GotoBus

Renungan Kisah Pada Relief Dinding Candi Mendut Tentang Angsa Terbang dan Kura-Kura

Renungan Kisah Pada Relief Dinding Candi Mendut Tentang Angsa Terbang dan Kura-Kura



Pada relief candi Mendut terdapat fabel atau cerita tentang hewan yang dikenal masyarakat pada zamannya. Pada salah satu relief tersebutlah kisah tentang seekor Kura-Kura dan dua ekor Angsa. Sepasang suami istri setengah baya sedang santai membicarakan kisah mereka. Kemudian mengkajinya dengan referensi buku “Kidung Agung, Melagukan Cinta Bersama Raja Salomo” dan “Atisha, Melampaui Meditasi untuk Hidup Meditatif”, karya Bapak Anand Krishna.

Sang Istri: Di sebuah kolam kecil seekor kura-kura berteman dengan dua ekor angsa. Terpengaruh pergantian musim, kolam tersebut kadang menyusut, kadang melimpah airnya. Kala air melimpah mereka bersuka ria. Kala air menyusut mereka menderita, bahkan cemas bila mengering kolamnya. Kedua angsa berkata bahwa mereka sudah bosan mengalami suka dan duka yang tak ada habisnya. Yang mungkin akan dialami mereka sepanjang hidupnya, sampai ajal menjemput mereka. Kedua angsa baru saja mendengar berita gembira. Seekor burung bijaksana berkata bahwa di puncak gunung ada sebuah telaga. “Telaga Kebahagiaan” dengan mata air yang tak ada habisnya. Kedua angsa bertekad bulat akan terbang menuju “Telaga Kebahagiaan” yang dapat membahagiakan mereka selamanya. Kura-kura tertarik dengan tekad angsa dan berniat ingin mengikutinya. Mereka berupaya mencari jalan keluarnya, dan sebuah ide cerdas diajukan Sang Kura-Kura. Kedua angsa menyetujuinya. Walau mereka berpesan agar kura-kura selalu waspada, karena lengah sedikit saja, bahaya besar menimpa. Kedua angsa mencengkeram sepotong kayu pada ujung-ujungnya, dan Sang Kura-Kura menggigit di tengahnya. Sebelum terbang mereka berpesan agar kura-kura fokus menggigit kayunya dan tidak berbicara sepanjang perjalanannya…….. Di atas ladang sepasang serigala berkata, yang menggigit kayu itu bukan kura-kura tetapi kotoran kerbau, oleh-oleh buat anak angsa. Di atas desa anak-anak kecil ternganga, melihat kura-kura menggigit kayu yang dibawa terbang angsa di kanan dan kirinya. Anak-anak desa melambaikan tangannya dan berteriak, betapa berbahagianya Sang Kura-Kura. Seumur hidup belum pernah terjadi peristiwa yang demikian langka. Di atas taman istana para putri terpesona. Mereka ingin mengetahui bagaimana awal cerita Sang Kura-Kura mendapat karunia yang luar biasa. Sang Kura-Kura lengah ingin menjelaskannya. Gigitannya lepas dan jatuh, badannya terbelah dua. Sang Raja datang dengan penasehatnya. Sang Penasehat menjelaskan mengapa Sang Kura-Kura jatuh di istana. Kebiasaan terlalu banyak bicara membuat lengah dan mengundang bencana. Sang Raja sadar bahwa sudah lama Sang Penasehat menasehatinya agar pembicaraannya dikurangi. Ada waktunya bicara dan ada waktunya berdiam diri. Selama ini Sang Raja selalu mendominasi pembicaraan dengan para menteri. Peristiwa kura-kura membuat dia memahami kekurangannya selama ini….. Konon setelah beberapa kehidupan, Sang Penasehat berinkarnasi menjadi Sang Buddha. Sedangkan Sang Raja menjadi salah satu muridnya. Kisah Kura-Kura dan Angsa dapat mengubah pandangan hidupnya………..

