GotoBus

Mengamati Sifat Sugriwa dan Subali Dalam Diri

Saat marah-marah, dalam keadaan pikiran kacau dan emosi bergejolak, napas ikut menjadi kacau. Kita cenderung menarik dan membuang napas lebih cepat. Itulah yang saya maksud dengan pemborosan napas. Napas kita menjadi 24 hingga 32 siklus per menit. Keputusan yang kita ambil pada saat-saat seperti itu terbukti hampir selalu salah. Janganlah mengharapkan kreativitas dari seseorang yang sedang bernapas cepat. Kreativitas adalah hasil pikiran yang tenang, jernih, dan emosi yang stabil. Kedua hal itu merupakan prasyarat utama bagi pengembangan kreativitas diri. Seekor kera bernapas 32 hingga 36 siklus per menit, maka ia tidak sekreatif manusia; padahal anatomi otaknya tidak jauh berbeda dari anatomi otak manusia. Dengan napas normal 15 siklus per menit saja kita sudah dapat berpikir, dan bertindak sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Keberhasilan kita selama ini berdasarkan sikluls napas normal tersebut. Kurangi siklus napas Anda, maka Anda dapat menambah tingkat keberhasilan Anda. Dengan mengurangi siklus napas, otak kita dapat mencerna lebih baik, dan dapat berpikir lebih jernih. Ide-ide baru pun muncul, sehingga kita menjadi lebih kreatif. Kreativitas itulah yang membuat kita lebih berhasil!

Gelombang otak dan frekuensi napas

Alat pengukur gelombang otak adalah Electro Encephalograph (EEG). Grafik EEG menunjukkan pergerakan gelombang otak. Satuan ukuran dalam EEG adalah hertz.

Keadaan tegang atau rileks mempengaruhi gelombang otak. Pada waktu normal, keadaan dimana dalam satu saat pikiran terpecah, misalnya sambil menyetir mobil, ngobrol dengan teman sebelah, memperhatikan orang mau menyeberang, juga melihat reklame, maka gelombang otak berkisar 14 hertz. Kondisi gelombang otak antara 14 – 30 hertz disebut kondisi beta.

Pada waktu pikiran mulai terfokus, misalnya membaca buku dengan asyik, sehingga tubuh mulai tidak terpikirkan maka kita mulai masuk kondisi alpha, antara 14-7 hertz. Pada waktu itu napas kita menjadi lebih tenang, kondisi tersebut juga terjadi ketika kita melakukan meditasi atau pada waktu akan tidur.

Apabila gelombang otak melambat antara 7-3.5 hertz, diri kita akan lebih tenang lagi, diri kita masih ada tetapi fisik sudah terabaikan sama sekali. Kondisi tersebut dikenal sebagai kondisi theta. Keadaan itu juga terjadi pada waktu kita bermimpi.

Apabila napas semakin melambat maka akan terjadi ‘deep sleep’, tidur tanpa mimpi, dan gelombang otak berkisar 3.5-0.5 hertz. Ketika itu terjadi peremajaan dan penyembuhan sel tubuh. Ketika sedang sakit, seseorang akan tidur lebih banyak karena tubuh berusaha menyembuhkan dirinya sendiri. Pada waktu keadaan koma, gelombang otak berada pada 0.5 hertz. Sebaliknya ketika pikiran begitu kacau, napas begitu tak teratur gelombang otak berada pada kondisi gama, diatas 30 hertz.

Antara manusia dan kera

Konon anatomi otak manusia dan otak kera hampir sama, perbedaannya terletak pada cara bernafasnya. Kera bernafas sekitar 32 siklus per detik sedangkan manusia pada saat normal bernafas dengan 14 siklus per detik. Perbedaan nafas itu membuat kera lebih sembrono dan tergesa-gesa mengambil keputusan.

