GotoBus

Renungan Tentang Kisah Brahmana Dan Kepiting, Yang Terdapat Pada Relief Dinding Candi Mendut Pada relief candi Mendut terdapat relief tentang fabel a

Renungan Tentang Kisah Brahmana Dan Kepiting, Yang Terdapat Pada Relief Dinding Candi Mendut


Pada relief candi Mendut terdapat relief tentang fabel atau cerita hewan. Salah satu relief adalah kisah tentang seekor kepiting di gunung dan seorang Brahmana yang sedang melakukan persembahan. Sepasang suami istri setengah baya sedang santai membicarakan kisahnya. Kemudian mengkajinya dengan referensi buku-buku Bapak Anand Krishna.

Sang Istri: Adalah seorang brahmana bernama Dwijeswara. Ia terkenal sangat bijaksana. Sang Brahmana sedang bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan seekor kepiting yang bernama Astapada. Sang Kepiting mungkin tersesat dan sampai di puncak gunung dalam keadaan kelelahan dan kehausan. Hati Sang Brahmana terketuk melihat makhluk yang berada dalam kesusahan dan kebingungan. Kepiting tersebut oleh Sang Brahmana dimasukkan dalam buntalan pakaian dan dibawa berjalan. Setelah beberapa lama, Sang Brahmana tiba di sebuah sungai dan Sang Kepiting dilepaskan. Sang Brahmana capek, beristirahat di atas batu datar dan ketiduran. Ia tidur dengan nikmat dan perasaan yang nyaman. Sang Brahmana bersyukur dianugerahi kesadaran sehingga dapat menyelamatkan makhluk yang sedang berada dalam penderitaan. Seekor ular dan seekor burung gagak sedang berencana melakukan kejahatan. Kepada burung gagak, ular minta diberitahu apabila ada orang ketiduran di atas batu. Dia akan datang untuk memangsa orang itu. Tak berapa lama burung gagak melihat seorang brahmana sedang tidur di sana. Burung gagak menemui ular dan berkata ada manusia sedang tidur di sana. Silakan memangsanya hanya burung gagak minta disisakan matanya untuk menjadi santapan siangnya. Begitulah perjanjian mereka. Sang Kepiting Astapada mendengar pembicaraan mereka. Kedua hewan itu sama-sama buruk kelakuannya. Maka Sang Kepiting mendatangi mereka. Wahai kedua temanku percayalah kepadaku, aku akan berusaha memanjangkan leher kalian. Agar kalian lebih dapat menikmati santapan. Mereka setuju dengan usul Sang Kepiting, dan diminta mendekatkan lehernya. Saat keduanya menyerahkan leher untuk dipanjangkan, maka kedua leher tersebut disupit oleh Sang Kepiting dan keduanya mati seketika.

Sang Suami: Menghadapi sebuah masalah berarti seseorang harus mengambil keputusan dari dua kelompok pilihan. Kelompok pertama menggunakan pikiran, dia akan berpikir dan mencari referensi di gudang ingatan. Satu keputusan yang akan diambil, selalu ditentang keputusan lainnya, bahkan oleh keputusan yang berlawanan. Bertimbang-timbang menyebabkan keraguan. Sebetulnya ingatan itu terbentuk oleh kumpulan pengalaman. Sudah betulkah pengalaman yang kita simpan? Konon jumlah informasi dalam suatu pengalaman jumlah bytes-nya ada jutaan. Sedangkan yang bisa masuk gudang ingatan bytes-nya terbatas hanya sekitar dua puluhan. Jadi pengalaman yang disimpan pun belum mengungkapkan kesempurnaan. Pengalaman yang disimpan merupakan pengalaman yang dipilih oleh pikiran. Sungguh tepat sekali SMS Wisdom yang berbunyi, “Kau tidak melihat dunia sebagaimana adanya. Kau melihat dunia sebagaimana pikiran memaksamu untuk melihatnya”…….. Kelompok kedua tidak menggunakan pikiran, tetapi menggunakan berbagai istilah, seperti suara hati nurani, atau pikiran jernih, atau inspirasi atau petunjuk Ilahi. Pertanyaannya adalah bagaimana membedakan antara pikiran yang datang dari gudang ingatan dengan inspirasi yang berasal dari Ilahi……. Sebuah gelas yang penuh terisi tak dapat menerima tambahan air lagi. Sebagian isi lamanya harus dibuang agar dapat diberi tambahan lagi. Untuk menerima inspirasi, seseorang harus melakukan pembersihan diri. Membuang semua pola pikiran lama yang telah menjadi referensi. Pembersihan harus dilakukan setiap hari. Dan energi Ilahi akan masuk ke dalam diri sebagai pengganti. Seseorang harus bertanggung jawab penuh atas peristiwa yang terjadi. Melakukan penyesalan atas kekeliruan diri dan mohon ampun pada Ilahi. Kemudian bersyukur kepada Ilahi dengan jalan melayani dan mengasihi. Sang Brahmana memilih menggunakan inspirasi atau petunjuk Ilahi. Kepiting yang berada dalam kesusahan dibawanya pergi. Akan dilepaskan setelah ketemu sebuah sungai nanti.