Sang Suami: Sang Penasehat berkata, hidup berkesadaran memang penuh risiko, karena sepenuhnya bergantung pada kesadaran pribadi. Hidup berkesadaran berarti menjalani hidup dengan kesadaran diri sendiri. Dan, karena kesadaran seseorang masih mengalami pasang surut, maka hidup berkesadaran mengandung risiko jatuh kembali…… Itulah biaya kebebasan yang harus dibayar karena tiada kebebasan di luar hidup berkesadaran. Sang Kura-Kura berani menjalani hidup berkesadaran. “Telaga Kebahagiaan” yang abadi sudah menjadi tujuan. Sayang terpeleset karena masih ingin berbicara, menceritakan pengalaman. Mungkin di kehidupan kemudian, dia akan meneruskan perjalanan menuju “Telaga Kebahagiaan”. Dia akan mengurangi pembicaraan, tidak perlu mengagung-agungkan pengalaman.

Sang Istri: Kesadaran telah datang pada kura-kura dan angsa bahwa mereka berada di tempat yang salah. Mereka meninggalkan “kolam” pikiran menuju “Telaga Kebahagiaan”……. Berada dalam “kolam” pikiran, berarti berada di tempat yang salah. Berada dalam “kolam” pikiran akan mengalami suka-duka yang datang silih berganti selamanya dan evolusi batin terhenti sudah…… Setiap manusia yang sedang mencari keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara jasmani dan rohani, sudah pasti terjebak dalam kolam pikiran. Yang memisahkan duniawi dengan rohani adalah pikiran. Kemudian terjadilah kebingungan, kegaduhan…… Yang duniawi tidak dapat dipisahkan dari yang rohani. Yang duniawi tidak bisa eksis tanpa rohani. Duniawi pun ada karena karena Sang Ilahi. Keterikatan pada duniawi tidak dapat disejajarkan dengan cinta terhadap Sang Ilahi. Bagaimana mencari keseimbangan dalam posisi begini? Berada dalam kesadaran rohani, tidak perlu melepaskan dunia, karena keduniawian terlepas dengan sendiri.

Sang Suami: Sang Kura-Kura dan Kedua Angsa sudah menjadi sahabat seperjalanan…..Bagi siapa pun sebenarnya dari luar diri dan dari dalam diri selalu datang rayuan. Dari luar diri, datang segala sesuatu yang melencengkan dari jalur kesadaran. Dari dalam diri, datang segala sesuatu yang membesarkan ego dan akhirnya juga melencengkan dari jalur kesadaran. Karena itu, kita sangat membutuhkan support group, sangha, kelompok sahabat seperjalanan. Kita dapat saling membantu, saling melayani, saling melindungi dan saling mengingatkan……. Bagaimana pun nafsu Sang Kura-Kura tidak pernah mati, maka dia harus mengendalikan diri. Nafsu mesti ditarik dari keduniawian, diarahkan ke keilahian, ke “Telaga Kebahagiaan” yang langgeng abadi. Proses pengarahan nafsu kepada keilahian itulah spiritualitas, itulah meditasi. Dalam bahasa Timur-Tengah itu disebut taubah, membelok, kembali. Maksudnya kembali pada diri sendiri, karena itulah kerajaan-Nya, di sanalah Ia bersemayam. “From Passion to Compassion”……

Sang Istri: Sang Kura-Kura sudah dalam perjalanan menuju “Telaga Kebahagiaan”. Tetapi dunia di bawahnya selalu merayu Sang Kura-Kura untuk membatalkan perjalanan…….. Dunia tidak pernah berhenti merayu kita. Dunia tidak rela melepaskan diri kita. Ia selalu berupaya agar kita menjadi bagian darinya. Bila rayuannya tidak berhasil, ia akan mengecam, mengancam, mendesak dan memaksa dengan menggunakan segala daya upaya. Pokoknya, kita tidak boleh keluar dari lingkarannya. Lingkaran kelahiran dan kematian yang tidak berkesudahan, tak ada habis-habisnya. Dunia ingin memiliki kita. Keluarga, kerabat dan orang-orang yang mengaku seumat dan seiman ingin memiliki kita. Lembaga-lembaga keagamaan dan politik berebutan untuk memiliki kita. Kadang mereka bergabung untuk menyatakan kepemilikan mereka atas diri kita. Kita perlu berhati-hati, perlu waspada. Sebenarnya dunia tidak dapat memperbudak kita untuk selamanya, kecuali bila kita membiarkannya. Kecuali bila kita mau diperbudaknya.

