GotoBus

Renungan Pilihan antara Keduniawian dan Keilahian dalam Kisah Kresnayana pada relief Candi Penataran

Renungan Pilihan antara Keduniawian dan Keilahian dalam Kisah Kresnayana pada relief Candi Penataran



Sepasang suami istri setengah baya sedang mendiskusikan buku-buku karya Bapak Anand Krishna. Saat membaca Kisah Kresnayana yang terdapat pada relief Candi Penataran mereka mencoba memandang dengan kacamata berbeda.

Sang Istri: Raja Negeri Kundina, Bhismaka menerima pinangan Raja Negeri Karawira, Jarasandha yang meminang putri Bhismaka Rukmini untuk dikawinkan dengan Raja Negeri Cedi bernama Suniti keponakan Jarasandha. Tetapi Prithukirti ibu Rukmini mengharapkan putrinya kawin dengan Kresna, seorang keponakannya. Rukmini pun memilih Kresna daripada Suniti, dan oleh karena itu ibunya menyuruh seorang dayang menghadap Kresna menyampaikan masalah yang dihadapi Rukmini. Sang dayang menggambarkan kecantikan wajah dan hati Rukmini dan kecintaan sang putri terhadap Kresna. Bagi sang putri hanya ada satu istana Dwarawati dan hanya ada satu pria Kresna yang menjadi dambaannya. Sang Ibu mengharapkan Kresna secepat mungkin datang untuk melarikan sang putri selagi belum terlambat. Kresna datang dengan balatentaranya dari kerajaan Dwarawati dan balatentara Baladewa, saudaranya dari Mandura ke Negeri Kundina. Kedatangan Kresna dengan pasukan dianggap wajar saja karena Kresna termasuk keponakan Permaisuri Prithukirti. Pada malam hari sebelum kedatangan rombongan Raja Cedi dan Jarasandha, Rukmini keluar istana dengan menyaru sebagai seorang “kili”, pendeta wanita ditemani seorang dayangnya menuju penginapan Kresna dan kemudian dilarikan Kresna ke Dwarawati. Mendengar Rukmini meninggalkan istana, Rukma Kakak Rukmini tersinggung dan bersitegang dengan ayahandanya yang seakan-akan membiarkan Rukmini dilarikan oleh Kresna. Sang Ayah berkata bahwa adalah hak seorang satria seperti Kresna kawin secara gandarwa dengan melarikan gadis pujaannya. Rukma menyampaikan kisah Sri Rama, bahwa dia perlu menyerang Kresna untuk membela harga dirinya. Rukma dengan balatentaranya menyerang Kresna tetapi dikalahkan. Atas permintaan Rukmini, Rukma tidak dibunuh oleh Kresna, akan tetapi Rukma tidak pulang ke Negeri Kundina melainkan mendirikan negeri baru. Kresna dan Rukmini hidup bahagia. Kisah gubahan Mpu Triguna tersebut dipahatkan pada Relief Candi Penataran.

Sang Suami: Rukmini berada dalam dilema pilihan jalan kehidupan. Mengikuti Ayahandanya dia akan kawin dengan Raja Cedi, keponakan Raja Jarasandha yang tersohor di dunia. Dia sudah dipinang dan ayahandanya sudah setuju dan persiapan pernikahannya sudah diselesaikan, undangan bahkan sudah disebarkan. Bila Rukmini pasrah saja maka dia akan mendapat kemuliaan hidup keduniawian. Akan tetapi Rukmini didukung sang ibunda memilih kawin sederhana secara gandarwa dan resiko suaminya bakal diserang Raja Cedi dan Raja Jarasandha. Ini adalah resiko dari pilihanya. Pasti terjadi sengketa, masalah harga diri Raja Jarasanda dan Rukma, kakaknya yang merasa terhina. Rukmini sudah menjadi calon istri, sudah tinggal menunggu “Hari H” pernikahannya. Di lain pihak Kresna berpendapat sebelum menjadi istri orang secara sah, dibenarkan seorang satria kawin secara gandarwa, dengan melarikan calon istrinya……. Kisah sederhana ini mengungkapkan seseorang yang dihadapkan pada pilihan antara duniawi dan ilahi. Sang Pikiran dan Panca Indera memilih keduniawian, sedangkan Sang Perasaan memilih keilahian. Pikiran kita selalu mencari “sandaran”, sedangkan hati nurani kita ingat akan kemuliaan diri. Dalam buku “Isa Hidup dan Ajaran Sang Masiha” disampaikan bahwa …….. mereka yang melupakan Allah—melupakan “kemuliaan diri”—akan menjadi minder. Mereka kehilangan percaya diri. Lalu mereka akan mencari sandaran. Lalu mereka akan berkolusi dan berkorupsi. Ia yang percaya diri—ia yang meyakini Keberadaan Allah—tidak akan melakukan kolusi dan korupsi. Ia yang melakukan kolusi dan korupsi sesungguhnya “menduakan” Allah. Ia mulai meyakini kebijakan manusia. Mereka-mereka inilah pemuja berhala. Isa, Yesus sedang bicara dengan orang-orang seperti ini, seperti saya dan Anda. Dengan kita-kita yang telah menduakan Allah. Kita pikir uang adalah segala-galanya. Nanti, kalau sudah babak belur—kalau jatuh sakit dan salah satu saja organ tubuh kita jebol—baru tahu uang seberapa pun juga tidak bisa membantu kita……..