Dalam diri kera masih terdapat sifat bawaan asli hewani, ‘fight or flight’, berkelahi bila merasa menang atau lari bila merasa kalah menghadapi musuhnya. Manusia purba pun harus menaklukkan binatang-binatang di hutan demi keberlangsungan hidupnya. Ia harus membunuh demi keselamatannya. Reaksi awalnya adalah ‘fight or flight’.

Sun Tzu mewakili manusia primordial, di mana satu-satunya hukum yang berlaku adalah “fight or flight”, melawan untuk keluar sebagai pemenang atau takut dan melarikan diri dari medan perang, menghindari peperangan. Hukum ini membuat manusia kuno, manusia zaman batu dan besi , menjadi keras, alot. Ya, otot-ototnya menjadi kuat, karena ia sering menggunakannya. Ia mesti menggunakannya. Ia harus menaklukkan binatang-binatang di hutan demi keberlangsungan hidupnya. Ia harus membunuh demi keselamatannya. *

Sugriwa dan Subali konon asalnya manusia yang masih memiliki sifat kekeraan. Mereka sudah bertapa selama bertahun-tahun, sudah semestinya mereka melampaui sifat-sifat kekeraan, akan tetapi ternyata sifat kesembronoan dan ketergesaan masih ada dalam diri mereka. Apakah sifat ini juga masih melekat dalam diri kita? Cara pandang kita terhadap peristiwa Sugriwa dan Subali, bisa berbeda, akan tetapi yang penting adalah bagaimana kita dapat memanfaatkan kisah tersebut untuk meningkatkan kesadaran diri kita.

Bertemu Hanuman keponakan Sugriwa

Dalam pencarian Dewi Sinta, Sri Rama dan Laksmana dihadang Raksasa Kabanda. Kabanda dapat dikalahkan dan Laksmana diminta Sri Rama membuntungi kaki dan tangan Kabanda. Kabanda berkata, “ Wahai Sri Rama, Narayana yang mewujud untuk membasmi adharma. Aku telah berbuat salah dan dikutuk menjadi raksasa, hutang kesalahanku akan terlunaskan kala seorang avatara membuntungi tangan dan kakiku yang telah berbuat kesalahan. Kini aku telah terbebaskan, dan aku akan melanjutkan perjalananku. Mengenai Dewi Sinta, jangan khawatir, Dewi Sinta tidak dapat disentuh oleh Rahwana, kesucian Dewi Sinta akan menyebabkan siapa pun yang berniat tidak baik terhadapnya akan terbakar. Carilah Sugriwa, dia menguasai seluruh hutan ini dan dia dapat membantu menemukan Dewi Sinta.”

Dan Raksasa Kabanda pun meninggal dunia. Kabanda yang percaya kepada ‘Sri Rama’, ‘Dia Yang Berada di Mana-Mana’, menyerahkan anggota tubuhnya untuk tidak mengikuti nafsunya ‘mind’-nya lagi.

Selanjutnya, Sri Rama dan Laksmana bertemu dengan Sabari, adik perempuan Resi Matanga. Sabari yang sudah tua renta sebetulnya ingin mati tatkala Resi Matanga mendekati kematian, akan tetapi hal tersebut dilarang oleh sang resi dan diminta menunggu ‘darshan’, bertemu dengan Sri Rama. Setelah bertemu Sri Rama, Sabari meninggal dunia. Begitu sabarnya seseorang menunggu bertemu dengan seorang avatar, apakah kita akan punya kesabaran seperti Sabari yang menunggu bertahun-tahun untuk bertemu dengan orang suci? Kesucian kita mungkin telah tertutup karat dunia, sehingga tidak dapat merasakan kebutuhan bertemu orang suci. Kabanda dan Sabari telah mendapatkan kedamaian hati.

Kedamaian-Mu adalah ketenangan diriku. Kehendak-Mu menuntut langkahku. Kepasrahan seperti ini “terjadi” bila kita sudah tidak mengejar apa-apa lagi. Tidak “mau” ke mana-mana lagi. Kemauan diri telah hanyut dalam Kehendak Ilahi. Kepasrahan tidak berarti anda duduk diam di rumah. Keledai “badan” masih butuh makan. Keledai “pancaidra” masih perlu dikendalikan. Anda masih menunggangi keledai “kehidupan”. Tetaplah bekerja dan berupaya, tetapi berhenti kejar-mengejar.

