GotoBus

Dewi Sinta Anugerah Bunda Bumi kepada Prabu Janaka

Perhatikan alam sekitarmu. Belajarlah dari alam. Dari bumi yang selalu memberi walau dieksploitasi, diinjak-injak dan perutnya dikoyak-koyak. Ada langit yang selalu mengayomi, menyirami bumi ketika gersang. Ada udara, angin, sehingga kita dapat bernapas. Ada api atau energi yang membantu kita dalam setiap pekerjaan. Ada ruang luas di mana bumi kita berputar tanpa henti. Pernahkah mereka menuntut sesuatu darimu? Mereka memberi tanpa pamrih, tanpa mengharapkan sesuatu dari kita. Itulah pelajaran utama yang dapat dipetik dari alam: memberi tanpa mengharapkan imbalan, memberi tanpa pamrih. *

Prabu Janaka dari Kerajaan Mithila

Prabu Janaka adalah seorang raja di Mithila yang bijak. Pengetahuan Keilahiannya sangat tinggi. Salah satu karya sastra suci Astavakra Gita yang membahas tentang jatidiri manusia adalah kumpulan dialog antara Prabu Janaka dengan Resi Astavakra. Sri Krishna dalam Bhagavad Gita pun menyebut Prabu Janaka sebagai seorang Karma Yogi.

Prabu Janaka sangat peduli terhadap lingkungan, menghormati keberadaan alam semesta. Prabu Janaka sadar, keberadaan manusia di bumi ini didukung oleh kasih Bunda Bumi. Apa pun yang dimakan dan diminum untuk mempertahankan hidupnya diperoleh dari Bunda Bumi. Bunda Bumi pun dapat menghidupi karena mendapat sinar kasih Bapa Matahari, tanpa matahari tidak ada kehidupan di bumi ini. Terhadap matahari, manusia tidak dapat melakukan sesuatu, selain mensyukuri kasihnya. Akan tetapi terhadap Bunda Bumi, manusia bisa memperindah dan melestarikan lingkungannya. Bukan hanya memahami lingkungan, akan tetapi Prabu Janaka memahami hukum alam dan hidup selaras dengan alam.

Hukum alam adalah bahasa dunia. Bila lahir dalam dunia dan hidup di dunia ini, kita harus memahami bahasanya. Apa pula hukum alam yang dimaksud? Hukum aksi-reaksi. Hukum evolusi atau perkembangan, kemajuan. Itulah dua hukum utama. Landasannya adalah keterkaitan interdependency. Bila kita menebang pohon seenaknya, banjirlah akibatnya. Itu salah satu contoh dari hukum aksi-reaksi atau sebab-akibat. Dan, ingat itu baru menebang pohon. Bila kita menjadi membunuh manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya, jangan kira kita akan lolos dari hukuman. Jangan pula mencari pembenaran, bahwa kita membunuh demi … atau untuk … dan atas nama … Mau mencari pembenaran sih boleh-boleh saja, asal tahu bahwa itu tidak akan meringankan hukuman kita. Kemudian, hukum perkembangan, kemajuan, evolusi, ekspansi. Segala sesuatu dalam hidup ini mengalami perkembangan. Semuanya sedang berevolusi. Tidak ada yang mengalami regresi dan kembali pada kehidupan di masa lalu. Bila tidak berkembang bersama hidup, kita akan hidup setengah-setengah. Hidup tidak matipun tidak. Bila kita tidak melangkah bersama waktu, waktu akan melewati kita. *

Dewi Sinta sang putri raja Mithila

Pada suatu hari Prabu Janaka mengadakan persiapan upacara persembahan bagi Bunda Bumi sebagai rasa syukur atas nikmat karunianya memberikan kesuburan dan kesejahteraan kepada kerajaannya. Prabu Janaka mengadakan pencangkulan pertama, dan ketika sedang membersihkan lahan, nampaklah bayi perempuan mungil yang elok rupawan berada di lahan tersebut. Bayi tersebut segera digendong dan diserahkan kepada permaisurinya. Bayi tersebut diangkat sebagai putri raja, karena sang raja dan permaisuri memang belum dikaruniai seorang anak. Bayi perempuan tersebut diberi nama Sita dan oleh leluhur kita dikenal sebagai Dewi Sinta.