Sang Istri: Dalam buku “Kehidupan, Panduan untuk Meniti Jalan ke dalam Diri”, telah disebutkan. Bahwa Ibadah, Pemujaan, Sembahyang adalah sarana untuk menciptakan Rasa Pengabdian. Untuk melahirkan Rasa Pengabdian, disiplin-disiplin ritual seperti itu memang dibutuhkan. Begitu Rasa Pengabdian dalam diri telah lahir, dia akan mulai melihat Sang Kekasih berada di mana-mana. Sang Kekasih ada di Selatan, di Timur, di Utara, di Barat, dan di mana-mana. Dengan kesadaran seperti itu, apa pun yang dilakukan akan berubah menjadi persembahan semata. Dia tidak akan lagi melakukan sesuatu untuk keuntungan pribadi, apa pun dilakukan demi cinta kasih saja. Sang Brahmana sedang melakukan pemujaan, tetapi menyelamatkan kepiting merupakan persembahan pula. Sang Brahmana memilih membawa kepiting dalam perjalanannya. Saat melewati sebuah sungai kepiting tersebut akan dilepaskannya.

Sang Suami: Sang Brahmana paham bahwa yang bersemayam dalam dirinya dan yang bersemayam dalam Sang Kepiting adalah Gusti yang sama. Dan, Sang Brahmana ingin melayani-Nya. Dalam dirinya dan dalam diri Sang Kepiting ada Kehidupan yang sama. Dan, Sang Brahmana ingin mempertahankan Kehidupan dalam kepiting seperti mempertahankan Kehidupan dalam dirinya. Sama seperti manusia, seekor kepiting pun merasa berduka tidak menemukan sungai tempat kehidupannya. Rasa duka dan rasa suka pada manusia dan pada hewan adalah rasa yang sama. Yang memberi kehidupan, yang memberi rasa adalah Gusti yang sama, Gusti Yang Tak Dapat Diserupakan Dengan Apa pun Juga…… Memakai referensi buku “Vedaanta Harapan Bagi Masa Depan”. Empati yang sebelumnya hanya dirasakan, mulai dipraktekan dalam hidup keseharian. Sang Brahmana berkarya bukan bagi dirinya dan keluarganya saja, tetapi bagi seluruh makhluk di dunia. la berkarya bagi semesta dan tidak memikirkan hasil akhirnya. Seluruh kesadaran dipusatkan pada apa yang dikerjakannya. Hasil tidak perlu dipikirkan karena hukum sebab akibat akan menjadi dasarnya. Berbuat baik akan menghasilkan akibat baik pula. Sang Brahmana berkarya dengan semangat persembahan dan pengabdian pada Hyang Maha Kuasa. Dia tidak beramal-saleh demi pahala atau kenikmatan surga. Dia melakukan hal itu karena “senang” melakukannya.

