjut sampai meninggal dunia. Apa pun yang kita lakukan, di mana pun kita berada, kita sibuk berlomba……. Dewi Winata dan Dewi Kadru, mengikuti egonya. Ego bersifat individualistik, hanya memenuhi hasrat pribadinya. Karena sangat individualistik, mereka selalu merasa “terancam” dan merasa berada dalam keadaan bahaya. Mereka tidak pernah hidup tenang dan kegelisahan mereka sebarkan kemana-mana. Bila ingin bebas dari keadaan ini, kita harus cepat-cepat mengubah cara pandang kita. Dari individualistik menjadi holistik, demikian diuraikan dalam buku “Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa”.
Sang Istri: Potensi hewan, atau kehewanian, yang disebut insting-insting dasar, sesungguhnya tidak pernah mati sepenuhnya. Dalam diri orang yang sudah tercerahkan pun, sisa-sisa insting itu masih ada, sehingga kita harus selalu waspada. Bila tidak, kita bisa saja terseret lagi seperti yang dialami Dewi Kadru dan Dewi Winata. Kita tidak bisa bebas dari hewan di dalam diri, tetapi bisa menjaga kejinakannya. Janganlah kita terkendali olehnya. Jangan kira sekali terjinakkan hewan di dalam diri menjadi jinak untuk selamanya. Tidak demikian. Hewan-hewan buas nafsu, keserakahan, kebencian, kemunafikan, dan lain sebagainya, termasuk majikan mereka yaitu gugusan pikiran yang kita sebut “mind”, membutuhkan pengawasan ketat sepanjang hari, sepanjang hayat kita. Demikian dijelaskan dalam buku “Bhaja Govindam, Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara”.
Sang Suami: Dewi Kadru pun berada dalam diri. Alam bawah sadar kita masih terpengaruh naluri hewani. Itu sebabnya kita tidak segan-segan mencelakakan orang lain, demi kepentingan diri. Kita harus melanjutkan perjalanan ruhani. Berada pada tingkat ini, sebenarnya kita belum manusiawi. Mempunyai badan manusia, tetapi belum cukup manusiawi. Kita juga harus bisa memikirkan kenyamanan orang lain, bukan hanya kenyamanan diri sendiri.
Sang Istri: Garuda tak pernah gentar, maju terus pantang mundur dengan semangat pahlawan maju ke medan laga. Senjata bisa dibeli, tetapi keberanian tidak bisa, tidak akan bisa. Bintang Jasa bisa direkayasa, diatur, tetapi kepahlawanan tidak bisa. Semangat seorang pahlawan, seorang pemberani, dari dalam diri sendiri munculnya. Mereka yang bicara tentang “motivasi”, sungguh tidak memiliki “semangat” baja. Dia yang membutuhkan sesuatu untuk memotivasinya, untuk mendorongnya, karena dia tidak memiliki kekuatan dalam dirinya. Semangat merupakan energi yang mampu menegakkan kepala tanpa bantuan siapa pun juga. Selama masih membutuhkan bantuan dari luar, dia belum bersemangat baja. Lalu, jika mengerjakan sesuatu tanpa semangat baja, dia akan selalu gagal pula. Semangat adalah “gairah” dan apabila hidup “menggairahkan”, dia akan bersemangat dalam berkarya…… Dan, hidup akan menggairahkan jika makna kehidupan dapat kita pahami. Lalu untuk memahami makna kehidupan, kita harus mengenal diri sendiri. kita harus menemukan jati diri. Kita harus memahami potensi diri, dan menjalani dan melakoni hidup, sesuai dengan potensi pribadi. Demikian, hidup akan sangat menggairahkan sekali. Kita akan bersemangat untuk menjalani, melakoni……..
Sang Suami: Pengorbanan adalah mahkota para satria. Tidak perlu dikaitkan pengorbanan dengan agama, dengan surga dan dengan para bidadari jelita. Garuda berkorban demi Ibunya, diminta minum tirta amerta agar hidup abadi pun ditolaknya. Akan tetapi justru karena itu Gusti mengasihinya. Para putra-putri bangsa mesti berani berkorban demi Ibu Pertiwi tercinta. Berkorban demi negara adalah dharma, kewajiban kita semua….. Prinsip pengorbanan lebih hebat daripada “win-win solution”, di mana untuk memenangkan tak perlu melakukan pengorbanan. Penting sekali semangat dan kerelaan untuk berkorban. Pengorbanan itu sendiri adalah kemenangan. Ia telah berhasil menguasai nafsunya yang selalu ingin menang sendirian.
