GotoBus

Belantara Hasrat di Hutan Dandaka

Kita sebenarnya mencari kebahagiaan abadi. Kita mencari kebahagiaan spiritual. Kita tidak pernah bahagia, tidak pernah terpuaskan oleh kenikmatan inderawi yang memang hanya sementara. Sayangnya, banyak dari kita tidak menyadari hal ini. Kita tidak menyadari kesalahan kita sendiri, harapan dan ekspektasi yang salah. Bagaimana bisa merasakan kebahagiaan abadi dari materi atau benda yang tidak abadi? Inilah yang menjadi alasan ketidakbahagiaan kita, kekhawatiran kita, stress dan depresi. Kita senantiasa mencari kebahagiaan, namun hanya segelintir yangmenemukan kebahagiaan itu. Kenapa? karena mereka yang segelintir ini mencari kebahagiaan di tempat dan sumber yang tepat. Kebahagiaan itu lebih bersifat rohani dan, oleh karena itu, harus ditemukan di dalam ruh, dari dalam diri masing-masing. Kebahagiaan tidak bisa dicari di luar diri, dari benda-benda luar.

Menemui para resi yang tinggal di Hutan Dandaka

Di dalam hutan belantara hukum yang berlaku adalah “fight or flight”, melawan untuk keluar sebagai pemenang atau takut dan melarikan diri. Hukum Rimba “fight or flight” ini membuat manusia kuno, manusia zaman batu dan besi , menjadi keras, alot. Ya, otot-ototnya menjadi kuat, karena ia sering menggunakannya. Ia harus menaklukkan binatang-binatang di hutan demi keberlangsungan hidupnya. Ia harus membunuh demi keselamatannya.

Sri Rama menemui para resi yang tinggal di hutan belantara Dandaka. Semua resi merasa terberkati dan mempersembahkan ilmu yang diperolehnya kepada Sri Rama. Kemudian, ada beberapa resi yang mohon bantuan Sri Rama untuk memusnahkan para raksasa. Menurut mereka sudah banyak resi yang dibunuh para raksasa dan mereka memperlihatkan tumpukan tulang belulang korban pembunuhan para raksasa. Sri Rama berjanji akan memusnahkan para raksasa.

Dewi Sinta adalah seorang wanita yang tabah, bersedia mengikuti Sri Rama meninggalkan kenyamanan istana, bahkan sudah mengalaminya selama 10 tahun. Akan tetapi dia tetap mengkhawatirkan Sri Rama, “Suamiku, Dikau mempunyai kesepakatan untuk hidup di hutan selama 14 tahun, tetapi tak ada kesepakatan untuk berperang melawan raksasa. Bukankah para raksasa tidak langsung mengganggu kita? Ada tiga kecenderungan lelaki yaitu dusta, nafsu berahi dan kekerasan, dua yang pertama jelas jauh dari sifat kanda, dinda takut kakanda terlibat dalam kekerasan.”

“Duhai Dinda, ada skenario Keberadaan yang kadang tidak dipahami manusia. Kala ego pribadi sirna, manusia akan sadar bahwa Keberadaanlah yang bekerja lewat dirinya. Bagaimana pun tugasku adalah menegakkan dharma. Dan para resi terganggu oleh ulah para raksasa, mari kita menemui Resi Agastya di daerah selatan yang pernah membantu para resi melawan raksasa. Para raksasa tidak berani mengganggu dia.”

Konon Resi Agastya bersama istrinya Lopamudra hidup di hutan daerah selatan. Adalah dua raksasa, Watapi dan Ilwala yang suka mengganggu para pertapa. Mereka adalah raksasa yang sakti dan suka mengerjai para resi. Watapi mempunyai kemampuan untuk menjadikan dirinya menjadi potongan-potongan daging, akan tetapi saat dipanggil Ilwala, potongan-potongan tersebut akan kembali bersatu dan hidup kembali.

Ilwala sering mengundang para resi untuk bersantap bersama di tempat tinggalnya. Ilwala paham bahwa para resi pantang menolak bila diundang makan dan tidak ada keperluan lain yang mendesak. Para resi disuguhi makanan dengan lauk daging yang sebenarnya berasal dari potongan tubuh Watapi. Pada saat acara makan selesai, Ilwala dengan tertawa memanggil Watapi, “Watapi, keluarlah!” dan daging-daging dalam usus para resi tersebut menyatu menjadi Watapi dan usus para resi terburai.