Di dekat tempat tersebut Sri Rama bertemu Hanuman. Begitu bertemu Sri Rama Hanuman merasa berbahagia, inilah Guru yang selalu ditungguinya selama ini. Beruntunglah Hanuman, bila Kabanda dan Sabari mati begitu bertemu dengan Sri Rama, maka Hanuman justru memulai hidup baru setelah bertemu Sang Guru. Sifat kekeraan hanuman lenyap bila selalu mengabdi kepada Sri Rama, Hanuman menjadi bhakta dari Dia Yang Berada di Mana-mana. Hanuman pasrah kepada kehendak Sri Rama. Setelah memperkenalkan diri, Hanuman menggendong Sri Rama dan Laksmana di pundaknya naik ke bukit Malaya, tempat Sugriwa berada.

Tiga bersaudara Anjani, Subali dan Sugriwa

Anjani, Subali dan Sugriwa adalah putra-putri Resi Gotama dengan Dewi Windradi yang sedang meningkat remaja. Pada suatu hari Dewi Windradi menghadiahkan sebuah ‘cupu’ kepada Anjani. Melihat keajaiban cupu tersebut, ketiga bersaudara berselisih memperebutkan barang tersebut. Sang ayah mengambil ‘cupu’ tersebut dan membuang ke telaga Madirda. Kedua kakaknya langsung terjun ke telaga mencari cupu, sedangkan dirinya menunggu di tepi telaga dan karena kepanasan maka dia membasahi mukanya dengan air telaga. Subali dan Sugriwa berubah menjadi kera, sedangkan Anjani, wajahnya berubah menjadi wajah kera.

Bertiga mereka menangis menghadap sang ayahanda yang kemudian memberi nasehat, “Kalian belajar mengendalikan diri, dimulai dari mengendalikan fisik makan dan minum. Kemudian sadarilah dirimu, fisikmu, energi hidupmu, mental emosionalmu, intelegensiamu. Anjani, bersyukurlah, sebagai wanita kau sudah memiliki kelembutan. Bertapalah seperti Kodok di telaga ini. Kodok adalah binatang yang luar biasa. Dia bisa hidup di air dan bisa hidup di darat. Manusia juga hidup di alam kasar ketika jaga.”

“Subali dan Sugriwa, pada suatu saat kalian akan menjadi raja kera. Subali kau akan membantu dunia melenyapkan raksasa berkepala kerbau dan berkepala sapi. Hari ini kalian berselisih memperebutkan ‘cupu’ mainan, karena kalian masih anak-anak menjelang remaja. Pada suatu saat kau akan berselisih dengan adikmu memperebutkan tahta dan wanita, dan kalau sudah ada manusia tampan dengan muka bersinar, terimalah kematianmu olehnya, berbahagialah melepaskan raga di tangan titisan Bathara Wisnu.”

“Sugriwa, kau harus membantu raja titisan Wisnu dalam melenyapkan kaum raksasa yang merupakan campuran antara manusia dan hewan. Demi evolusi, ‘sub human species’ itu harus punah.”“Anjani, teruslah bertapa sampai mendapatkan suamimu. Anakmu adalah seorang ‘bhakta’ dari raja titisan Wisnu. Tugasmu amat mulia melahirkan putra idola alam semesta, nama cucuku ini akan dikenang sepanjang masa.”

Pada umumnya, manusia tak pernah lepas dari keterikatan. Di waktu anak-anak obyek keterikatan adalah mainan, menjelang dewasa obyek keterikatan adalah lawan jenis. Setelah mandiri, obyek keterikatan adalah harta dan tahta, dan di masa tua obyek keterikatan adalah obat-obatan. Bisakah manusia terlepas dari keterikatan?