Banyak versi dari kisah mengapa Dewi Sinta bisa berada di lahan tempat upacara tersebut, tetapi semuanya bermakna karena kecintaan Prabu Janaka terhadap Bunda Bumi, maka Bunda Bumi berkenan menganugerahkan putrinya kepada sang raja.

Dalam bahasa Sanskerta, kata Sita bermakna “kerut”. Kata “kerut” merupakan istilah puitis pada Zaman Kuno, yang menggambarkan aroma dari kesuburan. Nama Sita yang diberikan Prabu Janaka kepada putri perempuannya, diambilkan dari Rigweda tentang kisah Dewi Sita, dewi bumi yang memberkati lahan dengan hasil panen yang melimpah. Sita disebut para leluhur kita sebagai Siti yang berarti tanah atau bumi. Leluhur kita sangat halus, mereka dapat merasakan suara “i” lebih feminin dibanding suara “a”. Para leluhur menyebut pasangan Dewa adalah Dewi, pasangan Putra adalah Putri.

Kecantikan Dewi Sinta dikisahkan ibarat kecantikan bumi di pegunungan yang hijau dan sejuk, di mana setiap orang yang melihat akan merasa teduh dan bersyukur. Segala keruwetan pikiran musnah kala melihat wajah Dewi Sinta. Sebagai puteri Raja Janaka, ia juga kerap dipanggil Janaki, dan sebagai puteri Mithila, ia sering dipanggil Maithili, yang leluhur kita menyederhanakan ucapan sebagai Mantili.

Perjalanan kehidupan Dewi Sinta adalah seperti bumi, selalu memberikan berkah di manapun dia berada. Akan tetapi segala sesuatu yang berada ada di atas bumi ini tidak ada yang abadi, seperti halnya uang yang ada di dompet kita pun selalu berpindah tangan. Kita sulit melacak uang yang berada di dompet kita saat ini, setelah 10 tahun ke depan akan berada di tangan siapa. Demikian halnya dengan Dewi Sinta, yang selalu bepergian walau hatinya hanya tertambat kepada Sri Rama. Sampai di akhir kisah kembali ke pangkuan Bunda Bumi, hati Dewi Sinta hanya diperuntukkan bagi Sri Rama.

Penemuan bayi Dewi Sinta yang kemudian diadopsi oleh Prabu Janaka, sudah mengisyaratkan sejak awal bahwa sang dewi sejak kecil sudah tidak banyak mempunyai keterikatan. Nantinya, keterikatan sang dewi memang hanya kepada suaminya, sang avatara.

Hubungan kita dengan dunia saat kelahiran sangat minim. Satu-satunya hubungan penting saat itu hanyalah hubungan dengan ibu, atau dengan siapa saja yang berperan sebagai ibu. Perekat kita dengan dunia saat itu hanyalah kasih ibu. Kemudian kita menambah perekat-perekat baru. Akhirnya terperangkap oleh perekat-perekat ciptaan kita sendiri. Adakah kebenaran di balik perekat-perekat ini? Adakah sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih berarti, bermakna di balik hubungan –hubungan kita yang semu? Orang tua bisa wafat, pasangan hidup bisa menceraikan, anak dan saudara bisa pisah rumah. Kawan bisa berubah menjadi lawan. Is there anything more to life? *

Rama menumpas Raksasa di hutan Dandaka

Resi Wiswamitra menemui Prabu Dasarata di Ayodya untuk minta bantuan Sri Rama menyelesaikan masalahnya, karena beberapa kali upacara persembahan yang diadakan di Hutan Dandaka diganggu oleh Raksasa Maricha dan Subahu. Sang prabu merasa berat untuk meluluskan permintaan Resi Wiswamitra, melepas Sri Rama menemani sang resi melawan para raksasa.

Resi Wiswamitra adalah guru dinasti Surya, sejak Raja Trisanku, nenek moyang Prabu Dasarata dan sudah sewajarnya sebagai raja dinasti Surya dia membantu sang resi ketika mendapatkan permasalahan. Akan tetapi hatinya begitu terikat dengan Rama. Lama sekali sang prabu tidak mempunyai putra, dan setelah mempunyai putra, keterikatan kepada mereka sangat besar.