Makna kisah ini amat indah. Seseorang ditawari makanan, dan dia sungkan menolaknya dan memakannya. Dia tak sadar bahwa dalam makanan tersebut terdapat benih keraksasaan yang menghancurkan pengendalian dirinya. Makanan yang dimaksudkan bukan hanya makanan yang bersifat rajas, yang membuat aktif tetapi makanan berupa tontonan, lagu, parfum, paham atau apa pun yang dikonsumsi panca indera dan otak. Apabila tidak waspada pengendalian diri bisa hancur.

Pada suatu saat Resi Agastya diundang makan oleh Ilwala, dan disuguhi makan dengan lauk daging Watapi. Dan, ketika Ilwala memanggil Watapi, “Watapi, keluarlah!”….. Watapi tidak keluar. Resi Agastya tersenyum, “dagingnya sudah kucerna!” Ilwala marah dan menyerang Agastya, tetapi tubuhnya hancur menjadi abu.

Sri Rama berkunjung ke ashram Resi Agastya dan diberi hadiah busur Wisnu dengan anak panah yang tak pernah habis.

Sarpakenaka

Sarpakenaka adalah adik dari Prabu Rahwana, seorang raksasa wanita yang jelek rupa dan selalu ingin memenuhi semua hasratnya. Sarpakenaka sudah punya suami, Karadusana anak buah Rahwana. Kesaktian Sarpakenaka adalah bisa mengubah wujudnya menjadi wanita yang sangat cantik, keahlian tersebut juga dipunyai oleh PIL (Pria Idaman Lain) nya Kala Maricha, juga orang kepercayaan Rahwana yang dapat mengubah wujud menjadi seperti apa pun yang dinginkannya.

Sarpakenaka terpesona melihat dua lelaki tampan, Sri Rama dan Laksmana yang sedang berada di hutan, dia mengubah wujudnya menjadi seorang wanita yang cantik menawan. Sri Rama yang sudah mempunyai pasangan tidak tertarik kepadanya dan Sarpakenaka mencoba mengadakan pendekatan ke Laksmana.

Nafsu mewarnai segala aspek kehidupan kita. Nafsu untuk mengejar harta, nama, atau apa saja – sama dengan hawa nafsu yang sering kita kaitkan dengan birahi, dengan seks. Nafsu adalah nafsu. Ada yang menyalurkannya lewat seks di dalam kamar, di atas ranjang. Ada yang melampiaskannya di dalam Gedung Perwakilan Rakyat dengan melacurkan jiwa dan menggadaikan amanah yang mereka peroleh dari rakyat, demi kursi, demi keuntungan pribadi. Ada juga yang terangsang melihat jumlah umatnya bertambah; peduli amat bila kualitas mereka tak pernah meningkat… Semua itu adalah permainan nafsu! *

Laksmana bermakna, “tujuan yang jelas”, dalam hal ini tujuannya mengabdi kepada Sri Rama. Rama berarti “Dia yang ada di mana-mana”. Laksmana pun tidak tertarik dengan wanita cantik tersebut, bahkan dia dapat mencium bau raksasa pada wanita tersebut. Kala wanita tersebut memaksa memeluknya, Laksmana mengelak dan memuntir hidungnya. Hidung sang wanita patah dan berubah wujud menjadi raksasa wanita Sarpakenaka.

Sarpakenaka dendam dan lapor kepada suaminya yang dengan balatentaranya segera menyerang Sri Rama dan Laksmana. Seluruh raksasa mati terbunuh oleh panah pemberian Resi Agastya. Sarpakenaka segera lapor kepada Prabu Rahwana peristiwa yang terjadi padanya. Rahwana juga tahu bahwa Sri Rama berniat memusnahkan seluruh raksasa anak buahnya yang suka mengganggu para resi.