Sang Istri: Rukmini memang luar biasa, dia tidak goyah oleh pinangan duniawi. Dia percaya diri, percaya dengan hati nurani. Selama kita menggunakan pikiran sebagai penguasa diri maka kita akan selalu menghitung laba-rugi. Dalam buku “Isa Hidup dan Ajaran Sang Masiha” disampaikan bahwa……. selama anda masih menghitung laba-rugi, anda akan membenarkan pencurian, penjarahan, penipuan, pembunuhan. Ia benar. Mind yang masih menghitung adalah mind yang sangat licik. Ia masih sibuk melakukan debet-kredit. Mencuri dua kali, beramal saleh tiga kali. Tiga dikurangi dua, masih sisa satu amal saleh. Menipu 10 kali, membantu orang 13 kali. Lima belas dikurangi sepuluh—masih tersisa lima pahala. Itu sebabnya, mereka yang korup membayar zakatnya pun paling tinggi. Itu sebabnya mereka sibuk melakukan perjalanan ke Tanah Suci, ke sungai Ganga, ke Vatikan, ke Lordes. Demikian, mereka anggap bisa meringankan beban dosa mereka. Sepulang dari tempat-tempat tersebut, mereka akan mengulangi lagi perbuatan-perbuatan keji. Mereka akan melakukan kejahatan-kejahatan yang sama. Lalu perjalanan suci pun mereka ulangi. Bantuan untuk tempat-tempat ibadah pun akan mereka berikan……………

Sang Suami: Mpu Triguna penggubah Kresnayana, lewat Rukma, Kakak Rukmini mengingatkan kejadian sewaktu Rama dan Sinta diculik Rahwana. Dua kisah “avatara” diungkapkan pada sebuah candi yang sama, agar mereka yang melihat sadar bahwa sudah sejak zaman dahulu, seorang wanita dapat menjadi pemicu terjadinya peperangan. “Avatara” adalah Tuhan yang mewujud manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, untuk menyelamatkan orang-orang saleh dan membinasakan orang jahat dan menegakkan kembali kebenaran. Avatar ada dari zaman ke zaman. Secara tersirat Mpu Triguna mengingatkan seorang Avatara Wisnu pun dalam kehidupan berikutnya nampaknya tetap mengalami hukum karma dan hukum evolusi. Sebagai Sri Rama, Sang Avatara Wisnu berperang dengan Rahwana yang menculik istrinya. Sebagai Sri Kresna, Sang Avatara Wisnu lah yang menculik calon istri orang lain, walau tentu saja situasinya berbeda. Dalam Srimad Bhagavatam diuraikan akhir hidup Sri Kresna yang kakinya dipanah seorang pemburu dan matilah Sri Kresna dan berakhirlah zaman Dwapara Yuga. Seakan-akan hal tersebut mengingatkan Sri Rama memanah Kera Subali yang tidak mempunyai kesalahan langsung dengan Sri Rama. Dalam kisah Ramayana, Sri Rama dibantu Hanuman Sang Putra Bayu, sedangkan dalam kisah Bharatayuda Sri Kresna membantu Pandawa termasuk Bhima Sang Putra Bayu. Dalam kisah sebagian para leluhur, Laksmana adik Sri Rama menitis dalam diri Baladewa. Sedangkan Dewi Sinta karena pernah diminta uji bakar diri oleh Sri Rama menuruti suara masyarakat, tidak menitis menjadi istri Sri Krisna, tetapi menjadi adik Sri Krishna bernama Subadra yang kawin dengan Arjuna.

Sang Istri: Permusuhan Kresna dengan Jarasandha sudah merupakan skenario alam semesta. Dalam kelanjutannya, Jarasandha ingin menjadi Maharaja dengan menawan 99 raja tetangganya. Dengan bantuan Sri Kresna, Bhima dapat menaklukkan Jarasandha dan ke 99 raja dibebaskan dan membantu Pandawa dalam perang Bharatayudha. Dalam Srimad Bhagavatam disampaikan kisah dua raksasa penjaga gerbang istana Wisnu yang disebut Dwarapala, yang sekarang selalu dipasang sepasang di kanan kiri gapura kraton. Mereka berbuat salah dan dikutuk menjadi musuh utama Sri Wisnu di dunia selama 3 kali kelahiran baru dapat kembali menjadi pengawal istana Wisnu lagi. Pertama kali mereka lahir menjadi Hiranyaksa dan hiranyakasipu yang dibunuh “Waraha Avatara” dan “Narasimha Avatara”. Kelahiran Kedua sebagai Rahwana dan Kumbakarna yang dibunuh “Sri Rama Avatara”. Sedangkan kelahiran terakhir sebagai Shisupala dan Dantavakra sahabat-sahabat Jarasandha yang menyerang ke Negeri Dwarawati dan dibunuh “Sri Krishna Avatara”.