Resi Vasishta, sebagai Guru Utama Kerajaan Ayodya memperkuat, “Prabu, biarlah Rama mengikuti jejak langkah kehidupannya sendiri. Kau telah mempunyai banyak putra dalam kehidupan-kehidupanmu yang lalu. Saat ini Gusti memberikan putra terbaik bagimu. Dia hanya lahir sebagai putramu dalam kehidupan saat ini, tugasmu sebagai orang tua adalah membesarkan putra sebaik-baiknya. Sebetulnya dia mempunyai tugas khusus Ilahi untuk melenyapkan adharma. Dan kepergiannya bersama Resi Wiswamitra adalah untuk memulai langkah awal dalam menjalanakan dharmanya.”

Keterikatan kepada putra sering membuat lalai kepada Gusti. Bukankah orang suci Abraham, Nabi Ibrahim a.s. pun pernah terikat dengan putranya? Sampai beliau sadar, Yang Ada Hanya Gusti, kenapa memilih yang duniawi dari Yang Ilahi? Akhirnya beliau rela mengorbankan sang putra dan Gusti berkenan menyelamatkan putranya bahkan menjadi nabi yang saleh.

Pada akhirnya Prabu Dasarata melepaskan kepergian Rama ditemani Laksmana mengikuti Resi Wiswamitra. Sri Rama diajak Resi Wiswamitra mengikuti jejak-jejak masa lampau kala sang avatara berwujud sebagai Vamana. Sang resi menunjukkan tempat Ahalya, kemudian tempat Raja Baghirata bertemu Dewi Gangga dan selanjutnya tempat Resi Kasyapa ayahanda Vamana bertapa. Resi Wiswamitra menunjukkan tempat sang resi melakukan persembahan yang berada di dekat tempat Resi Kasyapa orang tua Avatara Vamana kala bertapa dan mohon kelahiran sang avatara.

Konon Hutan Dandaka, lokasi upacara persembahan Resi Wiswamitra, adalah tempat Indra bertapa setelah merasa bersalah membunuh Resi Asura Vrta. Setelah ratusan tahun bertapa, para dewa membersihkan hati Indra dengan air suci dan air suci tersebut membuat tanah di hutan tersebut menjadi daerah yang subur.Sampah dedaunan dan bangkai binatang di hutan tersebut didaur ulang Bunda Bumi menjadi tanah subur yang menghasilkan buah-buahan lezat.

Ketenangan masyarakat hutan tersebut dikacaukan oleh raksasa perempuan bernama Tataka dan putranya yang bernama Maricha. Alkisah, pada suatu hari Sunda, suami Tataka karena kesalahannya mati di tangan Resi Agastya, dan Tataka sang isteri tidak dapat menerima dan melawan Resi Agastya. Akhirnya Tataka dikutuk menjadi raksasa dan bersama anaknya Maricha mengganggu masyarakat di hutan Dandaka.

Kala Sri Rama sampai di Hutan Dandaka, Tataka muncul mengganggu dan dibunuh oleh Sri Rama. Adalah sebuah kebahagiaan bagi para raksasa untuk mati di tangan seorang avatara, kematiannya mendapatkan berkah.

Pada keesokan harinya, Maricha dan Subahu beserta balatentaranya menuntut balas, dan semuanya dapat dibasmi oleh Sri Rama, kecuali Maricha yang tidak dibunuh tetapi terlempar ke tepi sungai. Maricha inilah yang melaporkan kejadian tersebut kepada Raja Raksasa Rahwana dan kisah Ramayana menjadi cerita yang panjang.

Rasa dendam kala suaminya dibunuh, walau disebabkan kesalahan suaminya sendiri seperti Tataka, kebiasaan suka usil terhadap acara ritual orang lain seperti Maricha dan Subahu, kemudian merasa benar sendiri adalah sifat-sifat raksasa dalam diri yang perlu ditaklukkan oleh Rama, Kesucian yang ada di dalam diri. Kala meniti ke dalam diri, terungkap bahwa sifat-sifat keraksasaan , sifat-sifat kebinatangan masih ada di dalam diri dan selama ini kurang disadari.