Rahwana segera menyusun rencana untuk menculik Dewi Sinta, untuk memberi pelajaran kepada Sri Rama. Rahwana ingat kepada musuh utamanya sebelum Sri Rama yaitu Prabu Harjuna Sasrabahu. Untuk mengalahkan sang prabu yang sakti, Rahwana menipu Dewi Citrawati, isteri sang prabu sehingga sang permaisuri bunuh diri. Kematian isteri membuat Prabu Harjuna Sasrabahu semangatnya melemah, meninggalkan kerajaan dan mati dibunuh oleh Parasurama. Rahwana ingin menjatuhkan semangat Sri Rama dengan menculik Dewi Sinta, sehingga Sri Rama mudah dikalahkan.

Dunia ingin memiliki kita. Keluarga, kerabat dan orang-orang yang mengaku seumat dan seiman ingin memiliki kita. Lembaga-lembaga keagamaan dan politik berebutan untuk memiliki kita. Kadang mereka bergabung untuk menyatakan kepemilikan mereka atas diri kita. Berhati-hatilah, kapal kita berada di tengah laut, wilayah kekuasaan para pembajak laut. Barangkali kita tidak melihat mereka, karena mereka selalu bersembunyi di balik ombak. Mereka pintar, licik. Kapan saja mereka dapat berlaga untuk membajak jiwa kita, untuk menumpas kesadaran kita. *

Kijang Kencana

Sepuluh tahun sudah Dewi Sinta, setia mendampingi Sri Rama mengembara di Hutan Dandaka, meninggalkan kenikmatan duniawi di istana. Kala Dewi Sinta sedang sendirian ditinggal Sri Rama dan Laksmana yang sedang berburu, dia didekati kijang kencana yang sangat indah. Hasrat Dewi Sinta untuk memiliki kijang tersebut timbul. Pikiran bawah sadar tentang kenikmatan istana duniawi yang tekubur selama sepuluh tahun naik ke permukaan. Dewi Sinta tidak sadar bahwa kijang kencana tersebut adalah jelmaan dari raksasa Kala Maricha.

Dunia tidak pernah berhenti merayu kita. Dunia tidak rela melepaskan diri kita. Ia selalu berupaya agar kita menjadi bagian darinya. Bila rayuannya tidak berhasil, ia akan mengecam, mengancam, mendesak dan memaksa dengan menggunakan segala daya upaya. Pokoknya, kita tidak boleh keluar dari lingkarannya. Lingkaran setan kelahiran dan kematian yang tidak berkesudahan. *

Ketika Sri Rama dan Laksmana datang, Dewi Sinta yang tergoda kijang kencana mohon Sri Rama berkenan menangkapkan untuknya dalam keadaan hidup-hidup. Si kijang lari dan dikejar Sri Rama yang berpesan kepada Laksmana untuk menjaga Dewi Sinta kala dia mengejar kijang tersebut. Si Kijang lari dengan lincahnya dan dikejar Sri rama sehingga menjauhi tempat Dewi Sinta berada.

Sri Rama adalah seorang avatar, Gusti yang mewujud sebagai manusia untuk menyelesaikan tugas tertentu, tugas menegakkan dharma di kala adharma merajalela. Mereka yang berada dekat Sri Rama adalah manusia-manusia pilihan yang mendampingi Sri Rama dalam menegakkan dharma.

Dunia ibarat suatu yayasan dan kita dinobatkan sebagai pengurus untuk masa tertentu. Ya, kita semua adalah pengurus bagian dunia yang telah ditetapkan bagi kita masing-masing. Barangkali bagian itu kecil, barangkali besar, barangkali berupa negara, atau rumah tangga. Jadilah seorang pengurus yang baik. Apapun tugasnya, laksanakanlah dengan baik. *

Rama berarti ‘Dia yang berada di mana-mana’. Rama bukan hanya seorang Raja seperti Prabu Dasarata ayahandanya. Seorang raja akan dikelilingi orang-orang yang ingin berebut paling dekat dengan sang raja. Terjadi intrik-intrik saling menjatuhkan. Bukankah di antara tiga istri Prabu Dasarata sebetulnya juga ada rasa takut tersaingi?