Sang Suami: Avatar berarti “Ia yang turun”. Lalu, oleh mereka yang tidak mengetahui artinya diterjemahkan sebagai “turun dari sono”. Entah dari mana! Sebenarnya, tidak demikian. Avatar berarti “ia yang turun dari tingkat Kesadaran Murni”. Dalam buku “Atmabodha” disampaikan bahwa…. seorang avatar harus menurunkan kesadarannya untuk berdialog dengan kita. Untuk berkomunikasi dengan kita. Dan karena itu, bukan hanya Rama, Krishna, dan Buddha, tetapi Yesus juga seorang Avatar. Muhammad dan Zarathustra juga demikian. Mereka semua harus turun dari tingkat Kesadaran Murni yang telah mereka capai, untuk bisa menyampaikan sesuatu kepada kita. Memang, bahasa Krishna lain. Bahasa Buddha lain. Bahasa Yesus lain. Bahasa Muhammad lain. Memang harus begitu, karena mereka sedang berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda, dengan mereka yang tingkat kesadarannya berbeda-beda. Kendati seorang avatar, atau seorang nabi, harus menurunkan kesadarannya untuk bisa berkomunikasi dengan kita, sesungguhnya dia tidak pernah lupa akan Jati Dirinya—bahwasanya “Matahari Kesadaran Murni” itulah Kebenaran Diri dia. Ini yang membedakan mereka dari kita……..

Sang Istri: Mpu Triguna menyampaikan peperangan antara Rukma dengan Sri Kresna. Dalam buku “Bagimu Ibu Pertiwi” disampaikan…….. Banyak orang yang menyalah-tafsirkan istilah jihad. Jihad bukanlah perang suci. Tidak ada perang yang suci. Setiap perang membawa korban. Setiap perang menumpahkan darah. Dan pertumpahan darah bukanlah sesuatu yang suci. Jihad berarti perang untuk men-suci-kan. Dan yang harus disucikan adalah diri sendiri. Kata kunci di sini adalah “saadhanaa”, yang dalam bahasa sufi disebut “jihad” – upaya sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Saadhanaa atau jihad adalah upaya sungguh-sungguh untuk membebaskan diri dari ilusi yang disebabkan oleh materi. Untuk melihat “kebenaran rohani” di balik bayang-bayang jasmani. Budaya-budaya asing boleh bertamu ke negara kita. Kita akan menghormati mereka, bahkan akan belajar dari mereka. Tetapi Budaya asal kita tetaplah tuan rumah di negeri ini. Mempertahankan kebangsaan kita, budaya kita, asal-usul kita, sejarah kita. Inilah jihad kita……..

Sang Suami: Dalam buku “Atmabodha” disampaikan bahwa…. proporsi mind dan intelegensia dalam diri setiap manusia bisa berubah-ubah. Bila proporsi mind naik, intelegensia akan turun. Bila intelegensia bertambah, mind berkurang. Bila proporsi mind mengalami kenaikan, manusia menjadi ego-sentris. Dia akan mengutamakan kebahagiaan diri, kesenangan diri, kenyamanan diri, kepentingan diri. Mind hidup dalam dualitas. Bagi mind, Anda adalah Anda, saya adalah saya. Sebaliknya, intelegensia bersifat universal. Seorang ber-“intelegensia” akan memikirkan kebahagiaan umum, kesenangan dan kenyamanan umum, kepentingan umum. Dalam satu kelompok atau satu organisasi, level intelegensia setiap anggota biasanya mirip-mirip. Jelas tidak bisa sama, tetapi ya kurang lebihlah! Bila tidak, akan selalu terjadi kesalahpahaman dan pertikaian. Bangsa kita saat ini sedang mengalami krisis intelegensia, krisis “budhi”, krisis kesadaran. Ada yang berintelegensia tinggi dan bisa menerima perbedaan, tetapi ada juga yang berintelegensia sangat rendah, sehingga tidak bisa menerima perbedaan. Mereka ingin menyeragamkan segala sesuatu. Akibatnya, kita berada di ambang disintegrasi. Jalan keluarnya hanya satu: yang berintelegensia rendah meningkatkan intelegensia diri. Atau yang berintelegensia tinggi turun ke bawah. Bergabung dengan mereka yang berintelegensia rendah. Perbedaan keduanya cukup jelas, mind atau mano selalu melihat dualitas; intelegensia atau budhi selalu melihat kesatuan. Sebetulnya, budhi juga melihat perbedaan, tapi ia melihat kesatuan di balik perbedaan. Sementara mind hanya melihat perbedaan. Budhi melihat isi; mano melihat kulit.