Untuk meniti jalan ke dalam diri memang dibutuhkan keberanian. Baru menoleh ke dalam diri, anda akan kaget! Dalam diri anda, masih ada kebuasan serigala. Dalam diri anda, masih ada keliaran monyet. Dalam diri anda, masih ada kemalasan babi. Dalam diri anda, masih ada kicauan burung. Gonggongan anjing dan kwak-kweknya bebek – semuanya masih ada. Napsu birahi masih belum terkendali, yang membuat anda sebuas serigala. Pikiran masih liar, bagaikan monyet. Malas untuk melakoni meditasi, seperti babi. Mengoceh terus, ngomongin orang terus, seperti burung. Sikut kanan, sikut kiri ditambah dengan luapan amarah, persis seperti anjing. Hidup tanpa kesadaran, hanya mengikuti massa – persis seperti bebek. Itulah anda! Keliaran ini, kehewanian ini, kebuasan ini dianggap “kewarasan” oleh dunia, oleh massa. Kenapa? Karena dunia anda masih buas juga, masih liar juga, masih hewani juga. Mereka yang bisa menerima kebinatangan diri anda masih binatang juga. *

Selesai membantu Resi Wiswamitra, Sri Rama dan Laksmana diajak sang resi pergi ke Mithila yang pada saat itu sedang diadakan sayembara mencari pasangan Dewi Sinta, putri Prabu Janaka.

Busur Shiva

Prabu Janaka dan permaisurinya membesarkan Dewi Sinta dengan penuh kasih sayang hingga Dewi Sinta tumbuh menjadi putri cantik yang menggetarkan dunia. Banyak raja dan kshatriya yang berminat mempersuntingnya. Prabu Janaka menganggap Dewi Sinta adalah anugerah Bunda Bumi, dan semestinya pasangan serasi bumi adalah matahari. Bumi melayani makhluknya, tetapi sinar matahari lah yang menghidupi dan memberi penerangan serta kehangatannya. Sinar matahari berada di mana-mana dan tidak membeda-bedakan. Pada zaman itu yang menjadi menjadi maharaja dari Dinasti Surya, Dinasti Matahari, adalah Prabu Dasarata yang memerintah di kerajaan Ayodya.

Ketika saatnya sang putri tiba untuk mendapatkan jodohnya, Prabu Janaka kewalahan menerima pinangan dari banyak putra raja, sehingga Prabu Janaka mengadakan sayembara. Barang siapa yang dapat mengangkat dan merentangkan busur Shiva akan diangkat sebagai menantunya.

Konon Leluhur Prabu Janaka bernama Dewabrata mendapat anugerah busur dari Shiva, sang Mahadewa. Kala terjadi pertentangan antara Shiva dengan mertuanya Daksa yang melecehkannya, Shiva meminjam busur tersebut untuk mengancam para dewa sehingga tidak berani menghadiri acara yang diadakan oleh Daksa tersebut. Selanjutnya Shiva mengembalikan busur tersebut kepada Dewabrata, dan pusaka tersebut dirawat raja penerusnya sampai akhirnya menjadi pusaka Prabu Janaka.

Para kshatriya mendambakan Dewi Sinta, tetapi tak ada satu pun kshatriya yang kuat mengangkat busur tersebut. Busur tersebut memerlukan 500 prajurit untuk mengangkat bersama dan menaikkannnya dalam kereta.

Ketika Rama diminta Resi Wiswamitra mengangkat busur tersebut, dengan mudahnya dia mengangkat dan setelah memperhatikan busur tersebut, Rama berkata, “Ini memang busur pusaka yang sakti.” Dan sambil berkata demikian dia menarik tali busur dan ketika tali busur terebut dilepas kembali timbullah suara yang luar biasa kerasnya seperti geledek yang membahana.

Prabu Janaka sangat berbahagia, yang terpilih menjadi menantunya adalah Sri Rama, putra Raja Dasarata dari dinasti Surya. Ram sendiri berarti Dia Yang Berada Dimana-Mana. Diundanglah keluarga Prabu Dasarata untuk mengadakan acara perkawinan Sri Rama dengan Dewi Sinta di Mithila.