Sang Istri: Sri Wisnu melihat kesungguhan dalam diri Garuda. Dia telah melihat adanya benih kasih dalam diri Garuda. Dia paham bahwa benih tersebut berpotensi mekar menjadi lembaga, dan menjadi pohon yang perkasa. Salah satu syarat untuk meningkatkan kesadaran adalah berani dan yakin, “fearless and no doubt” terhadap Kebenaran. Garuda dalam upaya menyelamatkan ibunya telah melepaskan keraguan dan ketakutan.
Sang Suami: Semoga para putra-putri bangsa meneladani Sang Garuda. Berfokus menyelamatkan Ibu Pertiwi yang sedang menderita. Semoga Ibu Pertiwi segera berbahagia, bebas merdeka dan kembali berjaya. Dalam situs http://www.aumkar.org/ind/?p=20 tertulis Nyanyian Ilahi keempat, dan berikut ini adalah petikannya: Sesuai dengan sifat dasar masing-masing, Manusia dibagi dalam 4 golongan utama. Walau pembagian seperti itu, Tidak pernah mempengaruhi Sang Jiwa. Para Pemikir bekerja dengan berbagai pikiran mereka. Para Satria membela negara dan bangsa. Para Pengusaha melayani masyarakat dengan berbagai cara. Para Pekerja melaksanakan setiap tugas dengan sebaik-nya……. Berada dalam kelompok manapun, bekerjalah selalu sesuai kesadaran. Jangan memikirkan keberhasilan maupun kegagalan. Terima semuanya dengan penuh ketenangan. Bila kau bekerja sesuai dengan kodratmu, tidak untuk memenuhi keinginan serta harapan tertentu, maka walau berkarya sesungguhnya kau melakukan persembahan. Dan, kau terbebaskan dari hukum sebab akibat……. Tuhan yang kau sembah, juga adalah Persembahan itu sendiri. Dalam diri seorang penyembahpun, Ia bersemayam. Berkaryalah dengan kesadaran ini, dan senantiasa merasakan kehadiran-Nya.
Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!
Situs artikel terkait
Pointer Tambahan hasil dari Komentar dan tanggapan di Facebook
Renungan Tentang Dewi Winata Dan Garuda, Kisah Sebuah Persaingan dan Kesadaran Putra Perkasa
- Anak suputra akan membebaskan orang tua dari penderitaan.
- Pengendalian diri dari nafsu rendahan dan berbakti bagi Ibu Pertiwi adalah keharusan bagi setiap anak bangsa.
- Bila kita masih ingin hidup “utuh” sebagai Orang Indonesia, kita harus menerima “keutuhan” bangsa serta budaya kita. Kita harus kembali pada mitos-mitos yang telah menjadi “akar budaya” kita, budaya Nusantara yang “mengutuhkan”! Budaya Nusantara yang masih mampu mempersatukan kita dan menyuntiki kita dengan semangat baru untuk menghadapi dan memecahkan setiap persoalan bangsa. *Indonesia Jaya, AK.
- Adiparwa adalah buku pertama atau bagian pertama dari kisah Mahabharata. Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah mengenai nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa muda Korawa dan Pandawa. Dalam Adiparwa juga terdapat kisah-kisah lain, seperti Kisah Baghawan Dhomya dengan tiga muridnya, Kisah Bhakti Burung Garuda dan Kisah Kurma Avatara. Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa Sansekerta. Pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa (991-1016) yang memerintah di Kerajaan Medang, kitab ini telah disalin ke dalam Bahasa Jawa Kuna.
- Revolusi berarti Re-Evolusi. Menggelindingkan kembali Roda Evolusi yang seakan berhenti sekian lama. Dan, Evolusi berarti Perkembangan, Pertumbuhan, Kemajuan. Revolusi Spiritual adalah Perkembangan Nilai-Nilai Spiritual, Nilai-Nilai Batiniah dalam diri kita sendiri. Kita harus mati dan bangkit kembali. Mati sebagai individu yang tidak mengenal sejarah, tidak menghargai leluhur, tidak apresiatif terhadap budaya asal dan tergantung pada segala yang berasal dari luar. Dan, bangkit kembali sebagai Manusia Indonesia yang Utuh… Manusia Modern yang berakar pada Budaya Asal dan Sejarah Masa Lalu yang Gemilang, namun tidak hidup dalam masa lalu… la hidup dalam masa kini, dan bekerja untuk Masa Depan yang lebih Cemerlang! * Indonesia Jaya, AK.
- Pengorbanan atau pelepasan janganlah selalu diartikan menanggung penderitaan dan dalam kondisi yang sangat sengsara. Bagi orang-orang yang melihat para pahlawan sejati tentu timbul rasa iba, rasa kasihan, dan simpati. Bukan itu yang diinginkan. Pengorbanan atau pelepasan adalah Tindakan Nyata dari pribadi yang luhur, setelah dengan pemahaman dirinya sendiri secara total, dan mendalami kebijaksanaannya dalam hubungannya dengan Alam Semesta, demi kebahagiaan dirinya sendiri dan segenap makhluk.