Ini tidak berarti melarikan diri dari tanggung jawab. Tidak berarti meninggalkan rumah dan menjadi seorang pertapa. Melepaskan keterikatan berarti melepaskan rasa kepemilikan. Tuhan adalah Pemilik tunggal semuanya ini. Anda ada atau tidak, dunia ini akan tetap ada. Menganggap diri sebagai pelaku hanya menunjukkan ego Anda. Tanpa diri Anda pun semuanya akan berjalan biasa, bahkan mungkin lebih lancar.

Perselisihan Sugriwa dan Subali

Subali dan Sugriwa mendapat tugas dari para dewa untuk membasmi Maesasura, raksasa berkepala kerbau bersama patihnya Jathasura, raksasa berkepala lembu. Sampai di goa tempat para raksasa tersebut, Subali minta Sugriwa menjaga di depan goa dan berpesan, bahwa apabila dalam perkelahian keluar darah berwarna putih, artinya Subali mati dan goa agar ditutup dengan batu besar, supaya kedua raksasa tidak dapat keluar lagi. Subali yakin darahnya berwarna putih sedang darah para raksasa adalah berwarna merah. Subali telah bertindak sembrono dan melupakan bahwa darah dari otak kedua raksasa tersebut juga berwarna putih.

Bertarunglah Subali dengan kedua raksasa di dalam goa, dan pada saat tersebut Sugriwa mendengar teriakan dari Subali dan kedua raksasa yang diikuti keluarnya darah merah dan putih. Sugriwa juga melakukan ketergesaan dan kesembronoan dengan menutup goa. Mungkin Sugriwa kurang jeli melihat bahwa jauh lebih banyak darah merah dari pada darah putihnya.

Sugriwa kemudian menjadi raja kera dan mendapat hadiah Dewi Tara yang cantik sebagai isterinya. Dan mereka hidup berbahagia. Subali yang berhasil membunuh kedua raksasa segera keluar goa, dan merasa sangat kecewa karena goa sudah tertutup. Subali hidup beberapa lama dalam goa dan akhirnya berhasil keluar dari goa.

Subali mendengar bahwa Sugriwa telah menjadi raja, dan memperoleh hadiah Dewi Tara karena Raksasa Maesasura dan Jathasura telah mati. Kemarahan Subali memuncak, dalam pikirannya Sugriwa telah berkhianat. Saat bertemu Subali, Sugriwa memberikan alasan mengapa menutup goa dengan batu, akan tetapi Subali tidak bisa menerima alasan tersebut, kemudian mereka berkelahi.

Sugriwa kalah dan sembunyi di sekitar Padepokan Resi Matanga. Sugriwa masih takut bila Subali berniat membunuhnya, akan tetapi dia tahu Subali tidak berani mendekati padepokan Resi Matanga. Subali pernah berkelahi dengan Raksasa Dundubi dan melemparkan mayatnya jauh ke udara dan jatuh di padepokan Resi Matanga. Resi Matanga mengutuk bahwa Subali akan mati bila menginjakkan kakinya di tanah padepokannya. Selanjutnya Subali menjadi raja kera dan memperistri Dewi Tara dan berputra Anggada.

Amarah adalah benih kehancuran. Jika tidak cepat-cepat diurusi, diangkat, dan dibuang jauh, amarah akan menutupi pikiran kita. Kita tidak dapat berpikir secara jernih. Kita kehilangan akal sehat. Keputusan yang kita ambil sudah pasti salah. Akhirnya, hancurlah kita! *

Bertemu Sugriwa

Sri Rama dan Laksmana bertemu Sugriwa dan menceritakan permasalahannya. Sugriwa berjanji akan membantu Sri Rama menuju Alengka, Kerajaan Rahwana, setelah Sri Rama membantunya menaklukkan Subali. Kemudian Sugriwa meminta anak buahnya mengambil selendang yang dijatuhkan Dewi Sinta kala terbang diculik Rahwana.