Setelah acara perkawinan selesai, maka Dewi Sinta diboyong Sri Rama ke Ayodya.

Bertemu Avatara Parasurama

Dalam perjalanan ke Ayodya bersama Dewi Sinta, Laksmana dan Dasarata sang ayahanda, di tengah jalan Sri Rama dihentikan oleh Parasurama, seorang resi tinggi besar berambut panjang keriting dan digelung di kepalanya, membawa busur dan kapak. Parasurama yang sakti adalah pembunuh para kshatriya yang tindakannya melenceng dari jalur dharma. Parasurama telah mendengar bahwa Sri Rama telah berhasil mengangkat dan menarik tali busur Shiva, bahkan suara kembalinya tali busur yang sangat membahana terdengar oleh dirinya. Parasurama mengajak Sri Rama bertarung.

Sri Rama kemudian meminjam busur dan anak panah Parasurama yang mirip sekali dengan busur Shiva. Kemudian menarik talinya dan meletakkan anak panah ke busur tersebut. Rama berkata, “Wahai Parasurama anak panah ini harus menuju sasarannya, pilihlah nyawamu yang hilang atau kekuatan tapamu yang hilang.”

Parasurama menunduk dan menghormat Sri Rama dengan takzim, “Sri Ramji, ada dua busur dibuat Dewa Wiswakarma, yang satu dipersembahkan kepada Shiva yang akhirnya menjadi pusaka Prabu Janaka dan satu lagi dipersembahkan kepada Wisnu yang sekarang kubawa. Aku telah mengerti siapa sejatinya dirimu. Penyerahan busur kepadamu tadi merupakan makna simbolis penyerahan kewenangan Avatara Wisnu kepadamu. Aku masih mempunyai perjanjian untuk menemui Resi Kasyapa di pegunungan Mahendra, ijinkan aku mohon diri.”

Parasurama mengakhiri tugasnya sebagai avatara pembunuh para kshatriya. Dia segera pergi menuju pegunungan Mahendra menjadi Chiranjiwin, manusia yang dikaruniai usia yang sangat panjang.

Menghadapi perubahan dunia

Konon, pada saat terjadi ketidakseimbangan antara adharma dan dharma, maka datanglah avatara, Kebenaran yang mewujud dalam diri seorang manusia. Pada waktu adharma berwujud sebagai Bali yang pada dasarnya baik, datanglah Vamana Avatara, seorang brahmana yang bijak. Pada waktu adharma berwujud sebagai para kshatriya dan raja yang lalim, datanglah Parasurama, brahmana yang tegas tak kenal ampun terhadap kelaliman. Pada saat adharma berwujud raksasa yang mau menang sendiri, suka menjarah milik orang lain, datanglah Sri Rama, kshatriya yang bijak. Dunia selalu berubah.

Perkembangan terus-menerus itulah hukum alam. Orang yang ingin bertahan dengan dogma-dogma (lama) untuk menunjukkan konsistensi diri, sesungguhnya berada pada posisi yang salah. Kenapa orang yang seperti itu berada pada posisi yang salah? Karena, perubahan adalah hukum alam. Sementara mereka yang fanatik terhadap dogma-dogma, dan tidak memahami nilai-nilai luhur di baliknya, terperangkap oleh ego mereka sendiri. Ego yang ingin membuktikan dirinya konsisten. Konsistensi dianggap nilai-nilai luhur, padahal tidak demikian. Apa yang konsisten di dalam dunia ini? Apa yang konsisten dalam diri kita? Setiap beberapa tahun, bahkan seluruh sel di dalam tubuh kita berubah total. Dari zaman ke zaman, ajaran-ajaran luhur pun perlu dimaknai kembali, dikonstektualkan. Kebiasaan-kebiasaan lama mesti diuji terus apakah masih relevan, masih sesuai dengan perkembangan zaman. Ah, tapi kita malas. Kita tidak mau berijtihad, tak mau berupaya, lalu menerima saja apa yang disuapkan kepada kita. Padahal kitab-kitab suci pun melarang kita mengikuti seseorang secara membabibuta, walaupun orang itu rahib atau mengaku sebagai agamawan atau rohaniwan.