Sang Suami: Sang Kura-Kura tidak fokus sepenuhnya kepada tujuannya. Dia masih memperhatikan apa kata orang di bawah sana. Dia merasa marah pada mereka yang menghinanya, dia menepuk dada pada mereka yang menyanjungnya. Kura-kura masih ragu, masih bimbang dia masih memperhatikan keduniawian. Masih ada keterikatan…….. Dalam buku “Kidung Agung” dijelaskan bahwa……. Ah, kita masih ragu, masih bimbang, masih takut, masih memikirkan pendapat orang, dan pandangan dunia. Kita masih mengharapkan masyarakat merestui hubungan kita. Sesungguhnya, harapan kita tidak pada tempatnya. Kita tidak membutuhkan fatwa untuk berhubungan dengan Tuhan, kita tidak membutuhkan izin dari siapa pun jua……. Pertama, dunia akan memastikan bahwa keluargamu menghalang-halangimu. Keluarga yang menginginkan keterikatanmu, karena ingin memperbudak jiwamu, ingin menguasaimu, selalu menjadi penghalang utamamu. Jarang sekali kita temukan misalnya di mana keluarga justru menunjang atau membantu. Kedua, kawan dan kerabat akan meninggalkanmu. Ketiga, kau akan difitnah oleh dunia, berbagai hujatan akan dilontarkan kepadamu…….

Sang Istri: Masalahnya adalah bahwa dunia tidak berevolusi bersama. Teori Darwin tidak dapat menjelaskan fenomena evolusi secara sporadis, ada yang cepat dan ada yang lambat kemajuannya. Buktinya di abad modern, masih saja ada kelompok-kelompok primitif di hampir setiap benua. Demikian pula evolusi kesadaran berproses secara demikian juga. Itulah sebabnya para nabi, para pembaharu selalu tidak dipahami masyarakat pada awal mulanya. Tanpa berani dicela, tidak terjadi peningkatan kesadaran yang nyata.

Sang Suami: Sang Kura-Kura masih terbelenggu oleh pikiran. Dia belum dapat membebaskan dari keduniawian. Dalam buku “Atisha” telah diuraikan. Selama ini yang dilakukan oleh mind hanyalah tiga pekerjaan. Yang ia sukai, ia kejar, yang tidak disukai, ia tinggalkan. Dan, antara mengejar dan meninggalkan, kadang-kadang ia juga bisa bersikap cuek terhadap sesuatu, karena merasa tak ada kaitan. Atisha bukan seorang utopian….. Ia tidak berhalusinasi, tidak berimajinasi. Ia sedang memberikan solusi. Lepaskan diri dari perbudakan mind dan gunakan mind untuk membantu anda dalam hidup ini. Sekarang kita terkendalikan oleh mind dengan “tri-fungsi”-nya. Nanti, kita akan mengendalikan mind, tetap dengan “tri-fungsi”-nya juga. Aktifkan “Kesadaran” dan mind dengan trifungsinya dapat dijadikan landasan yang kukuh untuk menyangga. Fungsi pertama, “suka”, sukailah kesadaran. Fungsi kedua, “tidak suka”, jangan menyukai ketidaksadaran. Fungsi ketiga, “cuek”, terhadap mereka yang menghujat, bersikaplah demikian.

Sang Istri: Semoga kita dapat memetik hikmah dari kisah yang dipahat pada relief batu, oleh leluhur kita pada zaman dahulu.

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait


Pointer Tambahan hasil dari Komentar dan tanggapan di Facebook

Renungan Kisah Pada Relief Dinding Candi Mendut Tentang Angsa Terbang dan Kura-Kura