Sang Istri: Tindakan Sang Kepiting menipu ular dan gagak apakah merupakan perbuatan yang tidak terpuji? Terpuji atau tidak terpuji adalah nilai pemberian manusia. Dalam diri manusia tersebut sudah terbentuk pola mana yang dianggap perbuatan tidak terpuji dan mana perbuatan mulia. Bila Sang Kepiting tidak mau menipu, maka Sang Brahmana yang telah menolongnya akan meninggal dunia. Menjadi korban kejahatan ular dan gagak yang menunggu kelalaian Sang Brahmana. Dalam perang bharatayuda tersebutlah Raja Yudistira, terkenal sebagai satria yang tidak pernah berdusta. Tetapi dia menipu Pandita Drona, Panglima Korawa yang hilang kesadarannya kala ditipu bahwa anak kesayangannya, Aswatama telah meninggal dunia. Pandita Drona hanya percaya kepada Raja Yudistira yang tidak pernah berdusta. Pola pikiran bawah sadar Raja Yudistira mungkin memang tidak mau berdusta. Akan tetapi dia menepis pikirannya dan mematuhi petunjuk Sri Krishna. Bahwa kali ini dia harus menipu Pandita Drona. Seandainya Raja Yudistira menolak berdusta, mungkin Korawa akan menang dan kejahatan tidak dikalahkan oleh kebajikan. Yudistira membuang pikiran, dan mematuhi petunjuk Keberadaan. Buruk baik bagi pikiran sudah dilepaskan, dia pasrah kepada Sri Krishna, pemandu jalan menuju keilahian.

Sang Suami: Sang Brahmana tidak tahu apa yang terjadi kemudian pada Sang Kepiting, yang penting Sang Kepiting telah kembali ke habitatnya. Sang Brahmana bahkan tak paham bahwa nyawanya telah diselamatkan oleh Sang Kepiting yang telah ditolongnya. Kita tidak pernah tahu apakah seseorang atau seekor hewan yang pernah kita tolong telah membalas dengan menyelamatkan kita. Hal yang demikian bisa saja terjadi tanpa setahu kita. Sang Kepiting tersebut paham membalas budi kepada orang yang berbuat baik terhadapnya. Coba kita perhatikan sel-sel darah putih dalam tubuh manusia. Sel-sel darah putih paham bahwa yang memberi makan, memelihara dan memberi tempat kediaman bagi diri mereka adalah tubuh manusia. Dan, bila tubuh manusia ini diserang mikroba maka mereka akan berusaha memerangi mikroba tersebut dengan sekuat tenaga. Mereka rela memberikan nyawanya bagi keselamatan tubuh manusia….. Hanya sel-sel kanker yang tidak tahu cara membalas budi orang yang telah berbuat baik terhadapnya. Mereka tak mau bersatu dengan sel-sel lainnya. Mereka bahkan merusak sel-sel lainnya dan menyerang tubuh manusia yang telah memberi makan dan tempat tinggal kepada mereka……. Kita dihidupi oleh Ibu Pertiwi. Makanan, pakaian, tempat tinggal, semuanya disediakan oleh Ibu Pertiwi. Merupakan pilihan kita menjadi sel kanker perusak bangsa atau menjadi sel darah putih yang berbhakti pada Ibu Pertiwi.

Terima Kasih, Jaya Guru Deva.

Situs artikel terkait


Pointer Tambahan hasil dari Komentar dan tanggapan di Facebook

Renungan Tentang Kisah Brahmana Dan Kepiting, Yang Terdapat Pada Relief Dinding Candi Mendut

1. Nan-in, seorang guru Jepang selama masa Meiji (1868-1912), menerima seorang dosen universitas yang mencari tahu tentang Zen. Nan-in menghidangkan teh. Ia menuangkan teh itu ke dalam cangkir tamunya hingga penuh, dan masih terus saja menuang. Dosen tersebut memandang tumpahan teh hingga akhirnya ia tidak bisa bertahan untuk berdiam diri. “Sudah penuh. Tidak muat lagi!”… “Sama seperti cangkir ini,” Nan-in mengatakan, “Anda penuh dengan gagasan dan spekulasi diri anda sendiri. Bagaimana saya bisa menunjukkan anda Zen jika anda tidak mengosongkannya terlebih dahulu?”

2. Bila kesadaran telah meluas segala sesuatu itu satu adanya, di amana-mana yang di lihat hanyalah Brahman, wajah Allah berada di mana-mana.

3. Diperlukan absennya pikiran agar suara illahi bisa terdengar, dan kadang Ia akan meminta kita untuk memilih … sebuah keputusan sulit yang bertentangan dengan kebiasaan, untuk memenangkan kebajikan.

4. Semoga kita menjadi orang yang tahu diri, yang terlahir di tanah pertiwi harus bersyukur dan melestarikan negeri sendiri. Itulah kebajikan yang harus dijalani.