Tidak demikian dengan seorang avatar, yang diyakini sebagai Gusti yang mewujud untuk menegakkan dharma. Dia mempunyai sifat berada di mana-mana, dia bersemayam di hati nurani para bhaktanya. Mereka yang bersaing mendapatkan perhatian fisik seorang avatar masih berada dalam tataran fisik. Kita bisa melihat avatar yang lain, Sri Krishna, yang konon mempunyai isteri 16.000 orang dan digambarkan Sri Krishna dapat memecah tubuhnya sehingga bisa hidup bersama dengan semua istrinya. Semua ‘gopi’ rindu dengan Sri Krishna dan semuanya merasa paling disayangi Sri Krishna. Demikianlah gambaran Gusti yang menyayangi, mengasihi semua makhluknya. Hubungan setiap pribadi dengan Sang Gusti merupakan hubungan yang khas tidak seragam.

Hanya Laksmana, ‘dia bertujuan jelas’ mengabdi dan nantinya ditambah Hanuman, ‘sang bhakta yang selalu melayani’ yang bisa menjadi pendamping Sri Rama.

Mustahil Sri Rama tidak tahu bahwa kijang tersebut adalah jelmaan dari Kala Maricha. Sri Rama sengaja mengikuti skenario alam, dia mengejar kijang kencana dan akhirnya memanahnya, sehingga si kijang mati dan kembali ke wujud asalnya, Kala Maricha yang telah terpanah di dadanya. Teriakan kesakitan Kala Maricha terdengar dari kejauhan. Sehingga Dewi Sinta khawatir dan meminta Laksmana mengejar Sri Rama mencari tahu permasalahannya.

Dewi Sinta mewakili ‘human soul’, roh manusia yang berbahagia berada dekat Tuhannya, menjadi kekasihnya. Dia sudah meninggalkan kenyamanan istananya duniawinya mengikuti Tuhan (Rama). Akan tetapi walau sekian lama berada dekat Tuhan, dia terjebak kijang duniawi dan berdoa pada Tuhan mohon memberikan keduniawian.

Tuhan ibarat fasilitator, mengikuti kemauan manusia. Pilihan duniawi akan mengakibatkan resiko duniawi dan nantinya bahkan Dewi Sinta sampai disekap Rahwana, disekap ego, keraksasaan dalam diri manusia.

Tipologi karakter manusia

Raksasa Kala Maricha dengan Subahu pernah menyerang Sri Rama yang melindungi padepokan Wiswamitra, bahkan Subahu mati dan Kala Maricha terlempar jauh dengan luka parah dan melaporkan kejadian kepada Rahwana.

Kala Maricha juga mewakili ‘human soul’, roh manusia yang pernah merasakan babak belur akibat melawan Kehendak Alam. Akan tetapi dia takut dengan Rahwana, takut dibunuh Rahwana, takut penderitaan duniawi, sehingga menuruti egonya untuk menggoda ego Dewi Sinta agar tertarik duniawi. Akhirnya Kala Maricha pun tetap mati juga, siapa yang tidak mati di dunia fisik ini? Persoalannya adalah bahwa dia menggunakan hidupnya untuk melawan Keselarasan Alam.

Sebuah dilema muncul pada diri Laksmana. Tujuannya jelas mengikuti Sri Rama dan Sri Rama meminta dia melindungi Dewi Sinta, saat Sri Rama mengejar kijang kencana. Kini dia mendengar jeritan di kejauhan. Dewi Sinta minta dirinya mengejar Sri Rama. Laksmana berada dalam dilema, mengikuti permintaan Tuhan atau mengikuti Tuhan. Akhirnya dia mengambil keputusan, membuat pagar lingkaran keselamatan di sekeliling Dewi Sinta yang dianggapnya mengikuti permintaan Tuhan dan kemudian mengikuti Tuhan (Sri Rama).

Kata-kata itu terbatas dan banyak tafsirnya. Dilema Laksmana adalah mengikuti kata-kata yang mempunyai tafsir berbeda-beda atau mengikuti si pemberi kata-kata. Beruntunglah mereka yang Guru Rohaninya masih hidup, sehingga keraguan tafsir kata-kata dapat ditanyakan kepadanya. Kalau sang guru telah tiada, maka manusia harus mengadakan ijtihad, berusaha memahami yang tersirat. Akan tetapi, kebanyakan manusia malas dan hanya mengikuti dogma tafsiran yang disampaikan dari abad ke abad.