  1. Saatnya menapak kebijakan leluhur dan mengungkapkan…. semakin menebar keagungan warisan nenek moyang. Gunakan berbagai media yang disediakan oleh Keberadaan untuk menyampaikan pesan keluhuran…. Semakin banyak yang membaca semakin tinggi vibrasi. Ketidaksadaran tidak perlu dilawan. Dengan semakin banyaknya vibrasi kesadaran. Semakin sempit ruang gerak vibrasi ketidaksadaran….
  2. Dalam perjalanan spiritual kita harus selalu waspada. Tidak lupa daratan karena pujian, juga jangan terpuruk karena cacian. Jurus tandur, maju terus pantang mundur, sungguh warisan kisah yang tak lekang oleh waktu…..hebat nenek moyang kita.
  3. Nusantara memiliki kekayaan dan khazanah budaya yang sangat tinggi dan sarat dengan kebijaksanaan serta petunjuk-petunjuk. Semakin di gali kita akan semakin terperangah, dan bila mau jujur kadar maknanya jauh di atas paham-paham dan budaya import. Tetap semangat selalu menebarkan keagungan budaya leluhur. Semoga upaya ini dapat didengar dan diikuti setiap anak bangsa.
  4. Terkadang dalam kondisi sadar atau pun tidak sadar saya sering berada di dalam posisi kura-kura tersebut, oleh karenanya benar kita membutuhkan teman seperjalanan untuk terus berbagi, karena nafsu ini masih bergejolak, dan harus diarahkan menuju telaga pencerahan, karena jika nafsu yang bergolak ini kembali ke dalam kolam dunia maka penderitaan yang terbungkus dengan selimut kebahagian siap menanti, sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan…, Jika kita memilih mudah maka kita akan berada di kolam dunia dan akan menemukan kesusahan terus menerus……
  5. Jika kita memilih susah maka kita akan berjalan ke dalam telaga pencerahan, memang susah namun pada akhirnya adalah kebahagian abadi, karena sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan, dan sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan…
  6. Fesbuk turut berjasa menjaga kesadaran diri. Banyak sekali notes dari teman-teman yang membangkitkan hidup berkesadaran.
  7. Kisah-kisah yang saat ini mungkin telah banyak dilupakan baik kisahnya maupun pesan-pesan yang terkandung didalamnya.
  8. Cerita yang sangat mendalam! Semua Dharma akhirnya mengarah pada Pencerahan. Namun Pencerahan tak akan bisa dijelaskan…. Jalan menuju Pencerahan menuntut pelepasan ego, menuju Keshunyataan alias Kekosongan, yang menjadi muara dari semua ajaran Tantrayana. Yang dikemukakan Lama Atisha sangatlah manusiawi. Tidaklah perlu terburu nafsu untuk mencapai Pencerahan dengan menuruti semua teori dengan membabi buta, mengabaikan diri sendiri. Dengan uniknya para Master Tantra seperti Lama Atisha, para mahasiddha, dan para Yogi mengembalikan orientasi ke diri sendiri.Menerima diri sendiri apa adanya, berdamai dengan diri sendiri, memperhatikan lingkungan sekitar tanpa perlu bereaksi berlebihan, mempelajari yang berguna dari perhatian itu demi pengembangan batin. Lama Atisha juga pernah terjebak dalam kesombongan atas penguasaannya dalam ajaran Dharma, namun karena kepekaan hatinya yang bening setelah disindir dua ekor burung di taman Bodh Gaya (Lama Atisha ahli bahasa hewan), beliau segera menyadari kebodohannya. Dengan dukungan para guru dari silsilahnya yang sangat mulia (termasuk nenek moyang kita Svarnadilpi Dharmakirti atau Serlingpa) Lama Atisha tidak hanya membuat dirinya tercerahkan, namun membawa dan mengembangkan Bodhicitta dari bumi Nusantara ke negeri Tibet. Sekarang ajaran ini telah kembali ke bumi pertiwi.
  9. Mari kita sebarkan virus kecintaan pada Budaya Sendiri. Semoga kita saling ingat mengingatkan dengan kesadaran. Semoga kita semua diberkati kesehatan.
  10. Bila nenek moyang kita hebat maka dalam DNA kita juga mempunyai potensi kehebatan. Mari kita bangkitkan diri kita.
  11. Kejadian di dunia ini seakan berulang hanya beda setting dan beda pemeran. Sang Angsa dan sang Kura-Kura pun masih ada yang memerankannya.
  12. Semoga kita saling ingat mengingatkan tentang Kebenaran dengan Kesabaran.
  13. Keceriaan itu penting sekali. Hewan bisa menangis sehingga DNA kita tentang menangis sudah berusia lama. Keceriaan baru dimiliki manusia, mari kita sebarkan keceriaan.
  14. Peran Sang Angsa dan Sang kura-kura tidak hanya relatif (dalam diri kita), melainkan keduanya bisa saja bertukar tempat tanpa ada interupsi/konfirmasi dan ini akan terus menerus terjadi………bukan bagaimana cara menghentikan di antara keduanya tetapi bagaimana cara mengendalikan keduanya dan tentunya dengan meningkatkan “Kesadaran”…..

Terima Kasih.

Salam __/\_