- Pengorbanan atau pelepasan yang terbaik adalah dalam diri kita sendiri. Tiga jenis bara api terus membara dan membakar (Merusak) diri kita karena mau dikipasi oleh persaingan itu: keserakahan – kebencian – kebodohan. Serakah karena merasa diri kurang unggul dibanding saingannya, ingin lebih dan lebih, dan ingin disanjung oleh semua orang. Benci akan adanya saingan dan tandingan, berusaha terus menandinginya, bila perlu menghabisinya dengan segala cara. Bodohnya, karena dengan sifatnya ini tidak sadar dia menghabisi dirinya sendiri pelan-pelan. Dirinya mudah dimanfaatkan pihak lain tanpa peduli kerugian yang telah dialami. Maka, dalam melakukan segala tindakan apapun, kedamaian pikiran wajib dijaga, jangan biarkan bara api dalam diri kita dikipasi persaingan dari siapapun. Pengorbanan atau pelepasan sehebat atau semegah apapun jika masih dikotori atau dibakar ketiga bara api ini tetap tidak akan membawa manfaat yang nyata. Sebaliknya, walau sedikit atau kecil tindakan nyata yang kita lakukan dengan sepenuh hati yang bening dan bersuka cita seru segenap Alam Semesta, akan membawa manfaat yang dahsyat bagi kita sendiri.
- Kami sekedar menata kata-kata dari buku-buku Bapak Anand Krishna yang telah mengubah kami sehingga hidup kami terasa menjadi bermakna.
- Pikiran memang sulit di kendalikan, sangatlah patut di contoh pengorbanan Garuda yang nyata-nyata diberi anugerah utk meminum tirta amerta dan akan dikarunia keabadian,dia berhasil menyingkirkan egonya, hal itu adalah sebuah cerminan buat kita di dunia dalam menapaki kehidupan ini, karena pengaruh KEDUNIAWIAN sangatlah sulit untuk di kendalikan…..
- Tentang warna dalam kemasyarakatan utama adalah sangat mutlak dan saling keterkaitan satu sama lain, jika satu pincang maka yg lain akan terganggu, demikin juga dalam kehidupan ini di usahakan kita bisa saling menjaga dan mengerti satu sama lain.
- Meskipun terasa sulit, semangat membangkitkan jiwa nasionalis yang cerdas & berksadaran harus diregenerasi. Fanatisme anak bangsa dalam beragama sudah dmikian melekat & meluas. Dua dari teman SMA, yang keduanya adalah alumni UI, yang 1 menganjurkan untuk keluar dari account FB karena FB penemunya orang Amerika, yang 1 lagi meyakini dengan pasti Indonesia akan baik-baik saja tanpa harus macam-macam ini & itu. Sebagai teman kita turut prihatin atas cara mereka dalam berpikir & bersikap.
- Cerita tentang Bunda memang terasa menyentuh bahkan mungkn malah mampu meluluhkan hati. Semoga semangat berkorban demi Bunda Pertiwi dapat tumbuh subur di sini. Mau merendahkan diri tidak merasa keyakinannya paling benar, mau berbagi bagi yang membutuhkan.
- Terasa menggelitik kesadaran untuk ikut berbela rasa kepada Ibu Pertiwi yang sedang berduka, semoga dengan tulisan-tulisan seperti ini, para Garuda segera terketuk hatinya untuk mendharma-bhaktikan diri demi negeri, demi Ibu Pertiwi. Semoga kesadaran ini secepatnya melanda Nusantara, Bendhe Mataram, jayalah Indonesia.
- Berbagai pikiran berseliweran memenuhi alam kita. Mereka adalah energi juga. Mari kita pancarkan aura kedamaian dan kesadaran. Seperti halnya virus yang berada di tubuh kita, hanya 10% yang ekstrem yang merusak kita. Yang 80% biasa-biasa saja. Dibutuhkan virus yang yang mengimbanginya, virus kedamaian dan kesadaran.
- Ibu kita adalah ibu fisik kita. Tetapi yang memelihara yang memberi makan, yang memberi papan, yang memberi napas, semuanya berasal dari Ibu Pertiwi. Ibu Pertiwi kita sangat kecewa, bila putra-putrinya yang mempunyai keyakinan berbeda saling bersengketa.
- Kadang seseorang hanya sekedar menata kata, tetapi bagi yang reseptif, yang terbuka seakan melihat petunjuk-Nya berada di sana. Dia yang bersemayam dalam dirilah yang membimbing cara membaca, membaca alam semesta.
Terima Kasih
Salam __/\__