Ah, kita masih ragu. Kita masih bimbang. Kita masih takut. Kita masih memikirkan pendapat orang, dan pandangan dunia. Kita masih mengharapkan masyarakat merestui hubungan kita. Sesungguhnya, harapan kita tidak pada tempatnya. Kita tidak membutuhkan fatwa untuk berhubungan dengan Tuhan, kita tidak membutuhkan izin dari siapa pun jua. Bahkan kita tidak dapat dipaksa untuk menyebut Tuhan, Bapa di Surga, Bunda Alam Semesta, Kekasih Agung, Raja di atas segala Raja atau dengan salah satu sebutan yang lain. Kita bebas untuk menentukan sebutan dan sifat dari hubungan kita dengan Tuhan. Jangan kita terlalu percaya pada apa yang dikatakan oleh dunia, karena ia sendiri masih bingung. Apa yang diketahuinya tentang hubungan antarmanusia saja ia masih selalu keliru, apalagi tentang hubungan manusia dengan Tuhan. *

Dewi Sinta lengah ketika seorang pengemis tua meruntuhkan ibanya. Dirinya, melupakan nasehat Laksmana untuk jangan keluar dari pagar pengaman. Tanpa sadar tangan Dewi Sinta terjulur keluar berniat memberi kepada sang pengemis. Dan, dalam hitungan detik tangan pengemis tersebut sudah menarik Dewi Sinta keluar dari pagar pengaman. Rahwana paham atas kelemahan hati seorang wanita yang penuh rasa iba terhadap seorang pengemis tua yang menderita.

Kemudian dirinya dibawa lari Rahwana, dan Jatayu, seekor burung garuda raksasa berusaha merebutnya, terjadilah perang tanding yang hebat. Dia sangat sedih tatkala Jatayu luka parah dan ditinggal pergi Rahwana yang kembali membawa lari dirinya. Dewi Sinta selalau berdoa agar Jatayu dapat bertemu Sri Rama dan menyampaikan keadaan yang terjadi pada dirinya.

Jatayu adalah sabahat baik Prabu Dasarata, dia ingin menyelamatkan Dewi Sinta, akan tetapi kalah berperang melawan Rahwana. Jatayu sengaja mempertahankan nyawanya sampai dapat bertemu Sri Rama dan menjelaskan siapa yang menculik Dewi Sinta, dan keinginannya tercapai. Jatayu mewakili sifat manusia yang membela dharma, kebenaran dan walaupun kalah, bahkan mengalami kematian fisik dalam melawan adharma, tetapi akhirnya dia bertemu Tuhannya.

Hikmah Ramayana

Karakter manusia tak banyak berubah. Konon Sri Rama hidup sekitar 10.000-an tahun yang lalu, akan tetapi karakter manusia tak banyak berubah. Wujud raksasa memang sudah tidak ada lagi, mereka sudah berevolusi sebagai manusia. Akan tetapi sifat keraksasaan masih ada dalam diri manusia. Sesungguhnya semua karakter para pelaku ramayana masih ada dalam diri kita, sehingga kita perlu introspeksi terhadap karakter kita.

Sebuah kisah seperti Ramayana menggunakan rasa dan menggambarkannya dalam wujud fisik. Mereka yang melihat dengan kacamata logika akan mengalami kekecewaan, karena rasa melampaui logika.

Dari sangkar ke kamar, dari kamar ke pekarangan rumah, dan dari pekarangan rumah ke alam bebas – itulah perjalanan jiwa. Sangkar adalah pikiran, pekarangan rumah adalah alam rasa… dan alam bebas adalah alam Kesadaran Murni. Antara pikiran dan kesadaran ada alam rasa. Alam rasa adalah alam dengan kebebasan terbatas; bukan kebebasan yang dibatasi, tetapi kebebasan yang membatasi diri, karena sesungguhnya pekarangan rumah adalah bagian dari alam bebas. Ia sudah menjadi bagian dari alam bebas, walau tetap juga berfungsi sebagai pekarangan rumah. Cinta adalah Alam rasa. Cinta berada antara pikiran yang membelenggu dan kesadaran yang membebaskan. Satu di bawah cinta kita terbelenggu: kita jatuh kepada nafsu. Satu langkah di atas cinta, kita terbebaskan dari segala macam belenggu. Kita memasuki kasih!