Ikatan saudara kandung antara Sugriwa dan Subali tidak dapat dibandingkan dengan ikatan saudara antara Sri Rama dengan Bharata, walau mereka berbeda ibu. Sri Rama menerima keadaan dan menyerahkan tahta kepada Bharata, dan Bharata menolak dan hanya mau sebagai wakil sementara dan menempatkan sandal Sri Rama di singgasana, sampai Sri Rama kembali ke istana. Subali merebut tahta dan isteri Sugriwa dan mengusir Sugriwa ke hutan.

Sugriwa juga tidak seperti Bharata yang menolak tahta yang sebenarnya bukan haknya. Sugriwa paham bahwa yang mengalahkan raksasa adalah Subali, yang berhak mendapat hadiah adalah Subali, akan tetapi Sugriwa tetap mau menerima tahta dan hadiah Dewa, dengan alasan Subali telah mati.

Dalam hal ini benar atau salah adalah relatif, menurut pandangan masing-masing. Akan tetapi Sri Rama dan Bharata telah mengambil langkah yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan sedangkan Subali dan Sugriwa mengambil langkah yang kurang tepat. Diri kita sedang diuji Resi Walmiki, kita akan bertindak bagaimana bila mengalami peristiwa yang sama.

Epos Ramayana adalah sejarah dengan tambahan ‘bumbu-bumbu penyedap selera’. Karakter para pelaku dimaksudkan untuk menyingkapkan karakter diri pribadi kita menuju peningkatan kesadaran. Dan berbagai karakter tersebut dekat dengan karakter dari genetik kita. DNA kita sesuai dengan kisah-kisah Ramayana dan Mahabharata, akan tetapi secara sistematik ada pihak-pihak yang ingin memisahkan diri kita dengan budaya asal. Seseorang yang tidak menghargai budaya asalnya yang telah berakar sangat dalam, ibarat memotong akar-akar tanaman yang akan menyebabkan berdirinya pohon tidak mantap, mudah terombang-ambing, terpengaruh badai budaya asing, bahkan bisa roboh bila tidak waspada.

Kematian Subali

Sugriwa menantang Subali dan keduanya bertarung dengan seru, akan tetapi Sugriwa kalah dan melarikan diri. Dengan kecewa, Sugriwa bertanya, mengapa Sri Rama tidak membantunya. Sri Rama berkata bahwa sulit membedakan dua saudara yang sedang bertempur dan menyarankan agar dalam pertempuran selanjutnya Sugriwa memakai kalung bunga sebagai penanda diri.

Sugriwa kembali menantang Subali dan kembali terjadi pertarungan seru. Kali ini Sri Rama membidikkan panahnya dan Subali terpanah. Dalam keadaan luka, Subali teringat nasehat almarhum ayahnya agar dirinya ikhlas menerima kematiannya oleh seorang Avatara Wisnu. Subali bertanya pelan, “Wahai Sri Rama, mengapa seorang avatara membunuh seorang kera dari belakang, tidak berhadapan muka? Padahal saya tidak pernah punya permasalahan dengan paduka. Saya mohon penjelasan!”

Pertanyaan Subali, adalah pertanyaan kita, mengapa kita yang tidak punya kaitan permasalahan dengan seseorang dizalimi orang tersebut? Mungkin kita kurang beriman kepada ketetapan Gusti. Gusti telah menggunakan orang tersebut sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran kita.

Sri Rama menjawab, “Para raksasa mengganggu para resi di hutan, dan aku tanpa minta ijin Bharata membasmi para raksasa. Melihat tindakan adharma para raksasa, aku langsung menjalankan dharma dengan tegas. Teladanilah Jatayu, dia paham bahwa dia akan kalah dan mati melawan Rahwana. Tetapi dia tidak membiarkan Rahwana menculik Dewi Sinta begitu saja, dia bertarung memperebutkan Dewi Sinta demi kebenaran. Sugriwa akan kalah bertarung melawan Rahwana, akan tetapi dia mengambil selendang yang dijatuhkan Dewi Sinta dan memberitahu ke mana Rahwana pergi. Kau lebih sakti dari Rahwana, dan kau tahu Dewi Sinta diculik dan terbang lewat istanamu, dan kau tidak peduli. Kau membiarkan ketidakbenaran berlangsung, padahal kau mampu menyelesaikannya. Renungkanlah!”