5. Berbohong atau menipu demi kebaikan dibenarkan dan perlu keberanian dan ketulusan untuk melakukannya.

6. Luar biasa, indah dan menyentuh hati, Gusti Maha Agung ada dimana mana, di tubuh manusia, dan makhluk lainnya. Semoga dengan penuh kesadaran kita sedikit demi sedikit, bisa memelihara, dan melestarikan Ibu pertiwi.. Mencintai dan mengasihi sesama tanpa rasa egois..

7. Gunakan intelek saat diperlukan. Di atas segalanya, jadikan intelejensia sebagai pemandu dalam kehidupan saat ini….

8. Gunakan waktu untuk mengungkap kembali kebijakan leluhur untuk disebarkan di media maya…

9. Selama ini pikiran kita berisik sekali, sehingga suara hati nurani nyaris tak terdengar. Selama ini kita lupa bahwa pikiran lama kita masih di recycle bin dan belum di empty dan sewaktu-waktu salah pencet bisa muncul kembali. Kita harus ikhlas membuang pikiran lama digantikan dengan kesadaran.

10. Ibarat roda kereta, di garis terluar perbedaan terasa lebar, semakin ke dalam semakin sedikit perbedaannya. Dan di porosnya tak ada beda.

11. Mengubah pandangan lama dengan penuh kesadaran memerlukan effort yang luar biasa.

12. Mengikuti petunjuk Ilahi lebih tinggi daripada mengikuti nilai jujur-dusta menurut pola pikiran lama.

13. Semoga putra-putri bangsa selalu berjuang demi kejayaan dan kelestarian bangsa.

14. Mari kita bahu membahu meningkatkan kecintaan putra-putri bangsa kepada budaya Nusantara.

15. Kebaikan dan keburukan adalah relatif. Kesadaran adalah pemandu.

16. Tak ada wujud yang tak mempunyai suatu kehidupan…sekalipun kita tidak dapat memahami bentuk kehidupan bagaimana yang dijalaninya …..mari menyelam di kedalaman “BhinEka Tunggal Eka”.

17. Nampaknya berbeda-beda padahal berasal dari Yang Tunggal juga. Tak ada sesuatu yang berada di luar Dia. Bhinneka Tunggal Ika.

18. Masalah sel-sel kanker di Bumi Pertiwi yang tak mau bersatu, saya jadi ingat kata2 Guruji yang sangat indah, “Kebanyakan dari kita masih mementingkan kata-kata dan fatwa. Bukan pengembangan rasa dan kesadaran diri. Yang terjadi kemudian adalah pertentangan dan perselisihan, karena berbeda maka terpisah satu sama lain. Kita saling menilai isi kita, merasa paling berisi. Ada yang mengira dapat setengah isi, seperempat isi, dan ada yang sepertiga isi. Saat merasa berisi, kita berbeda dengan yang lain. Kadang menilai yang satu lebih berisi, dan yang lain kurang berisi. Hal ini malah membuat kita semakin jauh dan terpisah. Hanya dlm kekosongan kita akan merasa sama. Karena tak ada kekosongan yang lebih kosong atau kekosongan yang kurang kosong. Kosong adalah kosong. Dalam kekosongan kita bersatu, dan di keheningan kita ada dalam kebersamaan. Kosong itu sempurna….”

19. Cerita ini sungguh tepat bagi siapa saja yang mau memahami Alam Semesta ini.

20. Memang dunia ini kenyataannya tidak seindah pikiran kita. Tidak seindah negeri dongeng, di mana tiada yang jahat di sekitar kita. Namun jika pikiran kita benar-benar murni tanpa sedikitpun kemelekatan, hati kita sudah tidak mengeras lagi, perasaan kita kian peka terhadap bisikan Alam Semesta, dan kebijaksanaan dalam pikiran selalu terang tanpa batas (Amitabha), maka kita akan bertindak spontan dan tepat sesuai situasi dan kondisi. Sang Kepiting dalam kehidupan para praktisi Dharma bisa jadi adalah para Dharmapala yang melindungi kita dari segala bencana atau kuasa jahat yang hendak mencelakai kita, dengan catatan kita sebaiknya bertulus hati dalam hidup ini. Bukan berarti menerima mentah-mentah apa yang diajarkan para guru atau info dari siapapun tanpa dicerna, diuji manfaat nyatanya terlebih dulu, namun dengan pengertian benar tentang diri kita sendiri, hidup ini, kita melaksanakan Dharma dengan benar dan tepat!

Terima Kasih.

Salam __/\__