“Kau merasa aku tidak bertindak sesuai kepatutan, memanah dari belakang mereka yang sedang bertarung. Coba renungkan, apakah tindakanmu merebut tahta dan istri Sugriwa sesuai kepatutan?”

Subali sadar dan bersyukur atas penjelasan Sri Rama, di akhir hayatnya di menyebut Ram…. Ram….. dan meninggal dunia.

Kita pun merasa hidup dalam masyarakat yang ruwet yang meninggalkan norma-norma kepatutan. Akan tetapi apakah kita sadar bahwa kita juga berbuat salah dengan ketidakpedulian kita pada waktu dahulu terhadap ketidakbenaran yang terjadi pada masyarakat kita?

Empat butir Kesadaran Awal atau Four Noble Truths ini diterjemahkan menjadi “laku”, praktik, oleh Bodhidharma, dan kita akan melihatnya berikut: Laku Pertama: Kemampuan untuk menerima ketidakadilan. Mereka yang hendak memasuki alam meditasi harus menghadapi segala rintangan dengan kesadaran ini: “Dalam sekian banyak masa kehidupan sebelumnya, aku telah berpaling dari hal-hal yang penting dan terikat pada hal-hal sepele yang tidak berarti…… aku telah berkelana melewati segala bentuk kehidupan…… mengamuk tanpa alasan, dan bersalah atas kemunduran diri. Sekarang, walau tidak berbuat salah aku masih harus bertanggung jawab atas perbuatanku yang lalu. Baik manusia maupun malaikat tak dapat memastikan kapan aku menerima ganjaran dari perbuatanku sendiri. Aku menerimanya dengan lapang dada, dan tanpa keluh kesah akan ketidakadilan.” menurut kitab-kitab suci, “Bila menghadapi musibah, janganlah engkau berkeluh kesah, karena apa pun yang terjadi bukanlah tanpa alasan.” Dengan pemahaman seperti itu, kau menjadi tenang dan dengan mudah memasuki alam meditasi.

Berhentilah berkeluh kesah, karena apa saja yang terjadi, yang menimpa diri kita, all of it, make sense. Kita memang harus menghadapi semua itu. Sikap nrimo, menerima hidup sebagaimana adanya, dan mengalir bersamanya akan mempermudah entry kita ke alam meditasi. Itu password nya.

Melihat ketidakbenaran yang terjadi di depan mata

Bagaimana pun melihat adanya ketidakbenaran yang terjadi di depan mata, minimal kita harus bersuara.

Janganlah engkau menyerah sebelum mencoba. Cobalah bersuara… kumpulkan seluruh tenagamu dan bersuaralah dengan jelas. Suaramu akan terdengar, pasti. Kau menjadi pemimpin karena keyakinanmu, semangatmu, suaramu. Percayalah pada dirimu. Sukarno seorang diri, Gandhi seorang diri, bahkan para nabi seperti Isa dan Muhammad pun seorang diri. Para bijak seperti Lao Tze dan Siddhartha juga seorang diri. Namun, merekalah yang mengubah dan membuat sejarah. “Barangkali banyak diantara kita takut bersuara.” Ya, itulah, sebab kita tidak bersuara. Kita takut. Bukan takut tidak didengar, tapi takut ribut. Takut mengundang persoalan. Saya pernah membaca di suatu tempat, “Dulu kelompok lain dianiaya, dan aku bungkam. Kupikir aku bukanlah bagian dari kelompok itu. Kemudian kelompokku dianiaya. Namun, sebelum kusadari, penganiayana pun terjadi pada diriku… dan tidak seorang pun maju untuk membantuku, karena semua beranggapan sama seperti diriku, yang dianiaya bukanlah mereka!”